Hari Tata
Ruang Nasional, yang diperingati setiap tahunnya, sejatinya menjadi pemantik
berbagai pihak untuk makin peduli terhadap penataan ruang yang lebih baik. Kepedulian
ini penting, sebab tata ruang terkait dengan penataan segala sesuatu yang
berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaraaan kehidupan.
Kota-kota
besar dan metropolitan di Indonesia, seperti Makassar, seiring dengan
perkembangannya yang semakin pesat pada beberapa dasawarsa terakhir, kini
berada dalam level pemanfaatan ruang yang semakin kompleks. Kompleksitas yang
jika terus meningkat, akan memicu bertambahnya persoalan yang harus dihadapi
oleh pengelola dan penduduk kota. Bahkan, bila tidak cermat ditangani, akan
terjadi penumpukan persoalan yang pada akhirnya melahirkan problem lanjutan
yang kian menyusahkan. Dari yang bersifat fisik hingga nonfisik, lonjakan
penduduk/urbanisasi, degradasi lingkungan, pemukiman kumuh, disparitas antar wilayah
di dalam kota, buruknya sistem pelayanan, kerumitan mobilitas dan lain
sebagainya.
Memasuki era
milenium, dengan ikut sertanya Indonesia
ke dalam berbagai kesepakatan global, maka kota-kota di Indonesia
dituntut untuk mempersiapkan diri dalam menangkap peluang serta kemampuan
mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi. Sejalan dengan itu, pada era
otonomi daerah, ketika kebijakan desentralisasi mulai digulirkan, kesempatan
kota-kota dan daerah untuk menata kembali arah perkembangannya mulai terbuka. Artinya,
dengan diberi otoritas untuk menentukan dirinya sendiri, kota-kota yang
tersebar di berbagai wilayah, memiliki hak dan memperoleh kesempatan untuk
melakukan evaluasi dan introspeksi.
Berkembangnya
kota-kota di Indonesia, telah memacu peningkatan kegiatan pembangunan kota
dalam bentuk-bentuk pembangunan baru yang berskala besar, seperti pembangunan
gedung-gedung multi-fungsi, superblock yang menggabungkan tempat untuk
perkantoran, pusat perdagangan dan apartemen, beserta berbagai fasilitas
penunjang lainnya. Hal ini merupakan tantangan untuk menyesuaikan perkembangan
tersebut dengan potensi sumber daya dan daya dukung lingkungan.
Dengan
kondisi demikian, diperlukan instrumen yang dapat dijadikan pedoman dalam
pembangunan dan perkembangan kota, agar perkembangan yang terjadi tidak lepas
kendali. Dalam “Kupas Tuntas Penataan Ruang” disebutkan bahwa salah satu
ketentuan yang mengatur perihal pembangunan di negara kita, yaitu Rencana
Pembangunan dengan Pendekatan Ruang, sebagaimana diatur dalam UU. No.26 tahun
2007, yang menghasilkan dokumen Rencana Umum Penataan Ruang dan Rencana Rinci
Penataan Ruang.
Artinya,
untuk menentukan arah perkembangan sebuah kota, mesti memperhatikan acuan resmi
yaitu Rencana Tata ruang Wilayah (RTRW) serta Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi (RDTR-PZ). Namun ironisnya, kedua instrumen tata ruang
tersebut, seringkali berhenti pada tingkat rencana. Sementara, dari waktu ke
waktu pelanggaran tata ruang, selalu saja masih terjadi.
Pada buku
“Mewariskan Kota Layak Huni”, Nirwono Yoga menyebutkan dua bentuk pelanggaran
mencolok yang selalu terjadi di berbagai kota besar, sepanjang lima tahun
terakhir, yaitu :
Pertama, proses
privatisasi ruang publik. Dengan dalih kota membutuhkan pemasukan dana untuk
mendongkrak PAD, pemerintah kota seolah sah-sah saja ketika memutuskan wilayah
yang peruntukannya RTH (taman, pemakaman, jalur hijau, daerah resapan/tangkapan
air), kemudian berubah fungsi menjadi bangunan komersial yang soliter. Di
berbagai kota besar, berapa banyak plaza dan kompleks perumahan mewah berdiri
tanpa mengindahkan sedikit pun kewajiban mereka untuk menyediakan fasos dan
fasum. Hal ini pula dialami Kota Makassar yang kehilangan sejumlah fasum-fasos.
Kedua, proses yang
disebut McGee dengan istilah mega-urbanization,
yakni perkembangan jumlah penduduk di berbagai kota besar yang makin melebar ke
daerah pinggiran bahkan ke wilayah kota-kota kedua. Yang ujung-ujungnya
menyebabkan terjadinya proses pengalihan fungsi lahan kota pinggiran, baik
untuk permukiman maupun untuk industri.
Dari
problematika tersebut, maka pilihan rasional yang mesti ditempuh adalah kembali
menjadikan instrumen dan produk tata ruang sebagai ‘panglima’ dalam
pembangunan, agar perkembangan kota kita bisa lebih baik dan lebih terarah.
Bila merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), kota
masa depan yang diharapkan adalah kota yang berkelanjutan dan berdaya saing
untuk kesejahteraan masyarakat. Yang meliputi tiga hal yaitu Kota Cerdas (smart city – kota inovatif, kreatif,
berbasis teknologi informasi dan komunikasi), Kota Layak Huni (livable city – kota layak huni, berkeadilan, mengakui
keragaman) serta Kota Hijau (green city
– kota produktif, hijau, berketahanan iklim). Akankah Makassar menjadi salah
satu di antara kota masa depan? Wallahu
a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar