Minggu, 18 Agustus 2019

HAJI : Ritual yang Sarat Makna


Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan kaum Muslimin sekali seumur hidupnya bila ia mampu. Ibadah ini bukan saja memberikan nuansa spiritual dalam diri manusia, tapi juga memberikan makna sosial yang begitu kuat. Sejatinya memang, pengertian ibadah tidak hanya dimaknai secara intrinsik saja, namun ibadah juga mengandung makna praktis, karena ia bisa dilihat sebagai media untuk pengembangan pendidikan pribadi dan kelompok, ke arah komitmen dan pengikatan batin pada tingkah laku yang akhlaki. Dengan ibadah inilah seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektifnya, akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sebaik-baiknya di dunia ini.
Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa perjalanan haji menunjuk pada perjalanan tanpa henti dari jiwa menuju Tuhan. Haji merupakan ritual ziarah Kabah dan kegiatan manasik yang dilakukan di sepanjang abad dan masa, dalam berbagai macam dan bentuknya. Kabah merupakan titik pusat pertama yang menarik para ahli ibadah menuju Allah SWT. Allah berfirman:
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS.Ali Imran:96-97)
Kabah merupakan rumah pertama yang digunakan untuk beribadah dan menyembah Allah SWT.  Ia dibangun dengan tujuan memberikan hidayah kepada seluruh manusia dan bangunan tersebut mengandung banyak berkah. Hidayah Kabah tidak dikhususkan bagi umat dan masa tertentu saja. Namun, ia diperuntukkan bagi seluruh umat manusia sepanjang masa. Oleh karena itu, sejak zaman dahulu kala para penyembah berhala dari semua bangsa telah menghormati Kabah. Lantaran berbagai faktor, mereka yakin bahwa menghormati Kabah adalah sebuah kewajiban.
Bagi kaum Muslimin, haji merupakan peristiwa yang sangat dirindukan. Sebuah peristiwa yang merupakan jalan menuju kesempurnaan ibadah. Inilah saat-saat yang dinantikan seluruh kaum Muslimin. Di sinilah mereka saling berjanji untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena sebagaimana Ali Syariati katakan, begitu engkau memutuskan untuk menunaikan ibadah haji, sudah seharusnya engkau mengambil langkah-langkah yang perlu. Sebab ibadah haji adalah antitesis dari ketidakbertujuan dan merupakan pemberontakan melawan nasib buruk.
Sayangnya di negeri ini, sebuah ironi terjadi, di mana haji tidak sekadar dijadikan ritual agama semata. Akan tetapi haji telah menjadi sebuah momen bisnis yang menggiurkan. Tak hanya itu, haji bahkan telah menjadi ajang tempat korupsi para pejabat dan pelaku bisnis haji. Mungkin inilah satu-satunya ritual yang paling diatur oleh pemerintah kita. Bukan karena nilai ritualnya, melainkan karena jumlah rupiah yang berputar di sana. Fenomena haji ini memang menarik diamati, karena meskipun dalam situasi krisis melanda kita, baik krisis moral maupun krisis ekonomi, namun peminatnya terus meningkat sepanjang tahun, terlepas dari motivasi yang melatarbelakanginya.
Dalam dunia yang sedang sekarat karena krisis multidimensi, dengan dorongan fitrahnya, manusia seringkali menemukan kesadaran untuk kembali meraih dimensi yang selama ini hilang. Dimensi ketuhanan yang memberikan manusia kemampuan untuk merasakan kebahagiaan spiritual. William James, seorang psikolog terkemuka abad-20, dalam sebuah bukunya Varieties of Religious Experiences menyatakan bahwa, sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali ia bersahabat dengan Kawan Yang Agung. Tentu Kawan Yang Agung yang dimaksudkan itu adalah Tuhan. Ia juga menambahkan bahwa meskipun manusia memiliki banyak teman, relasi, berada dalam keramaian aktivitasnya, selama ia tidak berkawan dengan Yang Agung maka selama itu pula, ia akan merasakan kesepian, kekosongan dan kehampaan.
Sesungguhnya, haji merupakan latihan untuk kembali kepada Allah SWT. Haji adalah latihan kematian kita, karena kita meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan kerabat dengan niat yang satu, ingin menemui Allah SWT. Haji adalah perjalanan ruhani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung manusia menuju Tuhan. Karena itu, haji yang mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyyah.
Kepada Asy-Syibli yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji, Imam Zainal Abidin – sufi besar dari keluarga Nabi SAW – bertanya kepadanya, “Ketika engkau sampai di miqat dan menanggalkan pakaian berjahit, apakah engkau berniat menanggalkan juga pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah juga engkau tanggalkan riya, kemunafikan dan syubhat? Ketika engkau berihram, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan oleh Allah? Ketika engkau menuju Mekkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah? Ketika engkau memasuki Masjid Al-Haram, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sa’i, apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan di antara cemas dan harap? Ketika engkau wuquf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau berniat memerangi iblis selama sisa hidupmu?”
Ketika untuk semua pertanyaan itu, Asy-Syibli menjawab “tidak”, Imam Zainal Abidin mengeluh, “Ah…, engkau belum ke miqat, belum ihram, belum thawaf, belum sa’i, belum wuquf dan belum sampai ke Mina.” Asy-Syibli pun menangis, dan pada kesempatan berikutnya dia bertekad untuk memperbaiki lagi manasik hajinya. Dalam manasik keluarga Nabi SAW, yang sangat utama adalah kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor, agar dapat beristirahat di rumah Allah yang suci. Bila mampu dan berhasil, berarti Anda Mabrur. Negeri ini butuh para haji yang mabrur dan bukan haji yang hanya mengejar prestise dan pamer kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam dimensi lainnya, menurut Al-Quran, ibadah haji diperintahkan agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berzikir (menyebut nama Allah) pada hari-hari yang ditentukan (QS.22:28). Menurut para mufassir, ayat ini menyebutkan dua dimensi haji: dimensi manfaat dan dimensi zikir. Al-Thabari, dalam tafsirnya, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat.
Mahmud Syaltut, Syeikh Al-Azhar, menyinggung dimensi-dimensi ipoleksosbud sebagai kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah, kata Syaltut, bertemu para pemikir dan ilmuwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, para negarawan dan ahli pemerintahan, ahli-ahli ekonomi, para ulama dan juga para ahli militer kaum Muslim. Inilah pertemuan umat manusia yang terbesar untuk menunjukkan kebesaran Islam. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai ritual yang berdimensi politik. Sekiranya perspektif seperti itu yang digunakan dalam melihat ritual haji ini, maka bisa dibayangkan bagaimana kekuatan kaum Muslimin, yang berhimpun di suatu tempat dan berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru dunia ini. Lalu, menyatukan persepsi dan pandangan serta langkah-langkah yang akan diambil, dalam menghadapi kezaliman musuh-musuh Islam di berbagai belahan dunia, maka efeknya tentu akan sangat besar.
Kalau saja hal itu bisa terwujud, maka tentara-tentara penindas seperti Israel, tidak akan mungkin berani melakukan agresi dan penindasan di Palestina, seperti yang berlangsung sampai sekarang ini. Kekuatan Islam akan sangat diperhitungkan dalam percaturan dunia. Tapi, lihatlah apa yang terjadi saat ini. Islam dan kaum Muslimin tidak begitu diperhitungkan oleh kekuatan musuh-musuh Islam. Negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim, dengan mudah dipermainkan dan dipolitisir, bahkan terkadang dengan gampang diadu domba di antara sesama kaum muslimin.
Nabi kita Muhammad SAW pada tanggal 10 Zulhijjah tahun 10 Hijriah di Haji Wada’ atau Haji Perpisahan, memberikan pesan yang sangat penting. Dalam khutbahnya Nabi berkata: “Wahai manusia, dengarkan pembicaraanku, karena barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini. Yang hadir sekarang ini hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Hai hadirin, tahukah kamu hari apakah ini?” “Hari yang suci,” jawab yang hadir.
“Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya seperti hari ini, pada bulan ini, di negeri ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dirampas hartanya, dan tidak boleh dicemarkan kehormatannya.”
Itulah pesan sakral dari ibadah haji yang sering dilupakan kaum Muslimin. Padahal pesan tersebut tidak hanya berlaku bagi mereka yang telah menunaikan haji, tetapi berlaku umum kepada seluruh umat Islam. Dan sudah semestinya, seorang yang berhaji seyogianya adalah manusia yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya.
Akhirnya, rombongan jamaah haji saat ini, bisa dimaknai sebagai salah satu dari pengejawantahan kerinduan manusia modern terhadap Allah yang diartikulasikan dengan pelaksanaan ibadah ini. Para jamaah haji rela mengorbankan waktu dan biaya yang tidak sedikit, demi untuk melaksanakan ibadah haji yang tentunya tidak akan mendatangkan keuntungan secara ekonomi.
Menurut Ali Syariati, ibadah haji menggambarkan kepulangan kita kepada Allah, yang mutlak dan tidak terbatas dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Pulang kepada Allah menunjukkan suatu gerakan pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan dan nilai-nilai. Demikianlah, haji adalah oase spiritual yang memenuhi dahaga ruhani manusia modern saat ini. Semoga jamaah haji Indonesia dapat mereguk air dari oase tersebut dan kembali sebagai insan-insan perubahan yang memiliki komitmen spiritual dan kemanusiaan.
Makassar, Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...