Pada akhir September
lalu, Majelis Sinergi Kalam – MASIKA ICMI Orda Kota Makassar, menggelar dialog
dengan tema “Sebuah Kota untuk Semua”. Saat menjadi salah satu pemantik dalam
dialog tersebut, saya agak sulit membayangkan realitasnya, apalagi jika yang
dimaksud dalam topik itu adalah Kota Makassar. Sebab, Makassar sebagai “Sebuah
Kota untuk Semua” sepertinya belum tepat disandang. Namun, menjadikan harapan,
cita-cita, serta keinginan untuk mewujudkannya, adalah hal yang mesti
diupayakan seluruh warga kota Makassar.
Karena itu, saya
tertarik untuk membahasnya kembali dalam tulisan ini, dalam kaitan dua momentum
penting, yakni Hari Tata Ruang Nasional tanggal 8 November dan Hari Jadi Kota
Makassar ke-412, tanggal 9 November. Harapannya paling tidak, bisa menjadi
bahan refleksi dan catatan tambahan bagi para bakal calon Wali Kota Makassar,
yang akan berkontestasi pada waktu mendatang.
Pada proses
pembangunan di negara kita, tidak jarang, kota direncanakan tanpa visi yang
jelas. Akibatnya, apa yang disebutkan oleh Prof. John Rennie Short dengan
istilah “wounded cities” atau
kota-kota yang terluka, seringkali kita temukan. Mengapa hal semacam itu bisa
timbul? Penyebabnya, adalah kurang pekanya sebagian besar pengelola kota di
negara-negara berkembang dalam memahami lingkungan dan kondisi daerahnya. Semua
itu bermula karena seringnya fenomena “bunuh diri perkotaan” (urbicide/urban suicide) berlangsung.
Fenomena tersebut terjadi disebabkan tokoh-tokoh atau pemimpin yang diberikan
kepercayaan oleh rakyat – melalui kontestasi pemilu - untuk mengelola kota,
justru merekalah yang “melukai” dan “membunuh” kotanya sendiri melalui berbagai
kebijakan yang merusak keseimbangan alam, manusia dan lingkungan binaan.
Dengan kondisi
seperti itu, terwujudnya “Kota untuk Semua” boleh jadi hanya sebatas utopia,
bila kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemimpin kota sudah berbalut
kepentingan. Terlebih lagi jika kepentingan tersebut hanya mengikuti selera
elit. Hal ini sangat mungkin terjadi, sebab kota adalah tempat yang sangat
strategis, di mana ‘ruang’nya akan selalu menjadi arena pertarungan – terutama
bagi pemilik modal - yang tidak akan pernah selesai diperebutkan.
Prof.
Eko Budihardjo menulis tentang seorang pakar perencana kota dari Inggris yang
pernah berkata, “Kota merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battleground). Siapa yang
memiliki kekuatan finansial, dialah yang akan amat menentukan wajah dan nasib
kota.” Peter Lang juga mengingatkan kita dalam bukunya Mortal City, bahwa “Kota-kota besar di dunia, dapat diibaratkan
sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan
ini adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan
memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan
mereka sendiri.”
Olehnya
itu, tidak mengherankan jika Makassar dalam perkembangannya pun, sudah terkesan
memanjakan kaum kapitalis dan para pemilik modal. Lihatlah betapa ruang kota
mulai dipadati dengan pusat-pusat perbelanjaan, supermall, permukiman mewah,
jejeran ruko, sementara pada sisi lain, tidak tersedia ruang publik serta ruang
terbuka hijau yang memadai. Mini market tumbuh begitu menjamur, tetapi
pasar-pasar lokal tidak mendapat perhatian serius.
Dalam
perspektif tata ruang, penataan ruang kota dan wilayah itu, dilakukan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, untuk semua warga kota dan bukan
hanya bagi kemakmuran kelompok tertentu saja. Dalam dimensi lain, ada baiknya
pula mencermati survey yang dilakukan oleh Setara Institute mengenai Indeks
Kota Toleran (IKT) 2018 lalu. Di mana hasilnya, menunjukkan Makassar termasuk
salah satu kota dari 10 kota dengan skor toleransi terendah. Ini disebabkan
sejumlah kebijakan pemerintah kota yang dianggap bersifat diskriminatif.
Situasi seperti ini tentu sangat kontradiktif dengan upaya menciptakan
kota-kota yang inklusif belakangan ini.
Padahal,
jika menilik sejarah masa lampau, sikap toleransi justru begitu terasa di
wilayah Makassar. Dan hal tersebut dicontohkan oleh para pemimpinnya ketika
itu. Raja Gowa pernah berujar bahwa walaupun Islam sebagai agama resmi
kerajaan, namun semua golongan dalam wilayah kerajaan Makassar tetap mempunyai
hak yang sama serta mempunyai kebebasan menjalankan keyakinannya dan juga
mendapatkan perlindungan dari kerajaan. Seorang sejarawan Inggris bernama C.R.
Boxer, bahkan mengemukakan kekagumannya pada kemampuan pemimpin dan masyarakat
Makassar dalam menyikapi perbedaan.
Merencanakan
Kota Makassar menjadi “Kota untuk Semua”, tidak bisa dilakukan dengan mengikuti
selera elit. Tetapi perlu pelibatan masyarakat secara maksimal. Sebab, pada
kota yang tumbuh dan mengalami kemajuan, hal yang tidak dapat dihindari, ialah
berkembangnya kemajemukan warga masyarakat dan aktivitasnya. Keragaman yang
merupakan sebuah keniscayaan tersebut mesti diwadahi, antara lain melalui
penyerapan aspirasi, persepsi, kebijaksanaan dan kreativitas dari segenap lapisan
masyarakat. Dengan begitu, tercipta ‘perencanaan bersama rakyat’ dan bukan
hanya sekadar ‘perencanaan untuk rakyat.’
“Sebuah
Kota untuk Semua”, pada akhirnya adalah kota yang dibangun di atas sistem nilai
yang memanusiakan masyarakat/rakyat yang ada di dalamnya, serta memastikan
aspek keadilan dapat ditegakkan pada seluruh dimensi kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar