Kamis, 25 April 2019

Tata Ruang dan Perkembangan Kota (Catatan Hari Tata Ruang Nasional, 8 November 2018)

Hari Tata Ruang Nasional, yang diperingati setiap tahunnya, sejatinya menjadi pemantik berbagai pihak untuk makin peduli terhadap penataan ruang yang lebih baik. Kepedulian ini penting, sebab tata ruang terkait dengan penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaraaan kehidupan.   
Kota-kota besar dan metropolitan di Indonesia, seperti Makassar, seiring dengan perkembangannya yang semakin pesat pada beberapa dasawarsa terakhir, kini berada dalam level pemanfaatan ruang yang semakin kompleks. Kompleksitas yang jika terus meningkat, akan memicu bertambahnya persoalan yang harus dihadapi oleh pengelola dan penduduk kota. Bahkan, bila tidak cermat ditangani, akan terjadi penumpukan persoalan yang pada akhirnya melahirkan problem lanjutan yang kian menyusahkan. Dari yang bersifat fisik hingga nonfisik, lonjakan penduduk/urbanisasi, degradasi lingkungan, pemukiman kumuh, disparitas antar wilayah di dalam kota, buruknya sistem pelayanan, kerumitan mobilitas dan lain sebagainya.
Memasuki era milenium, dengan ikut sertanya Indonesia  ke dalam berbagai kesepakatan global, maka kota-kota di Indonesia dituntut untuk mempersiapkan diri dalam menangkap peluang serta kemampuan mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi. Sejalan dengan itu, pada era otonomi daerah, ketika kebijakan desentralisasi mulai digulirkan, kesempatan kota-kota dan daerah untuk menata kembali arah perkembangannya mulai terbuka. Artinya, dengan diberi otoritas untuk menentukan dirinya sendiri, kota-kota yang tersebar di berbagai wilayah, memiliki hak dan memperoleh kesempatan untuk melakukan evaluasi dan introspeksi.
Berkembangnya kota-kota di Indonesia, telah memacu peningkatan kegiatan pembangunan kota dalam bentuk-bentuk pembangunan baru yang berskala besar, seperti pembangunan gedung-gedung multi-fungsi, superblock yang menggabungkan tempat untuk perkantoran, pusat perdagangan dan apartemen, beserta berbagai fasilitas penunjang lainnya. Hal ini merupakan tantangan untuk menyesuaikan perkembangan tersebut dengan potensi sumber daya dan daya dukung lingkungan.
Dengan kondisi demikian, diperlukan instrumen yang dapat dijadikan pedoman dalam pembangunan dan perkembangan kota, agar perkembangan yang terjadi tidak lepas kendali. Dalam “Kupas Tuntas Penataan Ruang” disebutkan bahwa salah satu ketentuan yang mengatur perihal pembangunan di negara kita, yaitu Rencana Pembangunan dengan Pendekatan Ruang, sebagaimana diatur dalam UU. No.26 tahun 2007, yang menghasilkan dokumen Rencana Umum Penataan Ruang dan Rencana Rinci Penataan Ruang.
Artinya, untuk menentukan arah perkembangan sebuah kota, mesti memperhatikan acuan resmi yaitu Rencana Tata ruang Wilayah (RTRW) serta Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ). Namun ironisnya, kedua instrumen tata ruang tersebut, seringkali berhenti pada tingkat rencana. Sementara, dari waktu ke waktu pelanggaran tata ruang, selalu saja masih terjadi.
Pada buku “Mewariskan Kota Layak Huni”, Nirwono Yoga menyebutkan dua bentuk pelanggaran mencolok yang selalu terjadi di berbagai kota besar, sepanjang lima tahun terakhir, yaitu :
Pertama, proses privatisasi ruang publik. Dengan dalih kota membutuhkan pemasukan dana untuk mendongkrak PAD, pemerintah kota seolah sah-sah saja ketika memutuskan wilayah yang peruntukannya RTH (taman, pemakaman, jalur hijau, daerah resapan/tangkapan air), kemudian berubah fungsi menjadi bangunan komersial yang soliter. Di berbagai kota besar, berapa banyak plaza dan kompleks perumahan mewah berdiri tanpa mengindahkan sedikit pun kewajiban mereka untuk menyediakan fasos dan fasum. Hal ini pula dialami Kota Makassar yang kehilangan sejumlah fasum-fasos.
Kedua, proses yang disebut McGee dengan istilah mega-urbanization, yakni perkembangan jumlah penduduk di berbagai kota besar yang makin melebar ke daerah pinggiran bahkan ke wilayah kota-kota kedua. Yang ujung-ujungnya menyebabkan terjadinya proses pengalihan fungsi lahan kota pinggiran, baik untuk permukiman maupun untuk industri.
Dari problematika tersebut, maka pilihan rasional yang mesti ditempuh adalah kembali menjadikan instrumen dan produk tata ruang sebagai ‘panglima’ dalam pembangunan, agar perkembangan kota kita bisa lebih baik dan lebih terarah. Bila merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), kota masa depan yang diharapkan adalah kota yang berkelanjutan dan berdaya saing untuk kesejahteraan masyarakat. Yang meliputi tiga hal yaitu Kota Cerdas (smart city – kota inovatif, kreatif, berbasis teknologi informasi dan komunikasi), Kota Layak Huni (livable city  kota layak huni, berkeadilan, mengakui keragaman) serta Kota Hijau (green city – kota produktif, hijau, berketahanan iklim). Akankah Makassar menjadi salah satu di antara kota masa depan? Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, November 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...