Minggu, 18 Agustus 2019

Catatan Bagi Balon Wali Kota Makassar

Meski masih setahun lebih, bursa nama-nama balon Wali Kota Makassar periode 2020-2025, mulai mewarnai pemberitaan media belakangan ini. Sejumlah nama bermunculan, untuk menghadapi kontestasi akan datang.  Ini merupakan hal yang positif, karena bisa menyuguhkan banyak pilihan kepada masyarakat.
Peranan seorang pemimpin, memang sangat menentukan dalam mengembangkan dan memajukan sebuah daerah. Karenanya, posisi pemimpin menjadi sangat vital, untuk menentukan arah dan bagaimana masa depan daerah tersebut. Demikian halnya yang akan dihadapi warga Kota Makassar, di fase akhir pembangunan jangka panjang daerahnya.
Mencari pemimpin untuk Kota Metropolitan seperti Makassar, yang dihuni lebih dari 1,5 juta jiwa, tentu bukanlah perkara gampang. Apalagi sejumlah persoalan pembangunan yang terjadi, membutuhkan penanganan serius dan segera. Sebab itu, diharapkan muncul calon pemimpin Makassar, yang memiliki kemampuan untuk memutuskan langkah-langkah strategis dalam menata Makassar.
Salah satu data awal yang bisa menjadi masukan para bakal calon, terkait survey kelayak hunian kota atau Most Livable City Index (MLCI) 2017, yang pernah dirilis oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (PN-IAP). Survey ini, telah dilakukan IAP  sebanyak empat kali, yaitu; tahun 2009 (12 kota), 2011 (15 kota), 2014 (18 kota) dan 2017 (26 kota). Nilai index livability dibagi atas tiga kategori, yaitu; Top Tier Cities (Di Atas Rata-Rata), Average Tier Cities (Rata-Rata) serta Bottom Tier Cities (Di Bawah Rata-Rata).
Hasil survey tersebut menunjukkan, kota-kota besar tidak ada yang masuk pada Top Tier Cities. Artinya, kota metropolitan Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung dan Makassar, masih berjuang menuju kota layak huni. Makassar sendiri, terus menurun dari tahun ke tahun. Tahun 2011 sempat berada pada nilai index livability di atas rata-rata, kemudian 2014 turun ke index rata-rata, dan pada 2017 nilai indexnya turun lagi di bawah rata-rata. Tentu ini menjadi tantangan yang harus dipikirkan bagi pemimpin Makassar nantinya.
Berikutnya, beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian para bakal calon Wali Kota, antara lain:
Pertama, Aspek Regulasi dan Aturan Standar. Setiap bakal calon Wali Kota Makassar (Kepala Daerah), perlu memiliki pemahaman yang baik, tentang regulasi terkait kedudukan dua dokumen perencanaan yang ada, agar tidak terjadi kerancuan dalam meletakkan “Visi Daerah” dan Visinya sebagai kepala daerah saat terpilih. Dua dokumen dimaksud adalah Dokumen Perencanaan Pembangunan (RPJPD-Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) dan Dokumen Perencanaan Spasial (RTRW-Rencana Tata Ruang Wilayah). Dalam UU. No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 265, disebutkan bahwa, “RPJPD menjadi pedoman dalam perumusan visi, misi dan program calon kepala daerah.” Hal ini sangat penting menjadi perhatian bakal calon, dalam menyusun visi, misi dan programnya, supaya memiliki pijakan yang jelas, sehingga tidak mengaburkan arah dan orientasi daerah yang akan dipimpinnya. Harus diingat oleh para bakal calon Wali Kota, bahwa Pilwalkot yang akan datang, merupakan tahapan akhir dari Perda No.13/2006 tentang RPJPD Kota Makassar 2005-2025. Di dalamnya, tertera Visi Daerah, yaitu: “Makassar sebagai kota maritim, niaga, pendidikan, budaya dan jasa yang berorientasi global, berwawasan lingkungan dan paling bersahabat.” Di lain sisi, RTRW merupakan acuan untuk penyusunan rencana jangka panjang dan penyusunan rencana jangka menengah. Dengan demikian, sinkronisasi dan integrasi antar dokumen perencanaan menjadi sebuah kemestian, sebagaimana diamanatkan UU. No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Kedua, Aspek Sejarah dan Kebudayaan. Setiap bakal calon, hendaknya berusaha memahami unsur kesejarahan Kota Makassar serta kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat Makassar, lalu berupaya menghubungkan dengan kondisi pada saat ini. Dan selanjutnya, diproyeksi ke masa yang akan datang, sesuai  kecenderungan arah perkembangan kota Makassar. Dalam konteks ini, bila meminjam teori ‘Openness of Being’ atau Keterbukaan Eksistensi dari Martin Heidegger, maka eksistensi kota Makassar dan warganya, sejatinya terhubung dengan seluruh ruang dan waktu, yakni sebelum, hari ini dan masa depan.
Ketiga, Aspek Ekologi dan Lingkungan. Pada proses pembangunan, perhatian terhadap ekologi dan lingkungan hidup, masih sangat rendah bahkan seringkali terlihat abai. Padahal, jika diperhatikan Sustainable Development Goals (SDGs), sejumlah poin di sana sangat terkait dengan aspek ini. Sebut saja, air bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, kota dan komunitas berkelanjutan, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut, ekosistem daratan serta industri, inovasi dan infrastruktur. Untuk masalah ekologi dan lingkungan, Makassar sementara bersoal dengan proyek reklamasi dan darurat ruang terbuka hijau yang mengemuka belakangan ini.
Keempat, Aspek Kebencanaan. Dalam hal ini, problem mendasar yang dihadapi adalah bahwa sistem perencanaan kita belum berbasis kebencanaan. Artinya, pada kebanyakan dokumen perencanaan, baik dalam Sistem Perencanaan Pembangunan (Development Planning) maupun Sistem Perencanaan Tata Ruang (Spatial Planning), aspek kebencanaan tidak menjadi perhatian serius untuk dijelaskan secara lebih terperinci. Jika pun sudah terakomodasi dalam dokumen-dokumen perencanaan tersebut, maka tahap implementasinya masih menjadi problem.
Kelima, Aspek Sarana dan Prasarana. Untuk masalah ini, paling tidak, ada tiga hal yang mendesak untuk dilakukan pembenahan. Kemacetan, kurangnya area parkir, dan minimnya fasilitas pejalan kaki, adalah sebagian dari problem transportasi yang kini  semakin dirasakan setiap saat. Pemenuhan kebutuhan air bersih terutama pada musim kemarau, serta maksimalisasi fungsi drainase perkotaan dan sanitasi lingkungan.  
Catatan-catatan di atas, merupakan sebagian dari berbagai hal yang harus dicermati oleh setiap bakal calon Wali Kota Makassar. Dahulu, Filosof Muslim Al-Farabi mensyaratkan kualitas pemimpin, yang mampu mewujudkan konsep “Kota Utama-nya” (Al-Madinah Al-Fadhilah) ialah, “Pemimpin tertinggi yang benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan … Ia mampu memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing dengan baik, sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan, mendefinisikan dan mengarahkan tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan.”
Lalu, apakah Kota Makassar akan ditakdirkan mendapatkan Wali Kota sebagaimana kualifikasi Al-Farabi, pada Pilwalkot 2020 mendatang? Wallahu a’lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...