Kamis, 10 Oktober 2019

Membangun Tanpa IMB, Terobosan atau Malapetaka?

Belum lagi usai perbincangan yang mengundang polemik tentang UU KPK yang baru saja disahkan serta sejumlah RUU yang ditunda, muncul lagi sebuah kebijakan yang tidak kalah mengejutkan. Kebijakan dimaksud adalah rencana penghapusan pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), yang dilontarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR-BPN) Sofyan Djalil. Hal tersebut disampaikan dalam Rakor Nasional Bidang Properti di Jakarta 18 September 2019. Ia menjelaskan, penghapusan perizinan IMB bakal masuk dalam Omnibus Law Perizinan, guna mendorong investasi di sektor properti Indonesia. Jadi, pengusaha properti tidak perlu lagi mengajukan izin, tapi cukup memenuhi standar pendirian bangunan yang ditetapkan pemerintah.
Sebelumnya, 26 Juli 2019, Menteri ATR-BPN juga telah menerbitkan surat edaran mengenai percepatan perizinan pemanfaatan ruang dalam rangka mendorong penanaman modal (investasi) di daerah. Lagi-lagi, ini menunjukkan bahwa investasi masih cenderung menjadi basis kebijakan pembangunan kita, untuk menggerakkan ekonomi. Sementara IMB sudah dipandang sebagai penghambat investasi. Maka pilihannya IMB harus ditiadakan. lalu, apa dampak yang bisa ditimbulkan dari regulasi ini bila kelak diberlakukan?
Implikasi Penghapusan IMB
Pada pemberitaan FAJAR, Jumat 20 September 2019, Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Makassar Andi Bukti Jufri, mengkhawatirkan dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan penghapusan IMB. Karena selama ini, IMB menjadi kontrol pemerintah untuk memastikan pembangunan tak berjalan asal-asalan. Yang lainnya, juga akan berpengaruh pada sektor pendapatan asli daerah (PAD). Di mana, IMB menyumbang pendapatan cukup besar, mencapai Rp 40 miliar setiap tahunnya.
Dalam perspektif tata ruang, perizinan merupakan salah satu instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara IMB, adalah bagian dari izin pemanfaatan ruang. Terkait hal ini, PP No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, menyebutkan bahwa dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib memiliki izin pemanfaatan ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan perizinan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Pada pasal 161, diterangkan bahwa izin pemanfaatan ruang diberikan untuk; a). menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, b). mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang, serta c). melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas. Kemudian Pasal 165, mengatur mengenai izin mendirikan bangunan (IMB) yang diberikan berdasarkan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi.
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.32 Tahun 2010, yang merupakan turunan Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, menyebut, pemberian IMB diselenggarakan berdasarkan prinsip; a). prosedur yang sederhana, mudah dan aplikatif, b). pelayanan yang cepat, terjangkau dan tepat waktu, c). keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha, d). aspek rencana tata ruang, kepastian status hukum pertanahan, keamanan dan keselamatan serta kenyamanan. Dengan prinsip-prinsip tersebut, maka kepala daerah memanfaatkan pemberian IMB untuk pengawasan, pengendalian dan penertiban bangunan.
Jika menelaah berbagai regulasi yang ada, maka sesungguhnya IMB tak perlu menjadi soal. Bila diasumsikan oleh Menteri ATR-BPN, bahwa IMB sering disalahgunakan untuk melanggar, maka problemnya bukan pada IMB-nya, tapi pada tahapan pengurusan penerbitan IMB serta implementasi pengendalian dan pengawasan yang masih sangat lemah. Dan untuk hal itu, memang perlu perubahan dan perbaikan, agar menjadi lebih sempurna.
Problem mendasar yang sekaligus memunculkan pertanyaan besar ialah bagaimana dengan penataan ruang kita, bila IMB dihapus? Tidakkah akan menjadi lebih sulit lagi dalam mewujudkan tertib tata ruang? Padahal dengan IMB saja, penataan ruang dan bangunan masih terlihat karut marut. Lihat saja, fasum-fasos yang semestinya menjadi hak publik, tidak jarang “dirampas” oleh pengembang properti nakal.   
Pada akhirnya bila kita cermati, ternyata ada hal-hal lain yang lebih fundamental, bahwa pembangunan kita selama ini, rupanya belum melibatkan seluruh rakyat. Pembangunan kita tidak memperkuat sebagian besar rakyat agar memiliki daya tahan secara ekonomi dan sosial, melainkan hanya untuk sebagian orang dan sekelompok pihak saja. Karenanya, bagi Gunawan Sumodiningrat dalam “Membangun Indonesia Emas”, mengatakan: pembangunan seperti ini menyebabkan tidak terbentuknya pertumbuhan yang bersifat jejaring (networked growth). Pihak yang tumbuh hanya manusia-manusia tertentu, sektor-sektor tertentu, dan daerah-daerah tertentu. Terjadilah kesenjangan di tingkat manusia, di tingkat sektor dan di tingkat kewilayahan.
Lantas, apakah tanpa IMB merupakan sebuah terobosan dalam kebijakan pembangunan, atau justru akan menjadi malapetaka bagi penataan ruang kita? Kita tunggu saja langkah selanjutnya.
Makassar, September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...