Bila manusia terpisah dengan dimensi ruhaniahnya, maka kemanusiaannya menjadi kemanusiaan yang berpenyakit. Jean Jaques Rousseau pernah berujar, “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit dicari orang jujur.” Ia beranggapan, semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya atau sisi ruhaninya. Demikian kutipan dalam “Renungan-Renungan Sufistik”-nya Dr.Jalaluddin Rakhmat.
Penciptaan yang dilakukan oleh Allah SWT,
tentulah memiliki tujuan. Dengan tujuan itulah kemudian semua makhluk bergerak
meraihnya. Al-Quran telah menyebutkan bahwa tujuan penciptaan adalah tidak lain
adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana dalam Surah Adz-Dzariyat : 56,
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia
kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada-Ku.”
Tujuan lainnya dari proses penciptaan yang
tatkala penting adalah memanusiakan manusia atau “Diri”. Karena itu, kalau kita
perhatikan secara seksama seluruh hukum-hukum yang diperintahkan oleh Allah,
maka tentu akan kita temukan bahwa kesemuanya dalam rangka mempertegas esensi
kemanusiaan. Ketika awal kali kita diciptakan oleh Tuhan, kita terlahir sebagai
manusia, di mana fitrah Ilahiah menyelubungi diri kita. Namun, begitu aspek
fisik dan lahiriah kita sudah semakin kuat, maka seiring itu pula fitrah Ilahiah
dan esensi kemanusiaan, yang tadinya bersemayam dalam diri setiap insan,
pelan-pelan kita abaikan, kita lupakan hingga terkadang malah tidak segan-segan
untuk kita lepaskan dari diri kita.
Padahal Nabi SAW yang mulia telah
mengingatkan dengan sabdanya : “Man arafa
nafsahu faqad arafa Rabbahu.” Siapa yang mengenal/memahami dirinya maka ia
akan mengenal Tuhannya. Karena itulah seorang arif berkata, “Adalah mudah untuk menjadi sarjana, ilmuwan
atau yang lainnya, tetapi sangat sulit bagi seseorang untuk menjadi insan atau
manusia.” Karena sesungguhnya, hanya ketika kita sudah menjadi manusia,
barulah kita dapat menyaksikan realitas eksistensi ini dengan nyata.
Meraih
Derajat Takwa
Al-Quran memberi kedudukan yang sangat tinggi
pada ketakwaan. Ia menjadi satu-satunya
ukuran kemuliaan manusia (QS.Al-Hujurat:13), dan dipandang sebagai sebaik-baik
bekal. Takwa adalah bekal terbaik untuk menuju akhirat. Allah berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”(QS.Al-Baqarah:197).
Sudah mafhum bagi kita semua, bahwa tujuan
dari puasa ialah untuk mencapai derajat takwa (QS.Al-Baqarah:183). Takwa adalah
sebuah tingkatan kesempurnaan insaniah. Takwa adalah sifat maknawi yang jika dimiliki,
maka manusia akan terjaga dari perbuatan-perbuatan dosa. Takwa merupakan
pakaian terbaik bagi seorang mukmin: “Dan
pakaian takwa, itulah yang lebih baik.” (QS. Al-A’raf:26)
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw, melebihi
orang lain pada pengajarannya dalam menekankan arti takwa serta pengaruhnya dalam
kehidupan. Beliau menjelaskan manfaat takwa secara mengagumkan. Misalnya ia
mengatakan, “Takwa adalah keterbebasan
dari segala perbudakan dan keselamatan dari segala kebinasaan.” Atau
ungkapan lainnya, “Takwa adalah obat dari
penyakit hatimu, kesembuhan bagi penyakit jasadmu, kebaikan bagi kerusakan
dadamu dan kesucian bagi kekotoran jiwamu.”
Sayyidina Ali Kw memandang bahwa takwa
bermanfaat bagi seluruh kesulitan dan penyakit yang dihadapi manusia. Memang benar,
sekiranya kita mengenal takwa sebagaimana beliau telah mengenalnya, maka kita
harus mengakui bahwa takwa adalah salah satu pilar bagi kehidupan manusia, baik
di dalam kehidupan individual maupun kehidupan sosialnya. Dan jika takwa tidak
ada maka fondasi kehidupan manusia menjadi goyah.
Salah satu pengaruh dari takwa yaitu
pelembutan emosi dan perasaan. Artinya, takwa dan kesucian jiwa menjadikan
emosi dan perasaan menjadi lebih lembut dan halus. Seorang manusia yang
bertakwa, yang menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk dan kotor, menjauhi
perbuatan riya dan menjilat, menjauhi perbuatan menghamba kepada manusia, yang
menjaga kebersihan nuraninya, yang menjaga kemuliaan dan kemerdekaan dirinya,
yang pusat perhatiannya kepada masalah-masalah spiritual dan bukan
masalah-masalah material, maka sudah tentu perasaan dan emosinya tidak sama
dengan perasaan dan emosi orang-orang yang senantiasa tenggelam dalam perbuatan
yang keji dan hina, serta selalu terikat dengan benda-benda duniawi. Dengan
merujuk Sayyidina Ali, barulah kita dapat meraih kemenangan dan menjadi manusia
merdeka secara hakiki.
Demikianlah sifat takwa, sangat diperlukan
pada setiap manusia. Seorang manusia yang mempunyai sifat takwa, akan dijaga
dan ditahan oleh sifat takwa, dari perbuatan-perbuatan dosa manakala
perbuatan-perbuatan itu menghampirinya. Akan tetapi, jika tidak memiliki sifat
takwa, maka bila perbuatan haram menghampirinya, ia tidak mampu menahan diri
untuk tidak melakukannya.
Menjadi manusia bertakwa yang merupakan
tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa, akan sulit dicapai tanpa upaya
memanusiakan diri. Karena, secara sadar atau tidak, seringkali kita sendiri
sebetulnya yang mereduksi kemanusiaan kita hingga tahap yang paling rendah,
karena kelalaian, kealpaan, kekhilafan bahkan dengan aib dan dosa-dosa yang
kita perbuat. Kita hanya bisa berharap, semoga kita semua bisa kembali kepada
Tuhan sebagai manusia atau insan dan bukan dalam wujud lainnya seperti yang
tertuang dalam Al-Quran Surah Al-A’raf:179: “Dan
sungguh, akan Kami isi neraka jahannam kebanyakan dari kalangan jin dan
manusia. mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
ayat-ayat Allah, dan mereka memiliki mata tetapi tidak dipergunakannya untuk
melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, mereka seperti hewan
ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”
Akhirnya, sifat takwa akan muncul pada diri
seseorang, jika pada bulan Ramadhan, ia melakukan puasa, persis sebagaimana
yang telah dituntunkan oleh Islam. Pertanyaannya, bulan Ramadhan telah mengubah
apa? Apakah sebatas mengubah kebiasaan dan waktu makan kita, ataukah telah
mengubah ke-diri-an kita. Direktur Rumi Institute Jakarta - Muhammad Nur Jabir,
mengatakan: Bulan Ramadhan hadir agar kebiasaan buruk kita berubah menjadi
baik, dan kebiasaan baik menjadi lebih baik.
Mengubah kebiasaan memang bukan hal yang
mudah. Sebab kebiasaan umumnya telah menjadi karakter dalam diri. Baik itu
kebiasaan buruk atau kebiasaan yang baik. Jadi, sangat mudah mengetahui apakah
puasa yang kita jalankan berhasil atau tidak. Cukup melihat kebiasaan kita
sebelum Ramadhan. Bila kebiasaan-kebiasaan kita tak berubah, berarti kita hanya
memperoleh ‘lapar dan dahaga’. Dan itu artinya Rahmat Ilahi belum meliputi
eksistensi diri kita.
Madrasah Ramadhan, sejatinya menawarkan
optimisme serta harapan akan perubahan dan perbaikan. Jika saja setiap individu
Muslim di negeri ini, memiliki pengenalan yang tepat terhadap Madrasah Ramadhan
sebagai wahana pembentukan diri, maka tentu akan melahirkan, manusia-manusia
takwa yang suci nan fitrawi. Yang akan
melakukan proses transformasi nilai-nilai, dalam rangka memperbaiki kondisi
bangsa, serta membangun negeri tercinta ini.
Parepare, Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar