Pembangunan
adalah merupakan proses dinamis yang terus bergulir dari waktu ke waktu, tanpa henti.
Di dalamnya, terjadi berbagai perubahan yang merupakan sebuah keniscayaan. Selain
itu, pembangunan pada hakikatnya dapat dikategorikan pula, sebagai sebuah
perubahan sosial yang dirancang dan direncanakan secara sistematis. Mengapa
pembangunan perlu perencanaan? Salah satu faktornya adalah untuk memberikan
arah yang jelas terhadap pembangunan yang dilakukan. Masalah akan muncul bila
terjadi paradoks dalam proses pembangunan, seperti halnya yang terkait dengan
prasarana transportasi.
Di dalam
Kota Makassar saat ini, kemacetan sudah menjadi pemandangan yang dirasakan oleh
masyarakat pada hampir setiap harinya. Dan tidak begitu mengherankan, bila
Makassar akan mengalami tingkat kemacetan yang semakin parah. Mungkin ini salah
satu implikasi diabaikannya regulasi sistem transportasi oleh penyelenggara
pemerintahan, saat dua Ranperda Transportasi dihapus dari pembahasan dalam Prolegda
2016 lalu. Ranperda dimaksud adalah Ranperda Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
serta Ranperda Sistem Transportasi di Kota Makassar.
Salah satu
jalan di Kota Makassar, yang sering kali mengalami kepadatan hingga menyebabkan
kemacetan, adalah ruas Jalan AP. Pettarani. Dan karena itulah, tol layang
dirancang untuk menjadi solusi dari masalah tersebut. Tapi betulkah tol layang dapat mengurai
kemacetan seperti yang digaungkan? Inilah satu poin yang dibincangkan, pada awal November 2018, saat Forum Masyarakat
Peduli Kota (FMPK) menggelar FGD terkait proyek prestisius ini. Diskusi dengan
topik “Mempersoalkan Tol Layang” dirasakan perlu oleh para aktivis yang hadir
ketika itu, karena proyek ini mengundang sejumlah tanya, serta dianggap cukup ‘mengganggu’ aktivitas masyarakat, meski
belum tersuarakan secara massif ke ruang publik.
Betapa
tidak, proyek senilai 2,2 triliun, dengan panjang jalan 4,3 kilometer tersebut,
ditargetkan pengerjaannya selama 22 bulan. Bisa dibayangkan, selama itulah
kira-kira masyarakat Makassar akan menanggung derita kemacetan panjang, saat
melintas di jalur jalan Andi Pangerang Pettarani.
Pada diskusi
FMPK itu, saya menyebut pekerjaan tol layang itu sebagai contoh proyek ‘aneh’.
Mengapa? Karena, ia sama sekali tidak berbasis pada dokumen perencanaan yang
ada. Padahal, idealnya sebuah proyek pembangunan, apalagi pekerjaan besar
seperti tol layang, mestinya sudah tertuang dalam dokumen perencanaan
spasial/tata ruang, baru kemudian dilaksanakan.
Namun, bila
kita cermati beberapa dokumen, seperti; Perda No.4 tahun 2015 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar 2015-2034, Perda No.9 tahun 2009
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan 2009-2029,
begitu juga di Peraturan Presiden No.55 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Mamminasata, proyek tol layang tidak ditemukan alias tidak
tercantum di dalamnya.
Ajaibnya, di
dalam Draft Laporan Akhir Revisi RTRW Provinsi Sulawesi Selatan yang sementara
tahap penyelesaian, tiba-tiba tol layang muncul dalam tabel sistem jaringan
prasarana transportasi, khususnya terkait jalan bebas hambatan. Pertanyaannya,
mengapa sebuah kegiatan pembangunan, bisa dikerjakan lebih dulu, lalu
direncanakannya kemudian? Hal seperti ini, akan menjadi preseden buruk dalam
dunia perencanaan tata ruang. Bahwa proyek pembangunan boleh saja dilakukan,
meski tidak tertera dalam dokumen perencanaan, nanti kemudian dokumennya yang
‘dipaksa’ mengakomodasi proyek yang sudah terlanjur dikerjakan tersebut.
Proyek tol
layang memang menimbulkan problematik. Sebab, sosialisasi kepada publik secara
luas, belum maksimal dilakukan, untuk menjelaskan berbagai hal yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Sebagai contoh, jika keberadaannya dianggap akan mengurai
kemacetan, maka rasanya tidak begitu relevan. Karena, bagaimana mungkin akan
menjadi solusi kemacetan, sementara yang dibangun berupa jalan tol atau jalan
berbayar. Di mana penggunaannya tidak dapat diakses oleh masyarakat secara
luas.
Dalam
konteks ini, justru yang lebih realistis dan rasional untuk dikedepankan adalah
menuntaskan pembangunan Bypass Mamminasata. Sebab, melalui jalur ini akan
memberi alternatif untuk arus pergerakan dari Maros menuju Gowa – Takalar,
demikian pula sebaliknya. Sayangnya,
oleh Wakil Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, menyebutnya bukan prioritas
dalam program pembangunan Pemprov Sulawesi Selatan, seperti diberitakan Harian
FAJAR tanggal 13 November 2018.
Pada
akhirnya, dengan proyek tol layang tersebut, publik kembali disuguhi, bahwa
betapa kuatnya kolaborasi penguasa dan pengusaha, memanfaatkan dan menggunakan
ruang-ruang strategis dalam kota, sementara masyarakat tidak berdaya menghadapi
itu semua. Lantas, adakah yang diuntungkan dari megaproyek ini? Wallahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar