Hidup zuhud adalah hidup dengan tidak bergantung pada ‘dunia’. Ia
menjalani kehidupan di dunia ini tapi tidak mau diperbudak oleh dunia. Dalam
pandangan Syaikh Abdullah Jawadi Amuli, ‘Dunia’ diartikan sebagai segala sesuatu
yang menghalangi manusia menuju Tuhan. Baik itu harta, anak, kedudukan dan lain
sebagainya.
Karena itu, kezuhudan dalam Islam bukan berarti menyepi, mengucilkan
diri dan meninggalkan dunia, sebab Islam tidak mengenal tradisi kerahiban.
Melainkan ia tetap berada di tengah masyarakat, melindungi hak-hak orang lain,
melaksanakan hasrat dan keinginan yang diperbolehkan, tetapi pada saat yang
sama tidak terperangkap pada gemerlap dunia. Dengan demikian, Zahid (yakni
orang yang mempraktekkan kezuhudan) adalah orang yang ketertarikannya melampaui
lingkup eksistensi material.
Lalu bagaimana cara menjalaninya? Kezuhudan harus diawali dengan
pemaknaan akan kehidupan di alam dunia ini. Seorang zahid adalah manusia
merdeka dalam arti sesungguhnya. Dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw
menempatkan dirinya dalam hal ini. Ia berkata, “Dunia ini tempat persinggahan,
bukan tempat tinggal. Manusia di dalamnya ada dua golongan: pertama, orang yang menjual dirinya
(kepada hawa nafsu) dan menghancurkannya, dan kedua, manusia yang membeli dirinya (dengan mawas diri terhadap
hawa nafsu) dan membebaskannya.”
Problem antara dunia dan akhirat serta pertentangan di antara keduanya
sebagai dua kutub yang berlawanan – yang kedekatannya kepada yang satu berarti
menjauh dari yang lain – terkait dengan dunia hati manusia, kesadaran,
keterikatan manusia, cinta dan ibadah. Al-Quran menyebutkan, “Allah tidak
menempatkan kepada manusia dua hati dalam dadanya….” (QS.Al-Ahzab:4) Dengan satu hati, manusia tidak bisa memilih
dua kekasih. Itulah mengapa ketika seseorang mempersoalkan bajunya yang lusuh
dan usang, Sayyidina Ali Kw menjawab: Dengan pakaian seperti ini, jiwa akan
khusyuk, hati akan merendah, dan menjadi teladan bagi orang-orang beriman.
Rasulullah SAW dan keluarganya adalah merupakan contoh teladan para
zahid. Suatu saat ketika Nabi Suci SAW mengunjungi Sayyidah Zahra, ia melihat
putrinya mengenakan seuntai kalung perak dan memasang tirai baru di pintu.
Tanda ketidaksenangan menyemburat dari raut muka Nabi SAW. Az-Zahra segera merasakan
sebab-sebab reaksi ayahnya. Ketika Nabi SAW pulang, segera Az-Zahra
menanggalkan kalungnya dan melepas kain gorden dari pintu, lalu membungkusnya
untuk dibawa kepada Nabi SAW, agar beliau bisa menyedekahkannya kepada orang
lain yang memerlukan.
Ketika utusan Az-Zahra menyerahkan kalung dan tirai itu kepada Nabi
SAW, beliau menatapnya dengan rasa takjub. Ia gembira karena puterinya
mengambil jejak itu dan mengorbankan kemewahannya yang paling sederhana demi
keuntungan orang lain. Al-jar tsumma al-dar,
“tetangga dulu baru kita” adalah ucapan terkenal dalam keluarga Ali dan
Fatimah. Demikian juga, ketika Al-Quran suci menyebut episode pengorbanan diri
keluarga Nabi yang terhormat dalam surah Hal
ata (surah Al-Insan). Saat di mana Ali, Fatimah dan putra-putra mereka,
memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan, meskipun mereka
sendiri menderia.
Dengan memperhatikan kondisi, di mana begitu massifnya pengaruh
kapitalisme dalam kehidupan umat manusia di zaman modern sekarang ini, maka langkah
yang tepat untuk meredakan gejolak dan kecenderungan hewani pada diri manusia
ialah dengan memilih jalan hidup zuhud. Dengan demikian, ia akan menjadi
manusia yang mencapai derajat yang tinggi karena tidak memandang dunia
sebanding dengan kemuliaan dirinya. Sayyidina Ali Kw berkata, “Sungguh merupakan sebuah perniagaan yang
amat merugikan, ketika seseorang memandang dunia sebagai sesuatu yang berharga
bagi dirinya, dan kemudian dia menukarnya dengan apa yang dimilikinyan di sisi
Allah SWT.”
Berikut
sebagian di antara nash yang menjelaskan tentang hidup zuhud.
· Makna zuhud
diringkas dari dua kalimat dari Al-Quran : Allah SWT berfirman, “…..supaya
kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kalian
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
(QS.Al-Hadid:23)
Barangsiapa yang tidak berduka cita terhadap apa yang telah hilang
darinya dan tidak terlalu gembira dengan apa yang didapatkannya, maka ia telah
mencapai zuhud dalam kedua aspeknya.
· Rasulullah SAW bersabda,
“Zuhud bukanlah dengan mengharamkan yang halal, tetapi hendaklah apa yang ada
di tangan Allah lebih dipercayainya ketimbang apa yang ada di tangannya
sendiri.”
· Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak ada penyembahan kepada
Allah dengan sesuatu yang lebih besar daripada zuhud terhadap dunia (yakni
meninggalkan kesenangan dunia).”
· Rasulullah SAW
bersabda, “Zuhud terhadap dunia akan
menenangkan jiwa dan raga, sedangkan kesukaan terhadap dunia itu akan
meletihkan jiwa dan raga.”
· Sayyidina Ali Kw
berkata, “Zuhud itu perangai orang-orang
yang bertakwa dan watak orang-orang yang selalu kembali kepada Allah.”
· Sayyidina Ali Kw
berkata, “Orang zuhud terhadap dunia
adalah yang kesabarannya tidak dapat dikalahkan sesuatu yang haram dan
kesibukannya bersyukur tidak terusik sesuatu yang halal.”
· Sayyidina Ali Kw
berkata, “Barangsiapa zuhud terhadap
dunia, tidak bersedih karena kehinaannya, dan tidak bersaing untuk mendapatkan
kemuliaannya, niscaya Allah akan memberinya petunjuk tanpa melalui makhluk,
akan mengajarkan kepadanya tanpa belajar dan memasukkan hikmah dalam dadanya
seraya kemudian mengalirkan lewat lisannya.”
· Sayyidina Ali Kw
berkata, “Tinggalkanlah kesenangan dunia
(berlaku zuhud), niscaya rahmat Allah akan turun kepadamu.”
Makassar, Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar