Belum lagi
usai perbincangan yang mengundang polemik tentang UU KPK yang baru saja
disahkan serta sejumlah RUU yang ditunda, muncul lagi sebuah kebijakan yang
tidak kalah mengejutkan. Kebijakan dimaksud adalah rencana penghapusan
pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), yang dilontarkan oleh Menteri
Agraria dan Tata Ruang (ATR-BPN) Sofyan Djalil. Hal tersebut disampaikan dalam
Rakor Nasional Bidang Properti di Jakarta 18 September 2019. Ia menjelaskan, penghapusan
perizinan IMB bakal masuk dalam Omnibus Law Perizinan, guna mendorong investasi
di sektor properti Indonesia. Jadi, pengusaha properti tidak perlu lagi
mengajukan izin, tapi cukup memenuhi standar pendirian bangunan yang ditetapkan
pemerintah.
Sebelumnya,
26 Juli 2019, Menteri ATR-BPN juga telah menerbitkan surat edaran mengenai
percepatan perizinan pemanfaatan ruang dalam rangka mendorong penanaman modal
(investasi) di daerah. Lagi-lagi, ini menunjukkan bahwa investasi masih
cenderung menjadi basis kebijakan pembangunan kita, untuk menggerakkan ekonomi.
Sementara IMB sudah dipandang sebagai penghambat investasi. Maka pilihannya IMB
harus ditiadakan. lalu, apa dampak yang bisa ditimbulkan dari regulasi ini bila
kelak diberlakukan?
Implikasi Penghapusan IMB
Pada
pemberitaan FAJAR, Jumat 20 September 2019, Kepala Dinas Penanaman Modal dan
PTSP Makassar Andi Bukti Jufri, mengkhawatirkan dampak yang akan ditimbulkan
oleh kebijakan penghapusan IMB. Karena selama ini, IMB menjadi kontrol
pemerintah untuk memastikan pembangunan tak berjalan asal-asalan. Yang lainnya,
juga akan berpengaruh pada sektor pendapatan asli daerah (PAD). Di mana, IMB
menyumbang pendapatan cukup besar, mencapai Rp 40 miliar setiap tahunnya.
Dalam
perspektif tata ruang, perizinan merupakan salah satu instrumen dalam
pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara IMB, adalah bagian dari izin
pemanfaatan ruang. Terkait hal ini, PP No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang, menyebutkan bahwa dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib
memiliki izin pemanfaatan ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan
perizinan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Pada pasal
161, diterangkan bahwa izin pemanfaatan ruang diberikan untuk; a). menjamin
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, b). mencegah dampak negatif
pemanfaatan ruang, serta c). melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.
Kemudian Pasal 165, mengatur mengenai izin mendirikan bangunan (IMB) yang
diberikan berdasarkan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi.
Selain itu,
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.32 Tahun 2010, yang merupakan turunan
Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, menyebut, pemberian IMB diselenggarakan
berdasarkan prinsip; a). prosedur yang sederhana, mudah dan aplikatif, b).
pelayanan yang cepat, terjangkau dan tepat waktu, c). keterbukaan informasi
bagi masyarakat dan dunia usaha, d). aspek rencana tata ruang, kepastian status
hukum pertanahan, keamanan dan keselamatan serta kenyamanan. Dengan
prinsip-prinsip tersebut, maka kepala daerah memanfaatkan pemberian IMB untuk
pengawasan, pengendalian dan penertiban bangunan.
Jika
menelaah berbagai regulasi yang ada, maka sesungguhnya IMB tak perlu menjadi
soal. Bila diasumsikan oleh Menteri ATR-BPN, bahwa IMB sering disalahgunakan
untuk melanggar, maka problemnya bukan pada IMB-nya, tapi pada tahapan
pengurusan penerbitan IMB serta implementasi pengendalian dan pengawasan yang
masih sangat lemah. Dan untuk hal itu, memang perlu perubahan dan perbaikan,
agar menjadi lebih sempurna.
Problem
mendasar yang sekaligus memunculkan pertanyaan besar ialah bagaimana dengan
penataan ruang kita, bila IMB dihapus? Tidakkah akan menjadi lebih sulit lagi
dalam mewujudkan tertib tata ruang? Padahal dengan IMB saja, penataan ruang dan
bangunan masih terlihat karut marut. Lihat saja, fasum-fasos yang semestinya
menjadi hak publik, tidak jarang “dirampas” oleh pengembang properti
nakal.
Pada
akhirnya bila kita cermati, ternyata ada hal-hal lain yang lebih fundamental,
bahwa pembangunan kita selama ini, rupanya belum melibatkan seluruh rakyat.
Pembangunan kita tidak memperkuat sebagian besar rakyat agar memiliki daya
tahan secara ekonomi dan sosial, melainkan hanya untuk sebagian orang dan sekelompok
pihak saja. Karenanya, bagi Gunawan Sumodiningrat dalam “Membangun Indonesia Emas”, mengatakan: pembangunan seperti ini
menyebabkan tidak terbentuknya pertumbuhan yang bersifat jejaring (networked growth). Pihak yang tumbuh
hanya manusia-manusia tertentu, sektor-sektor tertentu, dan daerah-daerah
tertentu. Terjadilah kesenjangan di tingkat manusia, di tingkat sektor dan di
tingkat kewilayahan.
Lantas,
apakah tanpa IMB merupakan sebuah terobosan dalam kebijakan pembangunan, atau
justru akan menjadi malapetaka bagi penataan ruang kita? Kita tunggu saja
langkah selanjutnya.
Makassar, September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar