Jumat, 06 Desember 2019

“Sebuah Kota untuk Semua” (Refleksi Hari Tata Ruang Nasional dan Hari Jadi Kota Makassar)

Pada akhir September lalu, Majelis Sinergi Kalam – MASIKA ICMI Orda Kota Makassar, menggelar dialog dengan tema “Sebuah Kota untuk Semua”. Saat menjadi salah satu pemantik dalam dialog tersebut, saya agak sulit membayangkan realitasnya, apalagi jika yang dimaksud dalam topik itu adalah Kota Makassar. Sebab, Makassar sebagai “Sebuah Kota untuk Semua” sepertinya belum tepat disandang. Namun, menjadikan harapan, cita-cita, serta keinginan untuk mewujudkannya, adalah hal yang mesti diupayakan seluruh warga kota Makassar.
Karena itu, saya tertarik untuk membahasnya kembali dalam tulisan ini, dalam kaitan dua momentum penting, yakni Hari Tata Ruang Nasional tanggal 8 November dan Hari Jadi Kota Makassar ke-412, tanggal 9 November. Harapannya paling tidak, bisa menjadi bahan refleksi dan catatan tambahan bagi para bakal calon Wali Kota Makassar, yang akan berkontestasi pada waktu mendatang.
Pada proses pembangunan di negara kita, tidak jarang, kota direncanakan tanpa visi yang jelas. Akibatnya, apa yang disebutkan oleh Prof. John Rennie Short dengan istilah “wounded cities” atau kota-kota yang terluka, seringkali kita temukan. Mengapa hal semacam itu bisa timbul? Penyebabnya, adalah kurang pekanya sebagian besar pengelola kota di negara-negara berkembang dalam memahami lingkungan dan kondisi daerahnya. Semua itu bermula karena seringnya fenomena “bunuh diri perkotaan” (urbicide/urban suicide) berlangsung. Fenomena tersebut terjadi disebabkan tokoh-tokoh atau pemimpin yang diberikan kepercayaan oleh rakyat – melalui kontestasi pemilu - untuk mengelola kota, justru merekalah yang “melukai” dan “membunuh” kotanya sendiri melalui berbagai kebijakan yang merusak keseimbangan alam, manusia dan lingkungan binaan.
Dengan kondisi seperti itu, terwujudnya “Kota untuk Semua” boleh jadi hanya sebatas utopia, bila kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemimpin kota sudah berbalut kepentingan. Terlebih lagi jika kepentingan tersebut hanya mengikuti selera elit. Hal ini sangat mungkin terjadi, sebab kota adalah tempat yang sangat strategis, di mana ‘ruang’nya akan selalu menjadi arena pertarungan – terutama bagi pemilik modal - yang tidak akan pernah selesai diperebutkan.
Prof. Eko Budihardjo menulis tentang seorang pakar perencana kota dari Inggris yang pernah berkata, “Kota merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battleground). Siapa yang memiliki kekuatan finansial, dialah yang akan amat menentukan wajah dan nasib kota.” Peter Lang juga mengingatkan kita dalam bukunya Mortal City, bahwa “Kota-kota besar di dunia, dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.”
Olehnya itu, tidak mengherankan jika Makassar dalam perkembangannya pun, sudah terkesan memanjakan kaum kapitalis dan para pemilik modal. Lihatlah betapa ruang kota mulai dipadati dengan pusat-pusat perbelanjaan, supermall, permukiman mewah, jejeran ruko, sementara pada sisi lain, tidak tersedia ruang publik serta ruang terbuka hijau yang memadai. Mini market tumbuh begitu menjamur, tetapi pasar-pasar lokal tidak mendapat perhatian serius.
Dalam perspektif tata ruang, penataan ruang kota dan wilayah itu, dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, untuk semua warga kota dan bukan hanya bagi kemakmuran kelompok tertentu saja. Dalam dimensi lain, ada baiknya pula mencermati survey yang dilakukan oleh Setara Institute mengenai Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 lalu. Di mana hasilnya, menunjukkan Makassar termasuk salah satu kota dari 10 kota dengan skor toleransi terendah. Ini disebabkan sejumlah kebijakan pemerintah kota yang dianggap bersifat diskriminatif. Situasi seperti ini tentu sangat kontradiktif dengan upaya menciptakan kota-kota yang inklusif belakangan ini.
Padahal, jika menilik sejarah masa lampau, sikap toleransi justru begitu terasa di wilayah Makassar. Dan hal tersebut dicontohkan oleh para pemimpinnya ketika itu. Raja Gowa pernah berujar bahwa walaupun Islam sebagai agama resmi kerajaan, namun semua golongan dalam wilayah kerajaan Makassar tetap mempunyai hak yang sama serta mempunyai kebebasan menjalankan keyakinannya dan juga mendapatkan perlindungan dari kerajaan. Seorang sejarawan Inggris bernama C.R. Boxer, bahkan mengemukakan kekagumannya pada kemampuan pemimpin dan masyarakat Makassar dalam menyikapi perbedaan.
Merencanakan Kota Makassar menjadi “Kota untuk Semua”, tidak bisa dilakukan dengan mengikuti selera elit. Tetapi perlu pelibatan masyarakat secara maksimal. Sebab, pada kota yang tumbuh dan mengalami kemajuan, hal yang tidak dapat dihindari, ialah berkembangnya kemajemukan warga masyarakat dan aktivitasnya. Keragaman yang merupakan sebuah keniscayaan tersebut mesti diwadahi, antara lain melalui penyerapan aspirasi, persepsi, kebijaksanaan dan kreativitas dari segenap lapisan masyarakat. Dengan begitu, tercipta ‘perencanaan bersama rakyat’ dan bukan hanya sekadar ‘perencanaan untuk rakyat.’
“Sebuah Kota untuk Semua”, pada akhirnya adalah kota yang dibangun di atas sistem nilai yang memanusiakan masyarakat/rakyat yang ada di dalamnya, serta memastikan aspek keadilan dapat ditegakkan pada seluruh dimensi kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab.

Makassar, November 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...