Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam
yang wajib dilaksanakan kaum Muslimin sekali seumur hidupnya bila ia mampu.
Ibadah ini bukan saja memberikan nuansa spiritual dalam diri manusia, tapi juga
memberikan makna sosial yang begitu kuat. Sejatinya memang, pengertian ibadah
tidak hanya dimaknai secara intrinsik saja, namun ibadah juga mengandung makna
praktis, karena ia bisa dilihat sebagai media untuk pengembangan pendidikan
pribadi dan kelompok, ke arah komitmen dan pengikatan batin pada tingkah laku
yang akhlaki. Dengan ibadah inilah seseorang yang beriman memupuk dan
menumbuhkan kesadaran individual dan kolektifnya, akan tugas-tugas pribadi dan
sosialnya, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sebaik-baiknya di dunia ini.
Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa
perjalanan haji menunjuk pada perjalanan tanpa henti dari jiwa menuju Tuhan.
Haji merupakan ritual ziarah Kabah dan kegiatan manasik yang dilakukan di
sepanjang abad dan masa, dalam berbagai macam dan bentuknya. Kabah merupakan
titik pusat pertama yang menarik para ahli ibadah menuju Allah SWT. Allah
berfirman:
Sesungguhnya rumah yang mula-mula
dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah
(Mekah) yang diberkahi dan menjadi bagi semua manusia. Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya
(Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barangsiapa yang mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS.Ali Imran:96-97)
Kabah merupakan rumah pertama yang digunakan
untuk beribadah dan menyembah Allah SWT.
Ia dibangun dengan tujuan memberikan hidayah kepada seluruh manusia dan
bangunan tersebut mengandung banyak berkah. Hidayah Kabah tidak dikhususkan
bagi umat dan masa tertentu saja. Namun, ia diperuntukkan bagi seluruh umat
manusia sepanjang masa. Oleh karena itu, sejak zaman dahulu kala para penyembah
berhala dari semua bangsa telah menghormati Kabah. Lantaran berbagai faktor,
mereka yakin bahwa menghormati Kabah adalah sebuah kewajiban.
Bagi kaum Muslimin, haji merupakan peristiwa
yang sangat dirindukan. Sebuah peristiwa yang merupakan jalan menuju
kesempurnaan ibadah. Inilah saat-saat yang dinantikan seluruh kaum Muslimin. Di
sinilah mereka saling berjanji untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena
sebagaimana Ali Syariati katakan, begitu engkau memutuskan untuk menunaikan
ibadah haji, sudah seharusnya engkau mengambil langkah-langkah yang perlu.
Sebab ibadah haji adalah antitesis dari ketidakbertujuan dan merupakan
pemberontakan melawan nasib buruk.
Sayangnya di negeri ini, sebuah ironi
terjadi, di mana haji tidak sekadar dijadikan ritual agama semata. Akan tetapi
haji telah menjadi sebuah momen bisnis yang menggiurkan. Tak hanya itu, haji
bahkan telah menjadi ajang tempat korupsi para pejabat dan pelaku bisnis haji.
Mungkin inilah satu-satunya ritual yang paling diatur oleh pemerintah kita.
Bukan karena nilai ritualnya, melainkan karena jumlah rupiah yang berputar di
sana. Fenomena haji ini memang menarik diamati, karena meskipun dalam situasi
krisis melanda kita, baik krisis moral maupun krisis ekonomi, namun peminatnya
terus meningkat sepanjang tahun, terlepas dari motivasi yang
melatarbelakanginya.
Dalam dunia yang sedang sekarat karena krisis
multidimensi, dengan dorongan fitrahnya, manusia seringkali menemukan kesadaran
untuk kembali meraih dimensi yang selama ini hilang. Dimensi ketuhanan yang
memberikan manusia kemampuan untuk merasakan kebahagiaan spiritual. William
James, seorang psikolog terkemuka abad-20, dalam sebuah bukunya Varieties of Religious Experiences
menyatakan bahwa, sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan
kecuali ia bersahabat dengan Kawan Yang Agung. Tentu Kawan Yang Agung yang
dimaksudkan itu adalah Tuhan. Ia juga menambahkan bahwa meskipun manusia
memiliki banyak teman, relasi, berada dalam keramaian aktivitasnya, selama ia
tidak berkawan dengan Yang Agung maka selama itu pula, ia akan merasakan
kesepian, kekosongan dan kehampaan.
Sesungguhnya, haji merupakan latihan untuk
kembali kepada Allah SWT. Haji adalah latihan kematian kita, karena kita
meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan kerabat dengan niat
yang satu, ingin menemui Allah SWT. Haji adalah perjalanan ruhani dari rumah-rumah
yang selama ini mengungkung manusia menuju Tuhan. Karena itu, haji yang mabrur
adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap
sifat-sifat rabbaniyyah.
Kepada Asy-Syibli yang baru kembali dari
menunaikan ibadah haji, Imam Zainal Abidin – sufi besar dari keluarga Nabi SAW
– bertanya kepadanya, “Ketika engkau sampai di miqat dan menanggalkan pakaian berjahit, apakah engkau berniat
menanggalkan juga pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan?
Apakah juga engkau tanggalkan riya, kemunafikan dan syubhat? Ketika engkau
berihram, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan
oleh Allah? Ketika engkau menuju Mekkah, apakah engkau berniat untuk berjalan
menuju Allah? Ketika engkau memasuki Masjid Al-Haram, apakah engkau berniat
untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat
Islam? Ketika engkau sa’i, apakah
engkau merasa sedang lari menuju Tuhan di antara cemas dan harap? Ketika engkau
wuquf di Arafah, adakah engkau merasakan
bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu?
Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu
orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar
jumrah, apakah engkau berniat memerangi iblis selama sisa hidupmu?”
Ketika untuk semua pertanyaan itu, Asy-Syibli
menjawab “tidak”, Imam Zainal Abidin mengeluh, “Ah…, engkau belum ke miqat, belum ihram, belum thawaf, belum sa’i, belum wuquf dan
belum sampai ke Mina.” Asy-Syibli pun menangis, dan pada kesempatan berikutnya
dia bertekad untuk memperbaiki lagi manasik hajinya. Dalam manasik keluarga
Nabi SAW, yang sangat utama adalah kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita
yang kotor, agar dapat beristirahat di rumah Allah yang suci. Bila mampu dan
berhasil, berarti Anda Mabrur. Negeri ini butuh para haji yang mabrur dan bukan
haji yang hanya mengejar prestise dan pamer kekayaan di tengah-tengah
masyarakat.
Dalam dimensi lainnya, menurut Al-Quran,
ibadah haji diperintahkan agar mereka
menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berzikir (menyebut nama Allah)
pada hari-hari yang ditentukan (QS.22:28). Menurut para mufassir, ayat ini
menyebutkan dua dimensi haji: dimensi manfaat dan dimensi zikir. Al-Thabari,
dalam tafsirnya, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat.
Mahmud Syaltut, Syeikh Al-Azhar, menyinggung dimensi-dimensi ipoleksosbud sebagai
kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah, kata Syaltut, bertemu para
pemikir dan ilmuwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, para negarawan dan
ahli pemerintahan, ahli-ahli ekonomi, para ulama dan juga para ahli militer
kaum Muslim. Inilah pertemuan umat manusia yang terbesar untuk menunjukkan
kebesaran Islam. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai ritual yang berdimensi
politik. Sekiranya perspektif seperti itu yang digunakan dalam melihat ritual
haji ini, maka bisa dibayangkan bagaimana kekuatan kaum Muslimin, yang
berhimpun di suatu tempat dan berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru
dunia ini. Lalu, menyatukan persepsi dan pandangan serta langkah-langkah yang
akan diambil, dalam menghadapi kezaliman musuh-musuh Islam di berbagai belahan
dunia, maka efeknya tentu akan sangat besar.
Kalau saja hal itu bisa terwujud, maka
tentara-tentara penindas seperti Israel, tidak akan mungkin berani melakukan
agresi dan penindasan di Palestina, seperti yang berlangsung sampai sekarang
ini. Kekuatan Islam akan sangat diperhitungkan dalam percaturan dunia. Tapi,
lihatlah apa yang terjadi saat ini. Islam dan kaum Muslimin tidak begitu diperhitungkan
oleh kekuatan musuh-musuh Islam. Negara-negara Islam atau yang mayoritas
penduduknya Muslim, dengan mudah dipermainkan dan dipolitisir, bahkan terkadang
dengan gampang diadu domba di antara sesama kaum muslimin.
Nabi kita Muhammad SAW pada tanggal 10
Zulhijjah tahun 10 Hijriah di Haji Wada’
atau Haji Perpisahan, memberikan pesan yang sangat penting. Dalam khutbahnya
Nabi berkata: “Wahai manusia, dengarkan
pembicaraanku, karena barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian
setelah tahun ini. Yang hadir sekarang ini hendaknya menyampaikan kepada yang
tidak hadir. Hai hadirin, tahukah kamu hari apakah ini?” “Hari yang suci,”
jawab yang hadir.
“Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.”
“Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Sesungguhnya darah kalian, harta
kalian, kehormatan kalian, sama sucinya seperti hari ini, pada bulan ini, di
negeri ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan
darahnya, tidak boleh dirampas hartanya, dan tidak boleh dicemarkan
kehormatannya.”
Itulah pesan sakral dari ibadah haji yang
sering dilupakan kaum Muslimin. Padahal pesan tersebut tidak hanya berlaku bagi
mereka yang telah menunaikan haji, tetapi berlaku umum kepada seluruh umat
Islam. Dan sudah semestinya, seorang yang berhaji seyogianya adalah manusia
yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya.
Akhirnya, rombongan jamaah haji saat ini,
bisa dimaknai sebagai salah satu dari pengejawantahan kerinduan manusia modern
terhadap Allah yang diartikulasikan dengan pelaksanaan ibadah ini. Para jamaah
haji rela mengorbankan waktu dan biaya yang tidak sedikit, demi untuk
melaksanakan ibadah haji yang tentunya tidak akan mendatangkan keuntungan
secara ekonomi.
Menurut Ali Syariati, ibadah haji
menggambarkan kepulangan kita kepada Allah, yang mutlak dan tidak terbatas dan
tidak ada yang menyerupai-Nya. Pulang kepada Allah menunjukkan suatu gerakan
pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan dan
nilai-nilai. Demikianlah, haji adalah oase spiritual yang memenuhi dahaga ruhani
manusia modern saat ini. Semoga jamaah haji Indonesia dapat mereguk air dari
oase tersebut dan kembali sebagai insan-insan perubahan yang memiliki komitmen
spiritual dan kemanusiaan.
Makassar,
Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar