Kamis, 25 April 2019

Muhasabah Diri di Tahun Baru Islam

Setiap tanggal 1 Muharram, menjadi penanda bagi kaum Muslimin akan datangnya awal tahun baru Islam. Momentum ini, menegaskan kepada kita akan sebuah fase perjalanan telah dilewati, dan bersiap memasuki fase waktu berikutnya. Mungkin yang tepat kita lakukan dalam kaitan ini, ialah melakukan evaluasi dan muhasabah diri. Sejauh mana kita umat Islam, telah mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dengan baik, di negeri tercinta ini.
Sebagai agama kemanusiaan, Islam seperti diyakini, memiliki tuntunan filosofis dalam rangka menyelamatkan arah perubahan sejarah peradaban manusia. Dalam filsafat penciptaan, Allah SWT yang merupakan Causa Prima ‘menitiskan’ derivasi kemuliaan cinta-Nya kepada Nur Muhammad, sebagai kerangka dasar lahirnya penciptaan semua fenomena alam. Dari sinilah tajalliyat Allah di bumi diawali dan diakhiri. Oleh karena manusia merupakan Khalifatullah di bumi, maka dengan demikian tanggung jawab penyelamatan peradaban umat manusia ada di pundak mereka.
Islam diturunkan Tuhan untuk mengubah dunia, dalam bentuknya sebagai agama yang mempunyai landasan nilai-nilai dalam kehidupan, berhadapan dengan berbagai kemerosotan pada dimensi kehidupan masyarakat. Konsepsi Islam tentang perubahan, bukanlah sesuatu yang bersifat deterministik. Akan tetapi, ia merupakan hasil dari kondisi-kondisi alamiah, yang pada batas tertentu, dapat ditundukkan oleh kehendak dan pilihan manusia.
Karenanya, sebuah perubahan bergerak dari kehendak dan pilihan, bukan keterpaksaan. Sebab itu, dalam pandangan Islam, manusia adalah pencipta perubahan. Al-Quranul Karim mengemukakan: “Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sampai kaum itu mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS.Al-Anfal:53) dalam firman lain, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’d:11)
Lantas, bagaimana dengan umat Islam di negeri ini, yang jumlahnya mayoritas? Adakah kualitas kehidupan umat, sudah sebanding dengan kuantitasnya? Tampaknya, dalam kenyataan yang ada, hal kesenjangan inilah yang masih merisaukan berbagai pihak. Lalu, kapankah kita menjadi umat terbaik seperti yang digambarkan Quran dalam Surah Ali Imran 110? Tentu saja bila berbicara mengenai kualitas umat, tidak mungkin dipisahkan dengan kualitas dari individu-individu Muslim. Menarik untuk direnungkan, penggalan puisi dari KH. Mustofa Bisri, yang berjudul “Selamat Tahun Baru Kawan”:
Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
Memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisab-Nya

Kawan, siapakah kita ini sebenarnya
Musliminkah
Mukminin
Muttaqin
Khalifah Allah
Umat Muhammadkah kita?
Khaira Ummatinkah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain
Atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak-budak perut dan kelamin

Sejalan dengan puisi di atas, Allah SWT telah menerangkan dalam Surah Al-A’raf 179 dengan firman-Nya, “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata tapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” 
Lazimnya memang, kualitas manusia akan sangat ditentukan oleh kekuatan (quwwah) yang ada pada diri manusia itu sendiri. Menurut Sayyid Kamal Haidari, ada beberapa jenis kekuatan yang membentuk jiwa (nafs) manusia. Pertama, Quwwatun Bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan. Unsur inilah yang mendorong seseorang untuk mencari kepuasan lahiriah dan kenikmatan sensual. Kedua, Quwwatun Sab’iyyah atau kekuatan binatang buas. Kekuatan ini yang mewujud saat seseorang senang menyerang orang lain, memakan hak orang, membenci, menghancurkan dan mendengki orang lain. Ketiga, ada juga yang disebut para sufi dengan Quwwatun Syaithaniyyah/wahmiyyah. Yaitu kekuatan yang mendorong manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang dilakukan. Misalnya, melakukan korupsi. Setan lalu membisikkan kalau ia tidak perlu merasa bersalah, karena itu dilakukan untuk membantu orang lain. Namun, Tuhan juga menetapkan pada diri manusia, percikan cahaya Tuhan yang dinamai Quwwatun Rabbaniyyah atau biasa pula diistilahkan Quwwatun Aqliyyah. Ini adalah bagian penting dari kepribadian manusia, sebab kekuatan ini terletak pada akal sehatnya.
Karena tahun baru Islam terkait dengan peristiwa hijrah Rasulullah SAW, maka sejatinya, saat momentum tersebut tiba, pengikut Rasul suci, mesti melakukan hal yang sama dalam bentuknya yang lain. Dengan potensi kekuatan yang dimiliki, setiap Muslim harus berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, dari berbagai hal yang negatif menuju pada yang positif.
Jalaluddin Rakhmat dalam “Reformasi Sufistik”, menukil Al-Ghazali yang menjelaskan tiga gerbang yang mesti dilewati, ketika kita ingin mengaktualkan Islam. Gerbang pertama: apakah yang kita kerjakan itu betul-betul ajaran Islam, berdasarkan Al-Quran dan sunnah? Bila lulus, kita memasuki gerbang kedua: apakah yang akan kita amalkan itu, bermanfaat untuk kita dan kaum Muslim? Dari gerbang kedua, kita harus masuk ke gerbang ketiga dengan pertanyaan: apakah kita sudah menemukan cara terbaik untuk menjalankan amal itu?
Muhammad Abduh pernah mengatakan bahwa seringkali Islam tertutup oleh orang-orang Islam. Lebih tegasnya, keindahan syariat Islam kadangkala tertutup oleh cara orang mengamalkan ajaran Islam. Shalat Anda kurang bermakna, bila tidak dapat mencegah kekejian dan kemungkaran. Haji Anda tak berarti, jika Anda tidak meninggalkan rumah sempit egoisme dalam diri Anda. Bagaimana orang bisa tertarik menegakkan sistem pemerintahan Islam, bila yang tampil sebagai negara Islam adalah gambaran menakutkan tentang Islam.
Padahal Al-Quran menyebut umat Islam sebagai Khaira Ummah, umat yang terbaik. Rasulullah SAW memberi tuntunan pada kita, “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung. Siapa yang hari ini keadaannya sama dengan kemarin, maka dia dalam keadaan merugi. Dan siapa yang kondisinya hari ini lebih buruk dari sebelumnya, maka sesungguhnya dia celaka.”
Olehnya itu, saat ini adalah waktu yang tepat bagi umat Islam, secara progresif melakukan muhasabah diri. Menjalankan perubahan dan perbaikan dengan konsisten. Meningkatkan kualitasnya serta mengambil peran yang lebih nyata, agar dapat memberi pengaruh positif dalam upaya memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk Indonesia tercinta. “Demi Waktu. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” Selamat Tahun Baru Islam 1440 H.
Parepare, September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...