Kamis, 30 Mei 2019

PERLAWANAN RAKYAT PALESTINA : SEBUAH PILIHAN DAN KEMESTIAN (2)


“Apa yang sedang terjadi di Palestina?
Tragedi, pembunuhan massal, keterusiran, ketidakamanan,
dan upaya menghalangi sebuah bangsa untuk tumbuh dan berkembang.
Holocaust yang nyata sedang terjadi selama 60 tahun di Palestina.
Kita telah menyaksikan apa yang menimpa penduduk Gaza,
sebuah negeri  yang sedang diblokade total dan diserang oleh tentara-tentara Zionis,
ratusan orang hancur menjadi debu dan darah dalam waktu singkat.
Lantas, apa mereka harus berunding dan berdamai untuk semua kezaliman itu?”
 (Mahmoud Ahmadinejad)


Perdamaian, Mungkinkah?
Dengan memperhatikan sejumlah fakta yang ada, maka selanjutnya tentu saja memunculkan pertanyaan dalam benak kita, masih mungkinkah ada jalan keluar lewat perdamaian dari konflik berkepanjangan tersebut? Dalam buku “Ahmadinejad on Palestine”, dijelaskan dengan cukup terperinci bahwa selama ini, Amerika Serikat sebagai pendukung utama Israel, berkali-kali telah memediasi perundingan perdamaian antara Palestina-Israel. Setidaknya ada dua perjanjian penting yang pernah ditandatangani kedua pihak, yaitu Perjanjain Oslo I dan Perjanjian Oslo II. Namun, kedua perjanjian ini tidak membawa perbaikan apa pun bagi Palestina karena satu alasan : Ketidakadilan. Menurut Ahmadinejad, ‘keadilan’ adalah syarat utama untuk mewujudkan perdamaian di Palestina.
Dalam Perjanjian Oslo I atau disebut juga Perjanjian Gaza-Jericho, poin utamanya adalah Israel menyetujui pembentukan pemerintahan  otonomi (otoritas Palestina). Wilayah ‘pemerintahan’ yang diberikan hanya Gaza dan Jericho, dan secara bertahap dalam lima tahun Israel akan menarik mundur tentaranya dari Tepi Barat. Sebagai imbalannya, Otoritas Palestina bersedia; mengakui kedaulatan Israel dan menjaga keamanan orang-orang Israel dari serangan teroris. Tetapi yang terjadi melalui perjanjian ini, PLO yang menempatkan diri sebagai wakil bangsa Palestina seolah-olah telah ‘membeli’ posisi Otoritas Palestina dengan sepotong wilayah. Bahkan, dalam perjanjian ini, Otoritas Palestina telah dijadikan perpanjangan tangan Israel dalam menekan kelompok-kelompok pejuang Palestina seperti -  Hamas, Jihad Islam, dll – yang dalam perjanjian itu disebut sebagai ‘teroris’. Janji Israel untuk menarik mundur tentaranya juga tidak ditepati, bahkan aksi-aksi kekerasan dan pembangunan pemukiman Israel terus dilanjutkan di wilayah Palestina.
Sementara pada Perjanjian Oslo II atau Perjanjian Taba-Mesir 24 September 1995, berisikan: pembagian wilayah Tepi Barat ke dalam 3 Zona. Zona A yang hanya 3% dari wilayah Tepi Barat, secara penuh di bawah kontrol Otoritas Palestina, Zona C seluas 70% wilayah Tepi Barat berada di bawah kontrol militer Israel, dan sisanya, Zona B dikontrol bersama antara Palestina dan Israel. Perjanjian ini juga tidak membawa perbaikan apa pun, karena inti dari perjuangan rakyat Palestina, yaitu mengembalikan para pengungsi ke tanah/rumah mereka masing-masing, sama sekali tidak diakomodasi.
Mari kita tengok tanah air Palestina. Apakah manusia yang berakal sanggup menerima bahwa pembunuhan terhadap orang Yahudi di Barat, dijadikan alasan untuk menduduki tanah air yang dimiliki orang lain dan mendirikan sebuah negara baru di sana, dengan penduduk baru? Apakah tebusan bagi sebuah tragedi di Eropa – kalaupun itu memang terjadi – harus dilakukan di sebuah kawasan di Timur Tengah yang berjarak ribuan kilometer? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja mengusik kita bila upaya-upaya ke arah perundingan dan perdamaian akan ditempuh. Sebab, rakyat Palestina tidak melakukan kejahatan apapun. Mereka tidak punya andil dalam Perang Dunia II. Mereka hidup bersama masyarakat Yahudi dan Kristen secara damai pada masa tersebut. Mereka tidak mempunyai permasalahan. Dan hari ini pun, umat Yahudi, Kristen dan Muslim hidup bersaudara di seluruh dunia, di banyak benua. Mereka tidak memiliki permasalahan yang serius. Akan tetapi, apa sebabnya rakyat Palestina harus membayar semua ini, dengan terbunuhnya ribuan penduduk asli Palestina, dengan terusirnya jutaan orang dan menjadi pengungsi-pengungsi selama 60 tahun lamanya, bukankah ini sebuah kejahatan?
Pada konteks lain, perdamaian hanya akan diterima para pemimpin Zionis di Tel Aviv jika tidak berujung pada terbentuknya negara Palestina yang berdaulat, meskipun negara itu hanya memiliki wilayah yang kecil. Judea-Samaria (Tepi Barat) adalah “sakral” bagi Israel, terlebih Yerusalem Timur. Selain itu, hak kembali pengungsi Palestina merupakan bencana demografis bagi Israel, sekaligus dipandang sebagai upaya menghancurkan hak istimewa sebuah negara Yahudi. “Negara” Palestina hanya akan eksis sebatas sebuah pemerintahan kotapraja yang mengelola urusan administrasi orang-orang Arab saja di wilayahnya. Jadi, selama lebih dari enam dekade, dunia hanya menyaksikan kompromi besar berikut pengorbanan darah dan nyawa dari pihak Palestina. Sementara itu, Israel tidak pernah bergerak seujung kuku pun dari “ambisi-ambisi” fasisnya.
Dengan realitas seperti itu, mungkinkah perdamaian bisa diwujudkan? Oleh karenanya, sekali lagi Ahmadinejad menegaskan bahwa, “Perdamaian yang dicanangkan di atas kezaliman dan tidak didasarkan pada keimanan dan keadilan tidak akan abadi.”  Kalimat yang hampir senada juga disampaikan oleh Pemimpin Spiritual Islam Iran Sayyed Ali Khamenei, “Perdamaian adalah kata yang indah, namun keadilan lebih penting dan indah.”
Muqawamah dan Perlawanan : Sebuah Pilihan dan Kemestian
Melihat situasi yang berkembang tersebut, lantas bagaimana sikap dari mayoritas rakyat Palestina, khususnya para pejuang Palestina berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik? Bagi mereka, masa depan Palestina harus diperjuangkan sendiri oleh rakyat sipil Palestina melalui gerakan intifadah dan muqawamah. Karena sebagian besar para elit politik formal Palestina terbukti sangat permisif, enggan menjadikan semangat Islam sebagai basis dan bahkan berkolusi dengan Israel. Rezim Zionis ini tidak layak dijadikan lawan dalam dialog dan perundingan. Sebagai biang krisis, rezim ini harus dimusnahkan untuk kemudian ditampilkan pemerintahan yang dikehendaki rakyat Palestina sendiri.
Suara Palestina untuk Hamas, bisa diinterpretasikan sebagai pesan kepada Israel dan komunitas internasional bahwa inilah pilihan rakyat untuk melawan upaya-upaya eksternal yang ingin mengendalikan situasi Palestina. Sebuah sinyal protes melawan intervensi besar dalam proses pemilihan oleh pemerintah-pemerintah Barat dan Uni Eropa, yang berulang kali mengancam untuk membekukan bantuan ekonomi dan menolak dukungan politik apabila Hamas masuk ke dalam pemerintahan Otorita Palestina. Pilihan ini juga adalah pesan secara khusus kepada “kuartet perdamaian”, yang terdiri dari PBB, Amerika Serikat, Rusia dan Uni Eropa, bahwa bangsa Palestina tidak lagi ingin menerima pertunjukan-pertunjukan “perdamaian” yang menghambat reformasi internal Palestina, yang pada akhirnya tidak dapat mengakhiri pendudukan dan kolonisasi Israel. Seruan ini juga ditujukan kepada dunia untuk menghentikan kekebalan hukum Israel, yang sekaligus untuk menghormati dan melaksanakan hak-hak bangsa Palestina di bawah hukum internasional. 
Rezim Zionis di tanah pendudukan Palestina adalah rezin rasialis. Ini adalah rezim yang diciptakan oleh kekuatan-kekauatan politik dan ekonomi dunia. Pada prinsipnya, rezim ini diciptakan untuk membendung persatuan dan kejayaan Dunia Islam. Mereka tidak menghendaki umat Islam membentuk kesatuan besar yang bakal membahayakan mereka. Untuk inilah rezim Zionis diciptakan. Karena itu, mana mungkin rezim ini bisa diharapkan berlaku adil. Polos sekali orang-orang yang beranggapan bisa berunding dengan rezim Zionis, karena bagi Israel setiap perundingan tak ubahnya dengan terbukanya satu kesempatan untuk melangkah maju. Bagi Sayyed Ali Khamenei, bagaimana mungkin sebuah bangsa telah diusir dari rumah, tanah air dan negeri mereka, sedangkan mereka yang tersisa di negeri tersebut dianggap asing. Namun perlu diketahui bahwa seandainya tidak ada satupun bangsa dan negara di dunia yang membantu bangsa Palestina, maka tetap merupakan ilusi kosong jika mereka berangan-angan menggantikan Palestina dengan satu bangsa buatan. Bangsa Palestina adalah bangsa yang berbudaya, bersejarah, memiliki latar belakang dan berperadaban. Sudah ribuan tahun mereka tinggal di Palestina, lalu kemudian terusir dari rumah, kampung halaman dan lembaran sejarah mereka, dan para agresor mendatangkan kaum imigran, orang-orang gelandangan dengan aneka ragam bangsa, dan orang-orang yang cuma mencari keuntungan untuk kemudian dijadikan sebuah bangsa.
Dan berkenaan dengan Palestina, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang sanggup memadamkan cita-cita kebebasan dan kembalinya Palestina kepada para pemiliknya di hati umat bangsa-bangsa muslim, khususnya bangsa Palestina. Sebagian orang melihat masalah Timur Tengah sebagai krisis dunia dan mengatakan bahwa kita harus berusaha mengendalikan krisis tersebut. Tapi pertanyaannya, cara apakah yang dapat memadamkan krisis Timur Tengah? Hanya ada satu cara, dan itu adalah mematikan akar krisis. Apakah itu akarnya? Akarnya adalah rezim Zionis yang keberadaannya dipaksakan di Timur Tengah. Krisis tetap akan menyala selagi akarnya masih berwujud. Pada konteks ini, mungkin ada benarnya ungkapan Pemimpin Revolusi sekaligus Pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini yang pernah mengatakan bahwa, “Rezim penjajah Al-Quds harus lenyap dari lembaran waktu.” Atau dalam kalimat terjemahan secara bebas, “Israel must wiped off the map” Israel harus dihapuskan dari peta. Seorang aktivis Neturei-Karta – sebuah kelompok Yahudi Ortodoks yang menentang pendirian negara Israel – sekaligus Rabbi Yahudi  Yisroel D. Weiss, dalam Konferensi Holocaust di Teheran mengatakan, “Sangatlah jelas bahwa kaum Yahudi yang patuh kepada Taurat selalu menentang pembentukan negara Israel. Kami diperintahkan oleh Tuhan untuk tidak menciptakan eksistensi kami sendiri. Kami dalam pengasingan oleh Tuhan sampai penyelamatan terakhir, ketika semua manusia berdiri dengan damai serta melayani dan mengakui Tuhan Yang Esa.” Dan pada kesempatan yang lain beliau pun mengatakan, “Sebelum kami mengenal negara Israel, kami hidup bersama di tanah kaum Arab dan muslim selama ratusan tahun dalam damai.” Karena itu menurut Weiss, pendirian Israel adalah illegal, cacat dan salah.
Rezim yang menjajah Palestina pada beberapa waktu lalu kembali memperlihatkan kebejatan dan tiraninya dengan menyerang dan membunuhi puluhan relawan kemanusiaan yang tak bersenjata. Rezim ini mungkin berangan-angan bahwa mereka akan bisa memadamkan kobaran jihad untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kebenaran yang tak kenal lelah, dan sekaligus mereka berpikir akan dapat melicinkan proses perdamaian serta memaksakan ambisinya secara lebih keras terhadap pihak yang pro-perdamaian. Namun, sebagaimana dahulu, kejahatan inipun tidak akan dibiarkan begitu saja. Praktik-praktik kotor dan khayalan-khayalan dalam benak rezim Zionis pasti akan sia-sia. Aksi-aksi tak berprikemanusiaan dan penuh kebencian ini sudah disusul dengan gelora protes warga muslim Palestina dan para pejuang serta demonstrasi masyarakat dan mahasiswa di pelbagai negara Islam sehingga gerakan intifadah  dan muqawamah menemukan spirit baru.
Umat Islam yang sadar dan waspada, menggelar demonstrasi besar-besaran yang penuh dengan gelora semangat untuk meneriakkan slogan-slogan kebenaran, dan mendesak pemerintah negara-negara Islam agar membuka jalan jihad dan mengizinkan warga muslim untuk menunaikan tugas ini sebagai satu-satunya jalan demi mengusir para penjajah dari tanah-tanah pendudukan serta memulangkan warga Palestina ke tanah air dan kampung halaman mereka. Gelombang kutukan terhadap rezim penjajah Palestina, sekarang kian merebak dan meredupkan proses perdamaian serta semakin memperjelas kesia-siaan proses tersebut di depan mata semua orang. Dukungan materi, spirit dan politik semakin tercurah kepada gerakan-gerakan jihad, intifadah dan muqawamah. Gembar-gembor mereka yang mengaku pembela hak asasi manusia sekarang sia-sia. Deru genderang skandal para penyokong Israel sudah terdengar sehingga sebagian besar dari mereka bahkan terpaksa turut mengutuk kejahatan rezim Zionis. Tragedi terkutuk ini dilakukan dengan tujuan memaksakan ambisi-ambisi kotor para penguasa Zionis terhadap pihak yang pro-perdamaian. Namun, bangsa Palestina yang pemberani mengecam perundingan damai. Bangsa ini akan menyempitkan ruang dari pihak-pihak yang pro-perdamaian. Perjuangan dengan janji-janji kemenangan dari Allah ini suatu hari pasti akan berhasil. Tanah-tanah yang terampas akan bebas dan modal harta kekayaan yang terjarah akan kembali kepada yang berhak. Semangat ini terus bergelora sebagai lanjutan atas perjuangan rakyat Palestina sebelumnya, dan sekarang dikobarkan oleh generasi muda yang tergodok oleh revolusi dan jihad dengan mengandalkan berbagai pengalaman berharga mereka. Ini menandakan bahwa generasi sekarang telah menemukan jalan yang benar untuk merebut kemenangan dan akan menempuhnya dengan tekad yang bulat.
Satu hal yang penting bahwa Palestina tidak boleh takluk kepada konspirasi musuh, karena yang ditargetkan rezim penjajah sekarang ini ialah perselisihan di tengah barisan bangsa Palestina, dan ini bahkan juga yang diinginkan oleh unsur-unsur pengkhianat Palestina yang berkolusi dengan musuh. Segenap elemen bangsa Palestina harus bersatu-padu dalam orientasi semua kalangan yang ikhlas, mukmin dan siap berkorban. Hati umat Islam saat ini menyanjung bangsa Palestina yang kini menjadi pusat perhatian Dunia Islam. Umat Islam berdoa untuk mereka, dan jika pintu bantuan sudah terbuka, maka sekarang juga bantuan itu akan mengalir, baik di saat pemerintahnya menghendaki bantuan itu atau tidak. Umat Islam tidak akan membiarkan bangsa Palestina begitu saja. Umat Islam tidak akan memandang para pemuda Palestina dengan sebelah mata.
Sedemikian agungnya gerakan ini sehingga pengorbanan-pengorbanan ini tidak terlihat begitu besar di mata mereka sendiri. Pengorbanan tidaklah tampak di mata mereka sendiri, namun dunia takjub menyaksikannya. Satu syahadah, seperti syahidnya seorang bocah dalam pelukan ayahnya, adalah badai yang menerjang hati bangsa-bangsa dunia dan ini semua sangat bernilai. Kita ucapkan selamat kepada seluruh bangsa Palestina yang teraniaya, khususnya yang menempuh jalan jihad, intifadah dan muqawamah, karena kebangkitan mereka kian hari kian mendapat sambutan dari umat Islam dan kaum revolusioner. Dan adapun para penjajah akan kembali ke tempat asal mereka, Insya Allah.  
“Dan Barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya,
maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang.”
(QS. Al-Maidah [5] : 56)

Makassar, Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...