Setiap
tanggal 1 Muharram, menjadi penanda bagi kaum Muslimin akan datangnya awal
tahun baru Islam. Momentum ini, menegaskan kepada kita akan sebuah fase
perjalanan telah dilewati, dan bersiap memasuki fase waktu berikutnya. Mungkin
yang tepat kita lakukan dalam kaitan ini, ialah melakukan evaluasi dan
muhasabah diri. Sejauh mana kita umat Islam, telah mengamalkan nilai-nilai
ajaran Islam dengan baik, di negeri tercinta ini.
Sebagai
agama kemanusiaan, Islam seperti diyakini, memiliki tuntunan filosofis dalam
rangka menyelamatkan arah perubahan sejarah peradaban manusia. Dalam filsafat
penciptaan, Allah SWT yang merupakan Causa
Prima ‘menitiskan’ derivasi kemuliaan cinta-Nya kepada Nur Muhammad,
sebagai kerangka dasar lahirnya penciptaan semua fenomena alam. Dari sinilah
tajalliyat Allah di bumi diawali dan diakhiri. Oleh karena manusia merupakan Khalifatullah di bumi, maka dengan
demikian tanggung jawab penyelamatan peradaban umat manusia ada di pundak
mereka.
Islam
diturunkan Tuhan untuk mengubah dunia, dalam bentuknya sebagai agama yang
mempunyai landasan nilai-nilai dalam kehidupan, berhadapan dengan berbagai
kemerosotan pada dimensi kehidupan masyarakat. Konsepsi Islam tentang
perubahan, bukanlah sesuatu yang bersifat deterministik.
Akan tetapi, ia merupakan hasil dari kondisi-kondisi alamiah, yang pada batas
tertentu, dapat ditundukkan oleh kehendak dan pilihan manusia.
Karenanya,
sebuah perubahan bergerak dari kehendak dan pilihan, bukan keterpaksaan. Sebab
itu, dalam pandangan Islam, manusia adalah pencipta perubahan. Al-Quranul Karim
mengemukakan: “Sesungguhnya Allah
sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
suatu kaum, sampai kaum itu mau mengubah apa yang ada pada diri mereka
sendiri.” (QS.Al-Anfal:53) dalam firman lain, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sampai mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’d:11)
Lantas,
bagaimana dengan umat Islam di negeri ini, yang jumlahnya mayoritas? Adakah
kualitas kehidupan umat, sudah sebanding dengan kuantitasnya? Tampaknya, dalam
kenyataan yang ada, hal kesenjangan inilah yang masih merisaukan berbagai
pihak. Lalu, kapankah kita menjadi umat terbaik seperti yang digambarkan Quran
dalam Surah Ali Imran 110? Tentu saja bila berbicara mengenai kualitas umat,
tidak mungkin dipisahkan dengan kualitas dari individu-individu Muslim. Menarik
untuk direnungkan, penggalan puisi dari KH. Mustofa Bisri, yang berjudul
“Selamat Tahun Baru Kawan”:
Kawan, sudah
tahun baru lagi
Belum juga
tibakah saatnya kita menunduk
Memandang
diri sendiri
Bercermin
firman Tuhan
Sebelum kita
dihisab-Nya
Kawan,
siapakah kita ini sebenarnya
Musliminkah
Mukminin
Muttaqin
Khalifah
Allah
Umat
Muhammadkah kita?
Khaira
Ummatinkah kita?
Atau kita
sama saja dengan makhluk lain
Atau bahkan
lebih rendah lagi
Hanya
budak-budak perut dan kelamin
Sejalan
dengan puisi di atas, Allah SWT telah menerangkan dalam Surah Al-A’raf 179
dengan firman-Nya, “Dan sungguh, akan
Kami isi neraka jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka
memiliki mata tapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan
Allah, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Lazimnya
memang, kualitas manusia akan sangat ditentukan oleh kekuatan (quwwah) yang ada pada diri manusia itu
sendiri. Menurut Sayyid Kamal Haidari, ada beberapa jenis kekuatan yang
membentuk jiwa (nafs) manusia. Pertama, Quwwatun Bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan. Unsur inilah yang
mendorong seseorang untuk mencari kepuasan lahiriah dan kenikmatan sensual. Kedua, Quwwatun Sab’iyyah atau kekuatan binatang buas. Kekuatan ini yang
mewujud saat seseorang senang menyerang orang lain, memakan hak orang,
membenci, menghancurkan dan mendengki orang lain. Ketiga, ada juga yang disebut para sufi dengan Quwwatun Syaithaniyyah/wahmiyyah. Yaitu kekuatan yang mendorong
manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang dilakukan. Misalnya, melakukan
korupsi. Setan lalu membisikkan kalau ia tidak perlu merasa bersalah, karena
itu dilakukan untuk membantu orang lain. Namun, Tuhan juga menetapkan pada diri
manusia, percikan cahaya Tuhan yang dinamai Quwwatun
Rabbaniyyah atau biasa pula diistilahkan Quwwatun Aqliyyah. Ini adalah bagian penting dari kepribadian
manusia, sebab kekuatan ini terletak pada akal sehatnya.
Karena tahun
baru Islam terkait dengan peristiwa hijrah Rasulullah SAW, maka sejatinya, saat
momentum tersebut tiba, pengikut Rasul suci, mesti melakukan hal yang sama
dalam bentuknya yang lain. Dengan potensi kekuatan yang dimiliki, setiap Muslim
harus berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, dari berbagai hal yang negatif
menuju pada yang positif.
Jalaluddin
Rakhmat dalam “Reformasi Sufistik”, menukil Al-Ghazali yang menjelaskan tiga
gerbang yang mesti dilewati, ketika kita ingin mengaktualkan Islam. Gerbang
pertama: apakah yang kita kerjakan itu betul-betul ajaran Islam, berdasarkan
Al-Quran dan sunnah? Bila lulus, kita memasuki gerbang kedua: apakah yang akan
kita amalkan itu, bermanfaat untuk kita dan kaum Muslim? Dari gerbang kedua,
kita harus masuk ke gerbang ketiga dengan pertanyaan: apakah kita sudah
menemukan cara terbaik untuk menjalankan amal itu?
Muhammad
Abduh pernah mengatakan bahwa seringkali Islam tertutup oleh orang-orang Islam.
Lebih tegasnya, keindahan syariat Islam kadangkala tertutup oleh cara orang
mengamalkan ajaran Islam. Shalat Anda kurang bermakna, bila tidak dapat
mencegah kekejian dan kemungkaran. Haji Anda tak berarti, jika Anda tidak
meninggalkan rumah sempit egoisme dalam diri Anda. Bagaimana orang bisa
tertarik menegakkan sistem pemerintahan Islam, bila yang tampil sebagai negara
Islam adalah gambaran menakutkan tentang Islam.
Padahal
Al-Quran menyebut umat Islam sebagai Khaira
Ummah, umat yang terbaik. Rasulullah SAW memberi tuntunan pada kita, “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari
hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung. Siapa yang hari ini keadaannya
sama dengan kemarin, maka dia dalam keadaan merugi. Dan siapa yang kondisinya
hari ini lebih buruk dari sebelumnya, maka sesungguhnya dia celaka.”
Olehnya itu,
saat ini adalah waktu yang tepat bagi umat Islam, secara progresif melakukan
muhasabah diri. Menjalankan perubahan dan perbaikan dengan konsisten. Meningkatkan
kualitasnya serta mengambil peran yang lebih nyata, agar dapat memberi pengaruh
positif dalam upaya memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk Indonesia
tercinta. “Demi Waktu. Sungguh, manusia
berada dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” Selamat
Tahun Baru Islam 1440 H.
Parepare, September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar