Kamis, 09 Mei 2019

Tol Layang Dalam Kota yang Problematik

Pembangunan adalah merupakan proses dinamis yang terus bergulir dari waktu ke waktu, tanpa henti. Di dalamnya, terjadi berbagai perubahan yang merupakan sebuah keniscayaan. Selain itu, pembangunan pada hakikatnya dapat dikategorikan pula, sebagai sebuah perubahan sosial yang dirancang dan direncanakan secara sistematis. Mengapa pembangunan perlu perencanaan? Salah satu faktornya adalah untuk memberikan arah yang jelas terhadap pembangunan yang dilakukan. Masalah akan muncul bila terjadi paradoks dalam proses pembangunan, seperti halnya yang terkait dengan prasarana transportasi.
Di dalam Kota Makassar saat ini, kemacetan sudah menjadi pemandangan yang dirasakan oleh masyarakat pada hampir setiap harinya. Dan tidak begitu mengherankan, bila Makassar akan mengalami tingkat kemacetan yang semakin parah. Mungkin ini salah satu implikasi diabaikannya regulasi sistem transportasi oleh penyelenggara pemerintahan, saat dua Ranperda Transportasi dihapus dari pembahasan dalam Prolegda 2016 lalu. Ranperda dimaksud adalah Ranperda Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Ranperda Sistem Transportasi di Kota Makassar.
Salah satu jalan di Kota Makassar, yang sering kali mengalami kepadatan hingga menyebabkan kemacetan, adalah ruas Jalan AP. Pettarani. Dan karena itulah, tol layang dirancang untuk menjadi solusi dari masalah tersebut.  Tapi betulkah tol layang dapat mengurai kemacetan seperti yang digaungkan? Inilah satu poin yang dibincangkan, pada  awal November 2018, saat Forum Masyarakat Peduli Kota (FMPK) menggelar FGD terkait proyek prestisius ini. Diskusi dengan topik “Mempersoalkan Tol Layang” dirasakan perlu oleh para aktivis yang hadir ketika itu, karena proyek ini mengundang sejumlah tanya, serta dianggap cukup  ‘mengganggu’ aktivitas masyarakat, meski belum tersuarakan secara massif ke ruang publik.
Betapa tidak, proyek senilai 2,2 triliun, dengan panjang jalan 4,3 kilometer tersebut, ditargetkan pengerjaannya selama 22 bulan. Bisa dibayangkan, selama itulah kira-kira masyarakat Makassar akan menanggung derita kemacetan panjang, saat melintas di jalur jalan Andi Pangerang Pettarani.
Pada diskusi FMPK itu, saya menyebut pekerjaan tol layang itu sebagai contoh proyek ‘aneh’. Mengapa? Karena, ia sama sekali tidak berbasis pada dokumen perencanaan yang ada. Padahal, idealnya sebuah proyek pembangunan, apalagi pekerjaan besar seperti tol layang, mestinya sudah tertuang dalam dokumen perencanaan spasial/tata ruang, baru kemudian dilaksanakan.
Namun, bila kita cermati beberapa dokumen, seperti; Perda No.4 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar 2015-2034, Perda No.9 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan 2009-2029, begitu juga di Peraturan Presiden No.55 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata, proyek tol layang tidak ditemukan alias tidak tercantum di dalamnya.
Ajaibnya, di dalam Draft Laporan Akhir Revisi RTRW Provinsi Sulawesi Selatan yang sementara tahap penyelesaian, tiba-tiba tol layang muncul dalam tabel sistem jaringan prasarana transportasi, khususnya terkait jalan bebas hambatan. Pertanyaannya, mengapa sebuah kegiatan pembangunan, bisa dikerjakan lebih dulu, lalu direncanakannya kemudian? Hal seperti ini, akan menjadi preseden buruk dalam dunia perencanaan tata ruang. Bahwa proyek pembangunan boleh saja dilakukan, meski tidak tertera dalam dokumen perencanaan, nanti kemudian dokumennya yang ‘dipaksa’ mengakomodasi proyek yang sudah terlanjur dikerjakan tersebut.
Proyek tol layang memang menimbulkan problematik. Sebab, sosialisasi kepada publik secara luas, belum maksimal dilakukan, untuk menjelaskan berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai contoh, jika keberadaannya dianggap akan mengurai kemacetan, maka rasanya tidak begitu relevan. Karena, bagaimana mungkin akan menjadi solusi kemacetan, sementara yang dibangun berupa jalan tol atau jalan berbayar. Di mana penggunaannya tidak dapat diakses oleh masyarakat secara luas.
Dalam konteks ini, justru yang lebih realistis dan rasional untuk dikedepankan adalah menuntaskan pembangunan Bypass Mamminasata. Sebab, melalui jalur ini akan memberi alternatif untuk arus pergerakan dari Maros menuju Gowa – Takalar, demikian pula sebaliknya.  Sayangnya, oleh Wakil Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, menyebutnya bukan prioritas dalam program pembangunan Pemprov Sulawesi Selatan, seperti diberitakan Harian FAJAR tanggal 13 November 2018.
Pada akhirnya, dengan proyek tol layang tersebut, publik kembali disuguhi, bahwa betapa kuatnya kolaborasi penguasa dan pengusaha, memanfaatkan dan menggunakan ruang-ruang strategis dalam kota, sementara masyarakat tidak berdaya menghadapi itu semua. Lantas, adakah yang diuntungkan dari megaproyek ini? Wallahu a’lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...