Minggu, 18 Agustus 2019

Me-Manusiakan DIRI, Meraih Ketakwaan untuk Membangun Negeri

Salah satu yang perlu dibaca ulang terkait Ramadhan, adalah bagaimana pengaruh Madrasah Ramadhan terhadap perubahan individual dan sosial masyarakat. Bagi kaum Muslimin, Madrasah Ramadhan sejatinya, dijadikan sebagai momentum untuk melakukan penempaan dan perbaikan diri. Sebab, di dalamnya, sarat dengan berbagai unsur yang berdimensi spiritual dan ruhaniah, yang sangat dibutuhkan oleh manusia.

Bila manusia terpisah dengan dimensi ruhaniahnya, maka kemanusiaannya menjadi kemanusiaan yang berpenyakit. Jean Jaques Rousseau pernah berujar, “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit dicari orang jujur.” Ia beranggapan, semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya atau sisi ruhaninya. Demikian kutipan dalam “Renungan-Renungan Sufistik”-nya Dr.Jalaluddin Rakhmat.
Penciptaan yang dilakukan oleh Allah SWT, tentulah memiliki tujuan. Dengan tujuan itulah kemudian semua makhluk bergerak meraihnya. Al-Quran telah menyebutkan bahwa tujuan penciptaan adalah tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana dalam Surah Adz-Dzariyat : 56, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada-Ku.”
Tujuan lainnya dari proses penciptaan yang tatkala penting adalah memanusiakan manusia atau “Diri”. Karena itu, kalau kita perhatikan secara seksama seluruh hukum-hukum yang diperintahkan oleh Allah, maka tentu akan kita temukan bahwa kesemuanya dalam rangka mempertegas esensi kemanusiaan. Ketika awal kali kita diciptakan oleh Tuhan, kita terlahir sebagai manusia, di mana fitrah Ilahiah menyelubungi diri kita. Namun, begitu aspek fisik dan lahiriah kita sudah semakin kuat, maka seiring itu pula fitrah Ilahiah dan esensi kemanusiaan, yang tadinya bersemayam dalam diri setiap insan, pelan-pelan kita abaikan, kita lupakan hingga terkadang malah tidak segan-segan untuk kita lepaskan dari diri kita.
Padahal Nabi SAW yang mulia telah mengingatkan dengan sabdanya : “Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu.” Siapa yang mengenal/memahami dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Karena itulah seorang arif berkata, “Adalah mudah untuk menjadi sarjana, ilmuwan atau yang lainnya, tetapi sangat sulit bagi seseorang untuk menjadi insan atau manusia.” Karena sesungguhnya, hanya ketika kita sudah menjadi manusia, barulah kita dapat menyaksikan realitas eksistensi ini dengan nyata.
Meraih Derajat Takwa
Al-Quran memberi kedudukan yang sangat tinggi pada ketakwaan. Ia menjadi  satu-satunya ukuran kemuliaan manusia (QS.Al-Hujurat:13), dan dipandang sebagai sebaik-baik bekal. Takwa adalah bekal terbaik untuk menuju akhirat. Allah berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”(QS.Al-Baqarah:197).  
Sudah mafhum bagi kita semua, bahwa tujuan dari puasa ialah untuk mencapai derajat takwa (QS.Al-Baqarah:183). Takwa adalah sebuah tingkatan kesempurnaan insaniah. Takwa adalah sifat maknawi yang jika dimiliki, maka manusia akan terjaga dari perbuatan-perbuatan dosa. Takwa merupakan pakaian terbaik bagi seorang mukmin: “Dan pakaian takwa, itulah yang lebih baik.” (QS. Al-A’raf:26)
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw, melebihi orang lain pada pengajarannya dalam menekankan arti takwa serta pengaruhnya dalam kehidupan. Beliau menjelaskan manfaat takwa secara mengagumkan. Misalnya ia mengatakan, “Takwa adalah keterbebasan dari segala perbudakan dan keselamatan dari segala kebinasaan.” Atau ungkapan lainnya, “Takwa adalah obat dari penyakit hatimu, kesembuhan bagi penyakit jasadmu, kebaikan bagi kerusakan dadamu dan kesucian bagi kekotoran jiwamu.”
Sayyidina Ali Kw memandang bahwa takwa bermanfaat bagi seluruh kesulitan dan penyakit yang dihadapi manusia. Memang benar, sekiranya kita mengenal takwa sebagaimana beliau telah mengenalnya, maka kita harus mengakui bahwa takwa adalah salah satu pilar bagi kehidupan manusia, baik di dalam kehidupan individual maupun kehidupan sosialnya. Dan jika takwa tidak ada maka fondasi kehidupan manusia menjadi goyah.
Salah satu pengaruh dari takwa yaitu pelembutan emosi dan perasaan. Artinya, takwa dan kesucian jiwa menjadikan emosi dan perasaan menjadi lebih lembut dan halus. Seorang manusia yang bertakwa, yang menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk dan kotor, menjauhi perbuatan riya dan menjilat, menjauhi perbuatan menghamba kepada manusia, yang menjaga kebersihan nuraninya, yang menjaga kemuliaan dan kemerdekaan dirinya, yang pusat perhatiannya kepada masalah-masalah spiritual dan bukan masalah-masalah material, maka sudah tentu perasaan dan emosinya tidak sama dengan perasaan dan emosi orang-orang yang senantiasa tenggelam dalam perbuatan yang keji dan hina, serta selalu terikat dengan benda-benda duniawi. Dengan merujuk Sayyidina Ali, barulah kita dapat meraih kemenangan dan menjadi manusia merdeka secara hakiki.
Demikianlah sifat takwa, sangat diperlukan pada setiap manusia. Seorang manusia yang mempunyai sifat takwa, akan dijaga dan ditahan oleh sifat takwa, dari perbuatan-perbuatan dosa manakala perbuatan-perbuatan itu menghampirinya. Akan tetapi, jika tidak memiliki sifat takwa, maka bila perbuatan haram menghampirinya, ia tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukannya.
Menjadi manusia bertakwa yang merupakan tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa, akan sulit dicapai tanpa upaya memanusiakan diri. Karena, secara sadar atau tidak, seringkali kita sendiri sebetulnya yang mereduksi kemanusiaan kita hingga tahap yang paling rendah, karena kelalaian, kealpaan, kekhilafan bahkan dengan aib dan dosa-dosa yang kita perbuat. Kita hanya bisa berharap, semoga kita semua bisa kembali kepada Tuhan sebagai manusia atau insan dan bukan dalam wujud lainnya seperti yang tertuang dalam Al-Quran Surah Al-A’raf:179: “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahannam kebanyakan dari kalangan jin dan manusia. mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mereka memiliki mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”
Akhirnya, sifat takwa akan muncul pada diri seseorang, jika pada bulan Ramadhan, ia melakukan puasa, persis sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Islam. Pertanyaannya, bulan Ramadhan telah mengubah apa? Apakah sebatas mengubah kebiasaan dan waktu makan kita, ataukah telah mengubah ke-diri-an kita. Direktur Rumi Institute Jakarta - Muhammad Nur Jabir, mengatakan: Bulan Ramadhan hadir agar kebiasaan buruk kita berubah menjadi baik, dan kebiasaan baik menjadi lebih baik.
Mengubah kebiasaan memang bukan hal yang mudah. Sebab kebiasaan umumnya telah menjadi karakter dalam diri. Baik itu kebiasaan buruk atau kebiasaan yang baik. Jadi, sangat mudah mengetahui apakah puasa yang kita jalankan berhasil atau tidak. Cukup melihat kebiasaan kita sebelum Ramadhan. Bila kebiasaan-kebiasaan kita tak berubah, berarti kita hanya memperoleh ‘lapar dan dahaga’. Dan itu artinya Rahmat Ilahi belum meliputi eksistensi diri kita.
Madrasah Ramadhan, sejatinya menawarkan optimisme serta harapan akan perubahan dan perbaikan. Jika saja setiap individu Muslim di negeri ini, memiliki pengenalan yang tepat terhadap Madrasah Ramadhan sebagai wahana pembentukan diri, maka tentu akan melahirkan, manusia-manusia takwa yang  suci nan fitrawi. Yang akan melakukan proses transformasi nilai-nilai, dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa, serta membangun negeri tercinta ini.
Parepare, Juni 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...