Kamis, 25 April 2019

Zuhud, Meninggikan Derajat Manusia

Hidup zuhud adalah hidup dengan tidak bergantung pada ‘dunia’. Ia menjalani kehidupan di dunia ini tapi tidak mau diperbudak oleh dunia. Dalam pandangan Syaikh Abdullah Jawadi Amuli, ‘Dunia’ diartikan sebagai segala sesuatu yang menghalangi manusia menuju Tuhan. Baik itu harta, anak, kedudukan dan lain sebagainya.
Karena itu, kezuhudan dalam Islam bukan berarti menyepi, mengucilkan diri dan meninggalkan dunia, sebab Islam tidak mengenal tradisi kerahiban. Melainkan ia tetap berada di tengah masyarakat, melindungi hak-hak orang lain, melaksanakan hasrat dan keinginan yang diperbolehkan, tetapi pada saat yang sama tidak terperangkap pada gemerlap dunia. Dengan demikian, Zahid (yakni orang yang mempraktekkan kezuhudan) adalah orang yang ketertarikannya melampaui lingkup eksistensi material.
Lalu bagaimana cara menjalaninya? Kezuhudan harus diawali dengan pemaknaan akan kehidupan di alam dunia ini. Seorang zahid adalah manusia merdeka dalam arti sesungguhnya. Dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw menempatkan dirinya dalam hal ini. Ia berkata, “Dunia ini tempat persinggahan, bukan tempat tinggal. Manusia di dalamnya ada dua golongan: pertama, orang yang menjual dirinya (kepada hawa nafsu) dan menghancurkannya, dan kedua, manusia yang membeli dirinya (dengan mawas diri terhadap hawa nafsu) dan membebaskannya.”
Problem antara dunia dan akhirat serta pertentangan di antara keduanya sebagai dua kutub yang berlawanan – yang kedekatannya kepada yang satu berarti menjauh dari yang lain – terkait dengan dunia hati manusia, kesadaran, keterikatan manusia, cinta dan ibadah. Al-Quran menyebutkan, “Allah tidak menempatkan kepada manusia dua hati dalam dadanya….” (QS.Al-Ahzab:4)  Dengan satu hati, manusia tidak bisa memilih dua kekasih. Itulah mengapa ketika seseorang mempersoalkan bajunya yang lusuh dan usang, Sayyidina Ali Kw menjawab: Dengan pakaian seperti ini, jiwa akan khusyuk, hati akan merendah, dan menjadi teladan bagi orang-orang beriman.
Rasulullah SAW dan keluarganya adalah merupakan contoh teladan para zahid. Suatu saat ketika Nabi Suci SAW mengunjungi Sayyidah Zahra, ia melihat putrinya mengenakan seuntai kalung perak dan memasang tirai baru di pintu. Tanda ketidaksenangan menyemburat dari raut muka Nabi SAW. Az-Zahra segera merasakan sebab-sebab reaksi ayahnya. Ketika Nabi SAW pulang, segera Az-Zahra menanggalkan kalungnya dan melepas kain gorden dari pintu, lalu membungkusnya untuk dibawa kepada Nabi SAW, agar beliau bisa menyedekahkannya kepada orang lain yang memerlukan.
Ketika utusan Az-Zahra menyerahkan kalung dan tirai itu kepada Nabi SAW, beliau menatapnya dengan rasa takjub. Ia gembira karena puterinya mengambil jejak itu dan mengorbankan kemewahannya yang paling sederhana demi keuntungan orang lain. Al-jar tsumma al-dar, “tetangga dulu baru kita” adalah ucapan terkenal dalam keluarga Ali dan Fatimah. Demikian juga, ketika Al-Quran suci menyebut episode pengorbanan diri keluarga Nabi yang terhormat dalam surah Hal ata (surah Al-Insan). Saat di mana Ali, Fatimah dan putra-putra mereka, memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan, meskipun mereka sendiri menderia.
Dengan memperhatikan kondisi, di mana begitu massifnya pengaruh kapitalisme dalam kehidupan umat manusia di zaman modern sekarang ini, maka langkah yang tepat untuk meredakan gejolak dan kecenderungan hewani pada diri manusia ialah dengan memilih jalan hidup zuhud. Dengan demikian, ia akan menjadi manusia yang mencapai derajat yang tinggi karena tidak memandang dunia sebanding dengan kemuliaan dirinya. Sayyidina Ali Kw berkata, “Sungguh merupakan sebuah perniagaan yang amat merugikan, ketika seseorang memandang dunia sebagai sesuatu yang berharga bagi dirinya, dan kemudian dia menukarnya dengan apa yang dimilikinyan di sisi Allah SWT.”
Berikut sebagian di antara nash yang menjelaskan tentang hidup zuhud.
·      Makna zuhud diringkas dari dua kalimat dari Al-Quran : Allah SWT berfirman,  “…..supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al-Hadid:23)
Barangsiapa yang tidak berduka cita terhadap apa yang telah hilang darinya dan tidak terlalu gembira dengan apa yang didapatkannya, maka ia telah mencapai zuhud dalam kedua aspeknya. 
·      Rasulullah SAW bersabda, “Zuhud bukanlah dengan mengharamkan yang halal, tetapi hendaklah apa yang ada di tangan Allah lebih dipercayainya ketimbang apa yang ada di tangannya sendiri.”
·      Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada penyembahan kepada Allah dengan sesuatu yang lebih besar daripada zuhud terhadap dunia (yakni meninggalkan kesenangan dunia).”
·      Rasulullah SAW bersabda, “Zuhud terhadap dunia akan menenangkan jiwa dan raga, sedangkan kesukaan terhadap dunia itu akan meletihkan jiwa dan raga.”
·      Sayyidina Ali Kw berkata, “Zuhud itu perangai orang-orang yang bertakwa dan watak orang-orang yang selalu kembali kepada Allah.”
·      Sayyidina Ali Kw berkata, “Orang zuhud terhadap dunia adalah yang kesabarannya tidak dapat dikalahkan sesuatu yang haram dan kesibukannya bersyukur tidak terusik sesuatu yang halal.”
·      Sayyidina Ali Kw berkata, “Barangsiapa zuhud terhadap dunia, tidak bersedih karena kehinaannya, dan tidak bersaing untuk mendapatkan kemuliaannya, niscaya Allah akan memberinya petunjuk tanpa melalui makhluk, akan mengajarkan kepadanya tanpa belajar dan memasukkan hikmah dalam dadanya seraya kemudian mengalirkan lewat lisannya.”
·      Sayyidina Ali Kw berkata, “Tinggalkanlah kesenangan dunia (berlaku zuhud), niscaya rahmat Allah akan turun kepadamu.”
 Makassar,  Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...