Kamis, 25 April 2019

Tata Ruang dan Literasi Sulsel

Di suatu akhir pekan, tepatnya Sabtu 19 Januari 2019, KNPI Provinsi Sulawesi Selatan menggelar Dialog Publik dengan tema, “Intervensi Kebijakan Publik dalam Pembangunan Daerah Berbasis Literasi”. Perbincangan ini menjadi inisiasi awal, yang bisa dimaknai sebagai refleksi kegelisahan dari kaum muda dan juga sejumlah komunitas literasi Sulsel, melihat masih rendahnya perhatian pemerintah daerah, terkait dengan pengembangan literasi di Sulawesi Selatan.
Padahal, dalam satu dekade terakhir, khususnya beberapa tahun belakangan ini, geliat literasi semakin menemukan momentumnya. Komunitas literasi bermunculan di berbagai tempat dan daerah. Yang menakjubkan, karena umumnya komunitas yang lahir tersebut, digawangi oleh kalangan muda, dengan latar yang berbeda-beda. Seolah ingin melanjutkan tradisi literasi leluhur orang Sulawesi Selatan. Prof.Mr.Dr.Andi Zainal Abidin Farid,SH dalam “Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan”, menyebutkan adanya beragam lontarak Bugis-Makassar, yang memuat berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti : sejarah, filsafat dan pandangan hidup, pertanian, kebudayaan, obat-obatan, hukum adat, dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan, betapa majunya tradisi literasi ketika itu. 
Bukankah daerah kita ini, pernah melahirkan atau memiliki Surek I La Galigo. Sebuah hasil karya terbesar orang-orang Bugis pada masa pra-Islam. Istilah Surek atau surat pada karya tersebut, bagi Prof. Zainal Abidin Farid adalah merupakan istilah yang justru lebih tua dari lontarak. Belum lagi, karya-karya literasi dari sejumlah ulama dan pemuka agama, yang merupakan perintis awal penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Sebut saja di antaranya, Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini di Tosora Wajo, Sayyid Jalaluddin di Cikoang Takalar, Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail di Mandar, yang juga adalah salah satu guru Imam Lapeo. Dan mungkin yang paling masyhur di masyarakat Sulawesi Selatan ialah, Syekh Yusuf al-Makassari, yang pernah menorehkan karya semisal Fusushul Hikam atau Futuhat al-Makkiyah-nya Ibn ‘Arabi.
Menarik untuk dicermati, bahwa komunitas literasi yang tumbuh belakangan ini, umumnya diinisiasi secara mandiri, lalu dikelola dan digerakkan oleh kalangan muda terdidik. Yang oleh Alwy Rachman, Budayawan Sulsel dan sekaligus Tokoh Literasi, menamainya sebagai “gerakan kultural.”  Pada mereka, mungkin saja telah bersemai pemahaman dan kesadaran secara kolektif, akan pentingnya tradisi literasi ini, untuk terus dikembangkan. Karena dengannya, dapat meniscayakan terciptanya sebuah peradaban dan kebudayaan ke arah yang lebih baik dan lebih maju.    
Terkait dengan kebijakan publik yang diharapkan, sejumlah pertanyaan berikut, mungkin bisa dielaborasi, di antaranya: apakah fenomena gerakan literasi ini, juga dibaca dan dicermati oleh penguasa/penyelenggara pemerintahan? Apakah literasi, juga dianggap penting oleh pemerintahan sekarang ini, sehingga memungkinkan dimasukkan sebagai salah satu program prioritas pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan? Bisakah aktivitas literasi diakomodasi dalam perencanaan tata ruang Sulawesi Selatan? Sudahkah kegiatan literasi memiliki pijakan dalam dokumen perencanaan kita?
Seperti diketahui, ada dua dokumen yang selalu menjadi pedoman setiap daerah dalam proses pembangunan, yaitu dokumen perencanaan pembangunan (RPJP(D), RPJM(D), RKP) dan dokumen perencanaan spasial ( Rencana Umum Tata Ruang, Rencana Rinci Tata Ruang). Di sinilah problemnya, karena setelah ditelusuri dokumen-dokumen tersebut, ternyata tidak ditemukan deskripsi tentang literasi di dalamnya.
Pada RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025, sesungguhnya ada dua “Misi” di dalamnya, yang hemat saya bisa menjadi dasar untuk menghidupkan kegiatan/aktivitas literasi di Sulawesi Selatan. Pertama, mewujudkan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan. Kedua, mewujudkan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai komunitas pembelajar. Demikian halnya, dalam Rancangan Awal RPJMD Sulawesi Selatan 2018-2023, yang bahkan menyebut salah satu prioritas pembangunan daerah adalah pembangunan manusia. Namun sayangnya, saat ditelisik turunan programnya, semua hanya terkait dengan pendidikan yang bersifat formal. Di antara program tersebut: (a). peningkatan mutu pendidikan menengah dan khusus, (b). peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, serta (c). pengembangan pendidikan vokasional. Sementara kegiatan literasi, tidak dilihat sebagai aset besar dalam rangka membangun dan meningkatkan kualitas manusia.
Lantas, bagaimana dengan tata ruang untuk literasi kita? Literasi dan tata ruang, dua hal yang saling membutuhkan. Tata ruang masih perlu terus diliterasikan, agar masyarakat mengerti pentingnya tata ruang. Sementara literasi membutuhkan ruang dalam geliat aktivitasnya. Nah, Semua kegiatan manusia tentu membutuhkan ruang, termasuk aktivitas literasi. Tapi secara umum, tata ruang kita bisa dikatakan belum berpihak pada giat literasi. Karena tradisi literasi, belum dipahami sebagai kebutuhan esensial manusia. Ruang kita, belum banyak ditata sesuai dengan hal-hal substansial yang diperlukan bagi manusia. Sebab, kecenderungan pembangunan dan penataan ruang kita, masih mementingkan aspek ekonomi, ketimbang memperhatikan faktor manusia, sosial serta budaya. Padahal pembangunan dan penataan ruang  yang tidak manusiawi/humanis, sangat berpotensi menciptakan problematika sosial.
Dosen Filsafat STF Driyarkara B.Herry-Priyono, menyebutkan bahwa sekitar tiga dasawarsa terakhir, sebuah drama sedang melanda dunia. Apa yang biasa disebut dengan ‘ruang publik’ sedang mengalami transformasi. Karena merupakan arena terbuka, ia sedang menjadi ranah yang diperebutkan  untuk dibentuk menjadi apa saja, tergantung pada kekuatan mana yang memiliki sumber daya paling kuat untuk menguasainya. Salah satu gejalanya adalah dengan mudahnya para kapitalis dan pemilik modal, menguasai ruang/lahan yang begitu luas, untuk digunakan membangun pusat-pusat perbelanjaan serta perumahan elit. Di lain sisi, ruang-ruang untuk berkembangnya tradisi literasi tidak difasilitasi, karena boleh jadi dianggap tidak menguntungkan secara ekonomis. Saya membayangkan seluruh kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan, terbangun ruang-ruang publik yang memadai, berupa taman-taman kota yang diperuntukkan bagi hidupnya kembali tradisi literasi kita, yang pernah mengukir sejarah dalam peradaban dan kebudayaan Sulawesi Selatan.
Dalam menata ruang untuk kepentingan pengembangan tradisi literasi, maka respon serta komitmen (political will) dari kepala daerah dengan kedudukan dan posisinya yang begitu strategis, sangatlah menentukan. Dengan demikian, upaya membincangkan tema dialog di atas, akan serasa menemukan konteksnya. Karenanya, berbarengan dengan itu, untuk sebuah gerakan literasi yang progresif dan massif di masa mendatang, diperlukan “interupsi” dari kalangan muda, pegiat literasi serta komunitas literasi yang ada, untuk mendorong upaya intervensi kebijakan dalam menciptakan ruang-ruang produktif bagi kemajuan literasi di daerah kita ini.
Sejatinya memang, literasi mesti terakomodasi dalam sistem dan kebijakan perencanaan kita. Baik pada perencanaan pembangunan maupun perencanaan tata ruang. Karena, melalui literasi, kebutuhan manusia akan perolehan dan perluasan pengetahuan menjadi terpenuhi. Yang dengan pengetahuan tersebut, akan mengantarkan manusia pada makrifat hakiki dan pengenalan tentang dirinya sebagai manusia. Wallahu a’lam bisshawab.
RADAR Makassar, Januari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...