Kamis, 25 April 2019

Politik dan Produk Perencanaan dalam Pembangunan Daerah

“Kota terbaik bagi kamu adalah tempat di mana
kehidupan dirimu diatur secara sistem.”
(Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw)
Meningkatnya kebutuhan serta pertumbuhan penduduk yang begitu pesat, meniscayakan semua daerah untuk melakukan percepatan pembangunan di segala bidang. Bahkan, atas nama pembangunan tersebut, terkadang setiap kepala daerah berlomba untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya penghargaan bagi daerahnya. Meski tidak jarang semua itu hanya sebatas mengejar prestise ketimbang prestasi, sebab seringkali tidak berkorelasi dengan pembangunan daerah yang sudah dilakukan.
Berkaitan dengan tema kali ini, mungkin memunculkan pertanyaan, di manakah urgensi pembahasan antara politik dan produk perencanaan dalam pembangunan daerah?
Sebelum menjawab itu, saya ingin mendahuluinya dengan nukilan penjelasan dalam “Filsafat Politik Islam”nya Yamani. Ia menguraikan tentang pembagian klasik filsafat, khususnya filsafat Islam, yang terbagi atas dua bagian. Pertama, filsafat teoritis atau biasa disebut al-hikmah al-nazhariyyah. Kedua, filsafat praktis atau disebut juga al-hikmah al-‘amaliyyah. Yang pertama terkait dengan hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan yang kedua menyangkut segala sesuatu sebagaimana seharusnya atau apa yang seharusnya dilakukan. Bila filsafat teoritis terkait dengan fisika, metafisika dan psikologi. Maka filsafat praktis berkaitan antara lain dengan etika, ekonomi dan politik. Nah, politik dalam konteks ini adalah mengatur pengelolaan suatu kota (politea)/daerah atau negara, yang sering juga disebut dengan pengaturan kekuasaan.
Sayyid Musa Kazhim dalam sebuah tulisannya, mendakukan bahwa istilah politik saat pertama kali diujarkan, tidak pernah ia terpisah dari etika. Ibarat dua sisi mata uang. Barulah belakangan ini, politik jauh melenceng dari etika. Sekarang politik menjadi semacam pragmatisme. Padahal, dalam “The Republic”, Plato jelas-jelas mengaitkan politik (pengaturan kekuasaan) dengan etika. Begitu pula dengan muridnya Aristoteles. Boleh jadi, dari kedua pemikir terkemuka inilah terbetik istilah ‘etika politik’. Baginya, etika dan politik itu sama-sama mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Karena, Aristoteles percaya bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Karenanya, kita perlu memahami ‘politik’ sebagai sesuatu yang berdimensi normatif, yang dapat dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju maslahatnya. Selanjutnya, etika politik kemudian merumuskan pentingnya mengelola kekuasaan lewat sebuah pemerintahan (government). Sementara sebuah pemerintahan membutuhkan aturan (rules of conduct) atau konstitusi (constitution), kedaulatan (sovereignty), pengesahan (legitimacy), peradilan (jurisdiction) dan penegakan hukum (law enforcement) sebagai tongak-tonggaknya.
Sekarang, kita akan coba menelisik hubungan antara politik dengan produk perencanaan. Pembangunan di sebuah daerah, tentu tidak bisa dilakukan tanpa adanya sebuah panduan atau pedoman. Pada titik ini, produk perencanaan menjadi sangat penting kedudukannya. Secara umum, sebuah daerah dalam melakukan pembangunan, paling tidak membutuhkan dua buah produk perencanaan sebagai pedoman dasar. Yaitu, Perencanaan Pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Perencanaan Spasial yang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dari produk perencanaan tersebut, kita dapat mengetahui dan memahami arah, orientasi serta tujuan pembangunan sebuah daerah. Keduanya harus selalu tersinkronisasi, karena kepada keduanya seorang kepala daerah mesti menjadikan rujukan dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya. Jadi sebetulnya, Kepala Daerah tidak boleh semaunya membuat atau merumuskan visi-misinya kecuali berpedoman kepada produk perencanaan di atas.
Hal tersebut terungkap dengan jelas dalam UU. No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diamandemen lewat UU. No.9 Tahun 2015, pada Pasal 265,  di mana disebutkan bahwa: “RPJPD menjadi pedoman dalam perumusan visi, misi dan program calon kepala daerah.” Dalam konteks ini, proses politik akan berlangsung antara kepala daerah terpilih dengan DPRD sebagai repsentasi wakil rakyat untuk mendapatkan pengesahan.
Legitimasi atau pengesahan menjadi penting karena berkaitan dengan penerimaan khalayak terhadap ketetapan-ketetapan dan peraturan yang ada dalam suatu masyarakat. Berkenaan dengan itu, Pasal 261 pada UU. 23/2014 tersebut, menjelaskan pula bahwa salah satu pendekatan yang digunakan dalam perencanaan pembangunan daerah, adalah pendekatan politis, di samping pendekatan lainnya yaitu teknokratis, partisipatif, serta atas-bawah dan bawah-atas. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menerjemahkan visi dan misi kepala daerah terpilih ke dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah yang dibahas bersama DPRD.
Penyelarasan di antara dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), RPJMN dengan RPJMD, atau yang lainnya, sangat penting ditempuh untuk memastikan arah pembangunan yang sedang dilakukan, tidak melenceng dari yang semestinya. Sebab, masih banyak daerah, yang kurang cermat dalam meletakkan antara visi-misi daerah dengan visi-misi kepala daerahnya.
Visi-misi daerah yang tertuang dalam RPJPD, seringkali tidak dijadikan pedoman oleh calon kepala daerah, saat merumuskan visi-misinya yang nantinya akan diadaptasi ke dalam RPJMD, padahal sudah diperintahkan oleh undang-undang. Mengapa visi-misi ini menjadi sangat urgen? Karena, dari situlah kita bisa mendapatkan gambaran kondisi yang diinginkan pada akhir periode perencanaan serta upaya-upaya yang harus dilaksanakan untuk mewujudkannya.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), mengamanatkan bahwa di antara tujuan dari perencanaan pembangunan adalah mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan serta menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi, baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah. Penyelarasan dokumen perencanaan mesti terus dikerjakan agar keberlangsungan pembangunan dapat tercipta, sebagaimana  harapan yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs).
Demikian halnya dengan rencana spasial/ruang. Meski sudah banyak yang sependapat bahwa permasalahan kota-kota dan daerah di Indonesia, sebetulnya dapat diselesaikan melalui penataan ruang yang lebih baik, tetapi tidak semua kepala daerah memiliki pemahaman yang baik soal tata ruang. Tidak jarang dari mereka melakukan pembangunan tanpa ada perencanaan ke depannya, padahal untuk menciptakan ruang yang nyaman, maka penataan ruang semestinya direncanakan secara matang serta memiliki landasan konseptual yang jelas. Sayangnya, yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia justru sebaliknya, penataan ruang cenderung prematur, terkesan praktis dan tanpa konsep yang jelas. Sebagai contoh, seperti yang diketahui, masih banyak kepala daerah yang belum mengenal dan memahami berbagai konsep pembangunan perkotaan. Sehingga, akan dihadapkan pada  problematika ruang yang rumit dan pelik di daerahnya, yang pada akhirnya akan menjadikan semakin sulit dalam menemukan solusi yang tepat dari persoalan penataan ruang.  
Sekiranya seluruh kepala daerah mengerti dan memahami tujuan dari pembangunan serta untuk siapa sebenarnya pembangunan itu?  Maka sejatinya, kepala daerah yang juga merupakan aparat pemerintahan, sudah sepatutnya taat pada regulasi dan aturan, serta berupaya untuk tidak menafikannya apatah lagi melanggarnya. Sebab, kalau aturan jadi mainan, maka masyarakat dan pembangunan juga akan menghadapi berbagai persoalan.
Namun ironisnya, peraturan acap kali kebablasan. Di satu sisi, ia jadi totalitarian; di mana menuntut ketundukan mutlak dari segenap warga masyarakat kepada penguasa, tapi di sisi yang lain, ia jadi anarkis; karena mencampakkan aturan. Di sinilah komitmen dari pemerintah atau kepala daerah dapat dilihat, sejauh mana mereka menjalankan aturan yang terkait dengan produk perencanaan dalam membangun daerahnya.
Perlu dipahami, bahwa dalam politik yang benar, tujuan yang baik menuntut cara yang benar. Tujuan yang baik mustahil dicapai lewat cara-cara yang menyimpang. Sayangnya memang, dalam sistem politik yang mengalami reduksi dan distorsi, kerap kali keberpihakan pemerintah atau kepala daerah sangat tergantung kepada kepentingan. Namun, perlu ditegaskan, olah dan metode berpolitik yang patut serta reasonable, sejatinya menjadi komitmen para pemegang kekuasaan dalam menjalankan amanat yang diberikan oleh rakyat, bukan dengan ‘segala cara’ ala Niccolo Machiavelli.
Olehnya itu, dibutuhkan political will dari pemerintah atau kepala daerah dalam menjalankan kebijakan pembangunan dan kebijakan spasial, untuk senantiasa berpedoman kepada produk perencanaan yang ada, agar supaya roda pembangunan dapat bergerak dengan dinamis serta berada di jalur yang benar. Dengan begitu, politik sebagai bagian dari filsafat praktis, telah menempatkan sesuatu sebagaimana seharusnya.
Menjadikan produk perencanaan yang tersinkronisasi, sebagai pedoman dan panduan dalam pembangunan daerah, mesti terus diperjuangkan. Sejatinya, Pemerintah/Kepala Daerah harus konsisten menjalankannya, agar pembangunan daerah bisa terwujud seperti yang diharapkan. Jika tidak, maka pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan hanya sebatas jargon dan slogan, sebab akan sangat sulit untuk diraih. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...