Selasa, 16 Juli 2019

Menanti Tanggung Jawab Planner Mengawal Penataan Ruang

Bulan April 2019 lalu, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) genap berusia 48 tahun, sejak didirikan di Jakarta 13 April 1971. Sebagai asosiasi profesi yang menjadi wadah berhimpunnya segenap ahli perencanaan wilayah dan kota di Indonesia, IAP tentu telah melakukan berbagai langkah dan upaya dalam menjalankan kiprahnya. Namun begitu, dalam usianya yang hampir lima dasawarsa, IAP perlu sejenak melakukan introspeksi dan evaluasi, terhadap peran dan fungsi yang telah dilakukan selama ini, terutama yang terkait dengan kepentingan publik.

Mengawal Penataan Ruang

Salah satu fungsi yang sangat penting untuk dijalankan oleh IAP adalah sebagai wadah untuk melindungi kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Hal ini sangat terkait dengan apa yang tertuang dalam Kode Etik Perencana Indonesia, yang berhubungan dengan tanggung jawab perencana pada masyarakat, yakni :

Pertama, melayani seluruh golongan dan lapisan masyarakat, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan golongan maupun kepentingan pribadi, dan berdasar keyakinan profesi, berani membela yang benar serta memberikan kritik dan koreksi terhadap hal-hal yang merugikan masyarakat.

Kedua, memberikan informasi kepada masyarakat dan pengambil keputusan, akan permasalahan, kemungkinan pilihan dan dampak dari suatu perencanaan, serta mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.

Ketiga, berperan serta dalam upaya berjangka panjang, dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonomi, menuju tercapainya pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan perencanaan terpadu yang berwawasan menyeluruh, meningkatkan pemerataan dan perluasan manfaat pembangunan, melestarikan warisan budaya dan sejarah, serta meningkaktkan kondisi lingkungan hidup.

Pertanyaan mendasarnya, apakah fungsi dan tanggung jawab tersebut sudah terinternalisasi dalam diri para Perencana yang ada? Tentu saja, ini tidak terbatas hanya kepada Perencana/Planner yang ada dalam IAP, namun mencakup pula Perencana yang ada di pemerintahan/birokrasi, swasta/konsultan, dan terlebih lagi yang bergelut pada intitusi pendidikan sebagai akademisi.

Dalam konteks penataan ruang, seiring perkembangan dan percepatan pembangunan yang terjadi, Planner atau Perencana, dihadapkan pada tantangan yang cukup besar dalam menjalankan bidang profesi yang selama ini ditekuni. Pada aspek jumlah penyusunan RTR (Rencana Tata Ruang) saja, sudah dihadapkan pada persoalan yang tidak sederhana. Karena ada ratusan hingga ribuan RTR yang harus disusun. Bila kita coba inventarisasi, maka ada 70an Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang mesti disusun RTR-nya. RTRW untuk 34 Provinsi, sekitar 700an RTR-KSP (Kawasan Strategis Provinsi). 500 Kabupaten/Kota yang juga harus memiliki RTRW, RTR-KSK (Kawasan Strategis Kota/Kabupaten), RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) serta juga Peraturan Zonasi (PZ). Di sisi lain, Prof.Ir. Eko Budihardjo dalam sebuah makalahnya, menyebutkan bahwa kenyataan menunjukkan ada sekitar 80% rencana yang telah disusun, ternyata tidak terlaksana sebagaimana yang direncanakan. Masalah ini disebabkan kesenjangan yang lebar antara idealisme, harapan, teori dan rencana tata ruang yang berhadapan dengan pragmatisme, kenyataan, serta praktek dan implementasinya.

Terkait hal itu, pada RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025 disebutkan  masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW. Hal senada juga tertuang dalam Perda No.1 Tahun 2019 tentang RPJMD Sulsel 2018-2023 yang menyatakan bahwa ketaatan pada RTRW masih rendah. Ini dikarenakan beberapa hal, yaitu; Rencana Tata Ruang (RTR) belum dijadikan sebagai acuan pelaksanaan pembangunan, belum terintegrasinya program prioritas RTR dalam dokumen perencanaan daerah serta belum optimalnya pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. Yang kesemuanya itu, pada gilirannya menyebabkan terjadinya paradoks-paradoks dalam pelaksanaan pembangunan dan penataan ruang.

Dengan fenomena dan realitas yang telah diuraikan, maka sudah sepatutnya para ahli perencanaan atau Planner, untuk lebih progresif menunjukkan komitmen dan tanggung jawab moralnya dalam merespon berbagai persoalan tata ruang yang berdampak pada masyarakat. Karlina Supelli mengingatkan, “Bagaimanapun, tanggung jawab profesional tidak dapat memupus tanggung jawab moral dan integritas seseorang sebagai person.” Mungkin ini juga sejalan dengan apa yang pernah diutarakan oleh mantan Rektor ITB Prof.Dr.Harijadi Supangkat, bahwa, “Selain berwawasan masa depan, ada satu dimensi yang harus dimiliki oleh seorang Planner, yaitu peka dan dapat menghayati aspirasi serta keinginan yang hidup dalam masyarakat.”

Sebab itu, bila para Planner tidak tampil menjalankan tanggung jawab yang semestinya, maka saya kuatir keresahan yang digambarkan oleh Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertise” akan menjadi nyata pula dalam dunia perencanaan. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Mei 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...