Di suatu akhir pekan, tepatnya Sabtu
19 Januari 2019, KNPI Provinsi Sulawesi Selatan menggelar Dialog Publik dengan
tema, “Intervensi Kebijakan Publik dalam Pembangunan Daerah Berbasis Literasi”.
Perbincangan ini menjadi inisiasi awal, yang bisa dimaknai sebagai refleksi
kegelisahan dari kaum muda dan juga sejumlah komunitas literasi Sulsel, melihat
masih rendahnya perhatian pemerintah daerah, terkait dengan pengembangan
literasi di Sulawesi Selatan.
Padahal, dalam satu dekade terakhir, khususnya
beberapa tahun belakangan ini, geliat literasi semakin menemukan momentumnya.
Komunitas literasi bermunculan di berbagai tempat dan daerah. Yang menakjubkan,
karena umumnya komunitas yang lahir tersebut, digawangi oleh kalangan muda,
dengan latar yang berbeda-beda. Seolah ingin melanjutkan tradisi literasi
leluhur orang Sulawesi Selatan. Prof.Mr.Dr.Andi Zainal Abidin Farid,SH dalam
“Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan”, menyebutkan adanya beragam lontarak Bugis-Makassar, yang memuat
berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti : sejarah, filsafat dan pandangan
hidup, pertanian, kebudayaan, obat-obatan, hukum adat, dan lain-lain. Hal
tersebut menunjukkan, betapa majunya tradisi literasi ketika itu.
Bukankah daerah kita ini, pernah
melahirkan atau memiliki Surek I La
Galigo. Sebuah hasil karya terbesar orang-orang Bugis pada masa pra-Islam.
Istilah Surek atau surat pada karya
tersebut, bagi Prof. Zainal Abidin Farid adalah merupakan istilah yang justru lebih
tua dari lontarak. Belum lagi,
karya-karya literasi dari sejumlah ulama dan pemuka agama, yang merupakan
perintis awal penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Sebut saja di antaranya,
Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini di Tosora Wajo, Sayyid Jalaluddin di
Cikoang Takalar, Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail di Mandar, yang juga adalah
salah satu guru Imam Lapeo. Dan mungkin yang paling masyhur di masyarakat
Sulawesi Selatan ialah, Syekh Yusuf al-Makassari, yang pernah menorehkan karya
semisal Fusushul Hikam atau Futuhat al-Makkiyah-nya Ibn ‘Arabi.
Menarik untuk dicermati, bahwa komunitas
literasi yang tumbuh belakangan ini, umumnya diinisiasi secara mandiri, lalu
dikelola dan digerakkan oleh kalangan muda terdidik. Yang oleh Alwy Rachman, Budayawan
Sulsel dan sekaligus Tokoh Literasi, menamainya sebagai “gerakan kultural.” Pada
mereka, mungkin saja telah bersemai pemahaman dan kesadaran secara kolektif,
akan pentingnya tradisi literasi ini, untuk terus dikembangkan. Karena
dengannya, dapat meniscayakan terciptanya sebuah peradaban dan kebudayaan ke
arah yang lebih baik dan lebih maju.
Terkait dengan kebijakan publik yang
diharapkan, sejumlah pertanyaan berikut, mungkin bisa dielaborasi, di
antaranya: apakah fenomena gerakan literasi ini, juga dibaca dan dicermati oleh
penguasa/penyelenggara pemerintahan? Apakah literasi, juga dianggap penting
oleh pemerintahan sekarang ini, sehingga memungkinkan dimasukkan sebagai salah
satu program prioritas pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan? Bisakah aktivitas
literasi diakomodasi dalam perencanaan tata ruang Sulawesi Selatan? Sudahkah
kegiatan literasi memiliki pijakan dalam dokumen perencanaan kita?
Seperti diketahui, ada dua dokumen
yang selalu menjadi pedoman setiap daerah dalam proses pembangunan, yaitu dokumen
perencanaan pembangunan (RPJP(D), RPJM(D), RKP) dan dokumen perencanaan spasial
( Rencana Umum Tata Ruang, Rencana Rinci Tata Ruang). Di sinilah problemnya,
karena setelah ditelusuri dokumen-dokumen tersebut, ternyata tidak ditemukan
deskripsi tentang literasi di dalamnya.
Pada RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025,
sesungguhnya ada dua “Misi” di dalamnya, yang hemat saya bisa menjadi dasar
untuk menghidupkan kegiatan/aktivitas literasi di Sulawesi Selatan. Pertama,
mewujudkan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan. Kedua, mewujudkan
masyarakat Sulawesi Selatan sebagai komunitas pembelajar. Demikian halnya,
dalam Rancangan Awal RPJMD Sulawesi Selatan 2018-2023, yang bahkan menyebut
salah satu prioritas pembangunan daerah adalah pembangunan manusia. Namun
sayangnya, saat ditelisik turunan programnya, semua hanya terkait dengan
pendidikan yang bersifat formal. Di antara program tersebut: (a). peningkatan
mutu pendidikan menengah dan khusus, (b). peningkatan kualitas pendidik dan
tenaga kependidikan, serta (c). pengembangan pendidikan vokasional. Sementara
kegiatan literasi, tidak dilihat sebagai aset besar dalam rangka membangun dan
meningkatkan kualitas manusia.
Lantas, bagaimana dengan tata ruang untuk
literasi kita? Literasi dan tata ruang, dua hal yang saling membutuhkan. Tata
ruang masih perlu terus diliterasikan, agar masyarakat mengerti pentingnya tata
ruang. Sementara literasi membutuhkan ruang dalam geliat aktivitasnya. Nah, Semua
kegiatan manusia tentu membutuhkan ruang, termasuk aktivitas literasi. Tapi
secara umum, tata ruang kita bisa dikatakan belum berpihak pada giat literasi.
Karena tradisi literasi, belum dipahami sebagai kebutuhan esensial manusia.
Ruang kita, belum banyak ditata sesuai dengan hal-hal substansial yang
diperlukan bagi manusia. Sebab, kecenderungan pembangunan dan penataan ruang
kita, masih mementingkan aspek ekonomi, ketimbang memperhatikan faktor manusia,
sosial serta budaya. Padahal pembangunan dan penataan ruang yang tidak manusiawi/humanis, sangat
berpotensi menciptakan problematika sosial.
Dosen Filsafat STF Driyarkara
B.Herry-Priyono, menyebutkan bahwa sekitar tiga dasawarsa terakhir, sebuah
drama sedang melanda dunia. Apa yang biasa disebut dengan ‘ruang publik’ sedang
mengalami transformasi. Karena merupakan arena terbuka, ia sedang menjadi ranah
yang diperebutkan untuk dibentuk menjadi
apa saja, tergantung pada kekuatan mana yang memiliki sumber daya paling kuat
untuk menguasainya. Salah satu gejalanya adalah dengan mudahnya para kapitalis
dan pemilik modal, menguasai ruang/lahan yang begitu luas, untuk digunakan
membangun pusat-pusat perbelanjaan serta perumahan elit. Di lain sisi,
ruang-ruang untuk berkembangnya tradisi literasi tidak difasilitasi, karena
boleh jadi dianggap tidak menguntungkan secara ekonomis. Saya membayangkan
seluruh kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan, terbangun ruang-ruang
publik yang memadai, berupa taman-taman kota yang diperuntukkan bagi hidupnya
kembali tradisi literasi kita, yang pernah mengukir sejarah dalam peradaban dan
kebudayaan Sulawesi Selatan.
Dalam menata ruang untuk kepentingan pengembangan
tradisi literasi, maka respon serta komitmen (political will) dari kepala daerah dengan kedudukan dan posisinya
yang begitu strategis, sangatlah menentukan. Dengan demikian, upaya membincangkan
tema dialog di atas, akan serasa menemukan konteksnya. Karenanya, berbarengan
dengan itu, untuk sebuah gerakan literasi yang progresif dan massif di masa
mendatang, diperlukan “interupsi” dari kalangan muda, pegiat literasi serta
komunitas literasi yang ada, untuk mendorong upaya intervensi kebijakan dalam
menciptakan ruang-ruang produktif bagi kemajuan literasi di daerah kita ini.
Sejatinya memang, literasi mesti
terakomodasi dalam sistem dan kebijakan perencanaan kita. Baik pada perencanaan
pembangunan maupun perencanaan tata ruang. Karena, melalui literasi, kebutuhan
manusia akan perolehan dan perluasan pengetahuan menjadi terpenuhi. Yang dengan
pengetahuan tersebut, akan mengantarkan manusia pada makrifat hakiki dan
pengenalan tentang dirinya sebagai manusia. Wallahu
a’lam bisshawab.
RADAR
Makassar, Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar