Di zaman sekarang, ketika arus
globalisasi telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan sebagian besar
masyarakat Indonesia, ideologi Pancasila terus terabaikan dan menjadi semakin terpinggirkan.
Masuknya ideologi yang pro kapitalis, bisa terbaca dari berbagai kebijakan,
seperti pengelolaaan sumber daya alam, lingkungan, tata ruang, dan lain
sebagainya, yang tidak didasarkan lagi pada Pancasila. Pelbagai
perundang-undangan yang ada pada sektor strategis, memperlihatkan hal tersebut.
Pengelolaan sumber daya alam, ruang dan lingkungan yang selama ini dilakukan,
telah menciptakan ketidakadilan dan ketidakjujuran. Ironisnya, masyarakat yang
hidup di daerah yang kaya sumber daya alam dan lingkungan, sering kali tidak
mendapatkan apa-apa, bahkan termarginalkan. Begitu kata Mansour Fakih dalam “Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi”.
Pada bukunya, “Pendidikan yang
Berkebudayaan” Yudi latif menyatakan, salah satu contoh terbaik dalam pengembangan
kebudayaan yang merupakan hasil persilangan antara cerlang budaya lokal dan
unsur-unsur positif dari luar adalah usaha bangsa Indonesia untuk merumuskan
dasar filosofi negaranya, yakni Pancasila. Dalam usaha merumuskan dasar
filosofi negara Indonesia merdeka itu, Soekarno mengatakan bahwa “kita harus
dapat meletakkan negara itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan
segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan
dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.”
Pancasila merupakan rumusan
pandangan hidup yang dapat diterima oleh
semua suku, agama, budaya, golongan, dan kelas dalam masyarakat Indonesia
sebagai dasar ideal bersama, untuk di atasnya secara bersama-sama membangun
satu Negara Republik Indonesia serta mengembangkan bangsa dan masyarakat di dalamnya.
Berdasarkan hal itu, maka merongrong Pancasila berarti merongrong konsensus
dasar segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu, yang bertekad untuk
membangun satu kehidupan kemasyarakatan bersama. Dalam “Kuasa dan Moral”-nya,
Romo Franz Magnis Suseno mengungkapkan, kehebatan rumusan Pancasila justru
terletak dalam kenyataan bahwa rumusan ‘singkat-padat’, itu ternyata memadai,
ternyata dapat mengungkapkan secara singkat segala pokok yang oleh segenap
golongan di Indonesia dapat dikenali kembali sebagai miliknya.
Sebagai falsafah dan ideolog negara,
Sang Proklamator menegaskan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia,
sekaligus dimaknai sebagai nilai-nilai yang menjadi cita-cita normatif dalam
penyelenggaraan negara. Maka sejatinya, nilai-nilai pada setiap butir
Pancasila, sepatutnya dijadikan pedoman dasar dalam melangsungkan kehidupan
bernegara. Karenanya, harus mewarnai setiap rumusan kebijakan dan aturan apapun
– termasuk regulasi mengenai penataan ruang - yang akan diterapkan kepada
seluruh rakyat Indonesia.
Lalu, mungkinkah mengaitkan tata
ruang dengan nilai-nilai Pancasila? Kenapa tidak! Justru yang jadi pertanyaan
mendasar, mengapa nilai-nilai Pancasila yang merupakan modal bangsa, tidak
dijadikan spirit penataan ruang kita, tidak dijadikan pondasi bangunan tata
ruang kita? Mestinya, pertanyaan semacam itu, mengusik kita sebagai warga
bangsa Indonesia yang bergerak di bidang penataan ruang. Karena itulah, lima prinsip utama atau nilai
dasar Pancasila yang oleh Yudi Latif disebut sebagai titik temu, titik tumpu,
titik tuju, negara-bangsa Indonesia, sejatinya diinternalisasi dan ditransformasikan
menjadi landasan etis-filosofis penataan ruang kita.
Pertanyaannya kemudian, sudahkah
kita melaksanakan Pancasila secara benar? Apakah Pancasila telah dijadikan
landasan etis di dalam kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk dalam menata
ruang kita? Di bukunya “Makna Pemerintahan” Prof. Ryaas Rasyid mengatakan, sebagai suatu sistem
kepercayaan dan ideologi, Pancasila hanya bisa bermakna jika nilai-nilainya
tercermin di dalam tingkah laku abdi negara dan warga masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila seyogianya bersifat omnipresent. Idealnya, Pancasila hadir
di dalam praktek kekuasaan negara, menjiwai setiap kebijakan pemerintah,
menjadi landasan dalam berbagai interaksi politik, serta menyemangati
hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia. Kalau gerakan
memasyarakatkan Pancasila tidak secara konsepsional dan konsisten diarahkan
pada perwujudan idealisme ini, niscaya bangsa Indonesia akan gagal mewujudkan
cita-cita kemerdekaannya. Sebab itu, perlu selalu dijaga agar Pancasila tidak
diturunkan derajatnya menjadi sekadar sebuah kata atau kumpulan kata-kata untuk
penghias pidato, pelengkap suatu upacara atau menjadi bingkai untuk pengesahan
sejumlah dokumen.
Ringkasnya, upaya memberi makna
pada keberadaan Pancasila, berkenaan dengan sejauh mana ia dapat secara
langsung dihubungkan dengan hal-hal kongkret
yang dihadapi oleh negara dan masyarakat sehari-hari, dalam konteks ini
menyangkut penyelenggaraan penataan ruang kita. Proses internalisasi dan
implementasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya penyelenggaraan penataan ruang,
kiranya dapat memberi arah dan orientasi yang lebih jelas dalam rangka menatap
masa depan tata ruang Indonesia di waktu mendatang. Sehingga kita tak perlu
lagi bertanya, Quo Vadis Tata Ruang Indonesia? Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR
Makassar, Juni 2021