“Apa yang sedang terjadi di Palestina?
Tragedi, pembunuhan massal, keterusiran, ketidakamanan,
dan upaya menghalangi sebuah bangsa untuk tumbuh dan berkembang.
Holocaust yang nyata sedang terjadi selama 60 tahun di Palestina.
Kita telah menyaksikan apa yang menimpa penduduk Gaza,
sebuah negeri yang sedang
diblokade total dan diserang oleh tentara-tentara Zionis,
ratusan orang hancur menjadi debu dan darah dalam waktu singkat.
Lantas, apa mereka harus berunding dan berdamai untuk semua
kezaliman itu?”
(Mahmoud Ahmadinejad)
Perdamaian, Mungkinkah?
Dengan
memperhatikan sejumlah fakta yang ada, maka selanjutnya tentu saja memunculkan
pertanyaan dalam benak kita, masih mungkinkah ada jalan keluar lewat perdamaian
dari konflik berkepanjangan tersebut? Dalam buku “Ahmadinejad on Palestine”, dijelaskan dengan cukup terperinci
bahwa selama ini, Amerika Serikat sebagai pendukung utama Israel, berkali-kali
telah memediasi perundingan perdamaian antara Palestina-Israel. Setidaknya ada
dua perjanjian penting yang pernah ditandatangani kedua pihak, yaitu Perjanjain
Oslo I dan Perjanjian Oslo II. Namun, kedua perjanjian ini tidak membawa
perbaikan apa pun bagi Palestina karena satu alasan : Ketidakadilan. Menurut Ahmadinejad, ‘keadilan’ adalah syarat utama
untuk mewujudkan perdamaian di Palestina.
Dalam
Perjanjian Oslo I atau disebut juga Perjanjian Gaza-Jericho, poin utamanya
adalah Israel menyetujui pembentukan pemerintahan otonomi (otoritas Palestina). Wilayah
‘pemerintahan’ yang diberikan hanya Gaza dan Jericho, dan secara bertahap dalam
lima tahun Israel akan menarik mundur tentaranya dari Tepi Barat. Sebagai
imbalannya, Otoritas Palestina bersedia; mengakui kedaulatan Israel dan menjaga
keamanan orang-orang Israel dari serangan teroris. Tetapi yang terjadi melalui
perjanjian ini, PLO yang menempatkan diri sebagai wakil bangsa Palestina
seolah-olah telah ‘membeli’ posisi Otoritas Palestina dengan sepotong wilayah.
Bahkan, dalam perjanjian ini, Otoritas Palestina telah dijadikan perpanjangan
tangan Israel dalam menekan kelompok-kelompok pejuang Palestina seperti - Hamas, Jihad Islam, dll – yang dalam
perjanjian itu disebut sebagai ‘teroris’. Janji Israel untuk menarik mundur
tentaranya juga tidak ditepati, bahkan aksi-aksi kekerasan dan pembangunan
pemukiman Israel terus dilanjutkan di wilayah Palestina.
Sementara
pada Perjanjian Oslo II atau Perjanjian Taba-Mesir 24 September 1995,
berisikan: pembagian wilayah Tepi Barat ke dalam 3 Zona. Zona A yang hanya 3%
dari wilayah Tepi Barat, secara penuh di bawah kontrol Otoritas Palestina, Zona
C seluas 70% wilayah Tepi Barat berada di bawah kontrol militer Israel, dan
sisanya, Zona B dikontrol bersama antara Palestina dan Israel. Perjanjian ini
juga tidak membawa perbaikan apa pun, karena inti dari perjuangan rakyat
Palestina, yaitu mengembalikan para pengungsi ke tanah/rumah mereka
masing-masing, sama sekali tidak diakomodasi.
Mari kita
tengok tanah air Palestina. Apakah manusia yang berakal sanggup menerima bahwa
pembunuhan terhadap orang Yahudi di Barat, dijadikan alasan untuk menduduki
tanah air yang dimiliki orang lain dan mendirikan sebuah negara baru di sana,
dengan penduduk baru? Apakah tebusan bagi sebuah tragedi di Eropa – kalaupun
itu memang terjadi – harus dilakukan di sebuah kawasan di Timur Tengah yang
berjarak ribuan kilometer? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja
mengusik kita bila upaya-upaya ke arah perundingan dan perdamaian akan
ditempuh. Sebab, rakyat Palestina tidak melakukan kejahatan apapun. Mereka
tidak punya andil dalam Perang Dunia II. Mereka hidup bersama masyarakat Yahudi
dan Kristen secara damai pada masa tersebut. Mereka tidak mempunyai
permasalahan. Dan hari ini pun, umat Yahudi, Kristen dan Muslim hidup
bersaudara di seluruh dunia, di banyak benua. Mereka tidak memiliki
permasalahan yang serius. Akan tetapi, apa sebabnya rakyat Palestina harus
membayar semua ini, dengan terbunuhnya ribuan penduduk asli Palestina, dengan
terusirnya jutaan orang dan menjadi pengungsi-pengungsi selama 60 tahun
lamanya, bukankah ini sebuah kejahatan?
Pada konteks
lain, perdamaian hanya akan diterima para pemimpin Zionis di Tel Aviv jika
tidak berujung pada terbentuknya negara Palestina yang berdaulat, meskipun
negara itu hanya memiliki wilayah yang kecil. Judea-Samaria (Tepi Barat) adalah “sakral” bagi Israel, terlebih
Yerusalem Timur. Selain itu, hak kembali pengungsi Palestina merupakan bencana
demografis bagi Israel, sekaligus dipandang sebagai upaya menghancurkan hak
istimewa sebuah negara Yahudi. “Negara” Palestina hanya akan eksis sebatas
sebuah pemerintahan kotapraja yang mengelola urusan administrasi orang-orang
Arab saja di wilayahnya. Jadi, selama lebih dari enam dekade, dunia hanya
menyaksikan kompromi besar berikut pengorbanan darah dan nyawa dari pihak
Palestina. Sementara itu, Israel tidak pernah bergerak seujung kuku pun dari “ambisi-ambisi”
fasisnya.
Dengan
realitas seperti itu, mungkinkah perdamaian bisa diwujudkan? Oleh karenanya,
sekali lagi Ahmadinejad menegaskan bahwa, “Perdamaian
yang dicanangkan di atas kezaliman dan tidak didasarkan pada keimanan dan
keadilan tidak akan abadi.” Kalimat
yang hampir senada juga disampaikan oleh Pemimpin Spiritual Islam Iran Sayyed
Ali Khamenei, “Perdamaian adalah kata
yang indah, namun keadilan lebih penting dan indah.”
Muqawamah dan Perlawanan : Sebuah Pilihan dan
Kemestian
Melihat
situasi yang berkembang tersebut, lantas bagaimana sikap dari mayoritas rakyat
Palestina, khususnya para pejuang Palestina berkaitan dengan upaya penyelesaian
konflik? Bagi mereka, masa depan Palestina harus diperjuangkan sendiri oleh
rakyat sipil Palestina melalui gerakan intifadah
dan muqawamah. Karena sebagian besar
para elit politik formal Palestina terbukti sangat permisif, enggan menjadikan
semangat Islam sebagai basis dan bahkan berkolusi dengan Israel. Rezim Zionis
ini tidak layak dijadikan lawan dalam dialog dan perundingan. Sebagai biang
krisis, rezim ini harus dimusnahkan untuk kemudian ditampilkan pemerintahan
yang dikehendaki rakyat Palestina sendiri.
Suara
Palestina untuk Hamas, bisa diinterpretasikan sebagai pesan kepada Israel dan
komunitas internasional bahwa inilah pilihan rakyat untuk melawan upaya-upaya
eksternal yang ingin mengendalikan situasi Palestina. Sebuah sinyal protes
melawan intervensi besar dalam proses pemilihan oleh pemerintah-pemerintah
Barat dan Uni Eropa, yang berulang kali mengancam untuk membekukan bantuan
ekonomi dan menolak dukungan politik apabila Hamas masuk ke dalam pemerintahan
Otorita Palestina. Pilihan ini juga adalah pesan secara khusus kepada “kuartet
perdamaian”, yang terdiri dari PBB, Amerika Serikat, Rusia dan Uni Eropa, bahwa
bangsa Palestina tidak lagi ingin menerima pertunjukan-pertunjukan “perdamaian”
yang menghambat reformasi internal Palestina, yang pada akhirnya tidak dapat
mengakhiri pendudukan dan kolonisasi Israel. Seruan ini juga ditujukan kepada
dunia untuk menghentikan kekebalan hukum Israel, yang sekaligus untuk
menghormati dan melaksanakan hak-hak bangsa Palestina di bawah hukum
internasional.
Rezim Zionis
di tanah pendudukan Palestina adalah rezin rasialis. Ini adalah rezim yang
diciptakan oleh kekuatan-kekauatan politik dan ekonomi dunia. Pada prinsipnya,
rezim ini diciptakan untuk membendung persatuan dan kejayaan Dunia Islam.
Mereka tidak menghendaki umat Islam membentuk kesatuan besar yang bakal
membahayakan mereka. Untuk inilah rezim Zionis diciptakan. Karena itu, mana
mungkin rezim ini bisa diharapkan berlaku adil. Polos sekali orang-orang yang
beranggapan bisa berunding dengan rezim Zionis, karena bagi Israel setiap
perundingan tak ubahnya dengan terbukanya satu kesempatan untuk melangkah maju.
Bagi Sayyed Ali Khamenei, bagaimana mungkin sebuah bangsa telah diusir dari
rumah, tanah air dan negeri mereka, sedangkan mereka yang tersisa di negeri
tersebut dianggap asing. Namun perlu diketahui bahwa seandainya tidak ada
satupun bangsa dan negara di dunia yang membantu bangsa Palestina, maka tetap
merupakan ilusi kosong jika mereka berangan-angan menggantikan Palestina dengan
satu bangsa buatan. Bangsa Palestina adalah bangsa yang berbudaya, bersejarah,
memiliki latar belakang dan berperadaban. Sudah ribuan tahun mereka tinggal di
Palestina, lalu kemudian terusir dari rumah, kampung halaman dan lembaran
sejarah mereka, dan para agresor mendatangkan kaum imigran, orang-orang
gelandangan dengan aneka ragam bangsa, dan orang-orang yang cuma mencari
keuntungan untuk kemudian dijadikan sebuah bangsa.
Dan
berkenaan dengan Palestina, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang
sanggup memadamkan cita-cita kebebasan dan kembalinya Palestina kepada para
pemiliknya di hati umat bangsa-bangsa muslim, khususnya bangsa Palestina.
Sebagian orang melihat masalah Timur Tengah sebagai krisis dunia dan mengatakan
bahwa kita harus berusaha mengendalikan krisis tersebut. Tapi pertanyaannya,
cara apakah yang dapat memadamkan krisis Timur Tengah? Hanya ada satu cara, dan
itu adalah mematikan akar krisis. Apakah itu akarnya? Akarnya adalah rezim
Zionis yang keberadaannya dipaksakan di Timur Tengah. Krisis tetap akan menyala
selagi akarnya masih berwujud. Pada konteks ini, mungkin ada benarnya ungkapan
Pemimpin Revolusi sekaligus Pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Ruhullah
Khomeini yang pernah mengatakan bahwa, “Rezim
penjajah Al-Quds harus lenyap dari lembaran waktu.” Atau dalam kalimat
terjemahan secara bebas, “Israel must
wiped off the map” Israel harus dihapuskan dari peta. Seorang aktivis
Neturei-Karta – sebuah kelompok Yahudi Ortodoks yang menentang pendirian negara
Israel – sekaligus Rabbi Yahudi Yisroel
D. Weiss, dalam Konferensi Holocaust di Teheran mengatakan, “Sangatlah jelas bahwa kaum Yahudi yang patuh
kepada Taurat selalu menentang pembentukan negara Israel. Kami diperintahkan
oleh Tuhan untuk tidak menciptakan eksistensi kami sendiri. Kami dalam
pengasingan oleh Tuhan sampai penyelamatan terakhir, ketika semua manusia
berdiri dengan damai serta melayani dan mengakui Tuhan Yang Esa.” Dan pada
kesempatan yang lain beliau pun mengatakan, “Sebelum
kami mengenal negara Israel, kami hidup bersama di tanah kaum Arab dan muslim
selama ratusan tahun dalam damai.” Karena itu menurut Weiss, pendirian
Israel adalah illegal, cacat dan salah.
Rezim yang
menjajah Palestina pada beberapa waktu lalu kembali memperlihatkan kebejatan
dan tiraninya dengan menyerang dan membunuhi puluhan relawan kemanusiaan yang
tak bersenjata. Rezim ini mungkin berangan-angan bahwa mereka akan bisa
memadamkan kobaran jihad untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kebenaran yang
tak kenal lelah, dan sekaligus mereka berpikir akan dapat melicinkan proses
perdamaian serta memaksakan ambisinya secara lebih keras terhadap pihak yang
pro-perdamaian. Namun, sebagaimana dahulu, kejahatan inipun tidak akan
dibiarkan begitu saja. Praktik-praktik kotor dan khayalan-khayalan dalam benak
rezim Zionis pasti akan sia-sia. Aksi-aksi tak berprikemanusiaan dan penuh
kebencian ini sudah disusul dengan gelora protes warga muslim Palestina dan
para pejuang serta demonstrasi masyarakat dan mahasiswa di pelbagai negara
Islam sehingga gerakan intifadah dan muqawamah
menemukan spirit baru.
Umat Islam
yang sadar dan waspada, menggelar demonstrasi besar-besaran yang penuh dengan
gelora semangat untuk meneriakkan slogan-slogan kebenaran, dan mendesak
pemerintah negara-negara Islam agar membuka jalan jihad dan mengizinkan warga
muslim untuk menunaikan tugas ini sebagai satu-satunya jalan demi mengusir para
penjajah dari tanah-tanah pendudukan serta memulangkan warga Palestina ke tanah
air dan kampung halaman mereka. Gelombang kutukan terhadap rezim penjajah
Palestina, sekarang kian merebak dan meredupkan proses perdamaian serta semakin
memperjelas kesia-siaan proses tersebut di depan mata semua orang. Dukungan
materi, spirit dan politik semakin tercurah kepada gerakan-gerakan jihad, intifadah dan muqawamah. Gembar-gembor mereka yang mengaku pembela hak asasi
manusia sekarang sia-sia. Deru genderang skandal para penyokong Israel sudah
terdengar sehingga sebagian besar dari mereka bahkan terpaksa turut mengutuk
kejahatan rezim Zionis. Tragedi terkutuk ini dilakukan dengan tujuan memaksakan
ambisi-ambisi kotor para penguasa Zionis terhadap pihak yang pro-perdamaian.
Namun, bangsa Palestina yang pemberani mengecam perundingan damai. Bangsa ini
akan menyempitkan ruang dari pihak-pihak yang pro-perdamaian. Perjuangan dengan
janji-janji kemenangan dari Allah ini suatu hari pasti akan berhasil.
Tanah-tanah yang terampas akan bebas dan modal harta kekayaan yang terjarah
akan kembali kepada yang berhak. Semangat ini terus bergelora sebagai lanjutan
atas perjuangan rakyat Palestina sebelumnya, dan sekarang dikobarkan oleh
generasi muda yang tergodok oleh revolusi dan jihad dengan mengandalkan
berbagai pengalaman berharga mereka. Ini menandakan bahwa generasi sekarang
telah menemukan jalan yang benar untuk merebut kemenangan dan akan menempuhnya
dengan tekad yang bulat.
Satu hal
yang penting bahwa Palestina tidak boleh takluk kepada konspirasi musuh, karena
yang ditargetkan rezim penjajah sekarang ini ialah perselisihan di tengah
barisan bangsa Palestina, dan ini bahkan juga yang diinginkan oleh unsur-unsur
pengkhianat Palestina yang berkolusi dengan musuh. Segenap elemen bangsa
Palestina harus bersatu-padu dalam orientasi semua kalangan yang ikhlas, mukmin
dan siap berkorban. Hati umat Islam saat ini menyanjung bangsa Palestina yang
kini menjadi pusat perhatian Dunia Islam. Umat Islam berdoa untuk mereka, dan
jika pintu bantuan sudah terbuka, maka sekarang juga bantuan itu akan mengalir,
baik di saat pemerintahnya menghendaki bantuan itu atau tidak. Umat Islam tidak
akan membiarkan bangsa Palestina begitu saja. Umat Islam tidak akan memandang
para pemuda Palestina dengan sebelah mata.
Sedemikian
agungnya gerakan ini sehingga pengorbanan-pengorbanan ini tidak terlihat begitu
besar di mata mereka sendiri. Pengorbanan tidaklah tampak di mata mereka
sendiri, namun dunia takjub menyaksikannya. Satu syahadah, seperti syahidnya
seorang bocah dalam pelukan ayahnya, adalah badai yang menerjang hati
bangsa-bangsa dunia dan ini semua sangat bernilai. Kita ucapkan selamat kepada
seluruh bangsa Palestina yang teraniaya, khususnya yang menempuh jalan jihad, intifadah dan muqawamah,
karena kebangkitan mereka kian hari kian mendapat sambutan dari umat Islam dan
kaum revolusioner. Dan adapun para penjajah akan kembali ke tempat asal mereka,
Insya Allah.
“Dan Barang siapa menjadikan
Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman
sebagai penolongnya,
maka sungguh, pengikut (agama)
Allah itulah yang menang.”
(QS.
Al-Maidah [5] : 56)
Makassar,
Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar