Suatu ketika
di akhir Maret 2007, digelar Diskusi Panel yang bertajuk “Menyorot Pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata”, yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik
Planologi/Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas “45” Makassar, saat itu.
Mamminasata diangkat menjadi topik pembahasan kala itu, karena konsep
perencanaan dan pengembangan Mamminasata, dipandang sebagai sebuah usaha dan
upaya dalam mengurai berbagai problematika perkotaan yang dialami oleh Kota
Makassar dan daerah-daerah sekitarnya.
Namun
sekarang, rasanya kita perlu menyorot kembali, seperti apa progres dan kemajuan
dari perencanaan kawasan Mamminasata tersebut. Mengapa kita perlu pertanyakan?
Karena, konsep ini dari segi waktu, sesungguhnya sudah cukup lama digulirkan.
Begitu pula, sudah sekian banyak proyek perencanaan dikerjakan dengan atas nama
Mamminasata. Namun, masyarakat belum sepenuhnya mengerti apa yang menjadi
hambatan dan kendala yang dihadapi, sehingga implementasi dari perencanaan dan
pengembangan kawasan Mamminasata ini, belum begitu terlihat adanya kemajuan
yang signifikan dan maksimal.
Seperti
diketahui, Mamminasata adalah merupakan pengembangan kawasan terpadu, yang
meliputi; Makassar, Maros, Gowa dan Takalar, yang diorientasikan pada
terwujudnya interkoneksitas yang kuat antar daerah tersebut dalam suatu sistem
metropolitan, agar tercipta sinergitas serta keterkaitan fungsional, yang dapat
menghasilkan dampak positif dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Dari diskusi
pada tahun 2007 di atas, terdapat beberapa catatan dari makalah yang
disampaikan oleh Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi
Selatan ketika itu, yang dikomparasikan dengan salah satu tulisan saya dalam
buku “Menjadi Seorang PLANOLOG”, di mana disebutkan bahwa penyusunan RTRW
kawasan terpadu ini untuk pertama kalinya dengan nama ‘Minasamaupa’
(Sungguminasa-Maros-Ujungpandang) dilakukan pada tahun 1980-an. Kemudian dibuat
revisi RTRW Minasamaupa di tahun 1992. Lalu, muncul pemikiran untuk memasukkan
Kabupaten Takalar dalam sistem keterpaduan tersebut, maka disusunlah
selanjutnya RTRW ‘Minasamaupata’ pada tahun 2000. Setelah nama Kota
Ujungpandang dikembalikan menjadi Kota Makassar, ditempuh upaya adaptasi dengan
perubahan nama menjadi RTRW Minasamamata. Tahun 2001, dilakukan peninjauan
ulang untuk kemudian merubah nama dari konsep pengembangan kawasan terpadu ini
menjadi RTRW Mamminasata.
Pada awal
tahun 2003, digelar Launching “Konsep Pengembangan Kawasan Mamminasata”. Dan
Selanjutnya, proses legislasi ditempuh untuk memperkuat dalam hal
pelaksanaannya. Maka, pada tanggal 20 Agustus 2003, ditetapkanlah Perda No. 10
Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Metropolitan Mamminasata. Lalu,
19 Oktober 2003, kemudian ditindak lanjuti dengan penandatanganan Nota
Kesepahaman (MOU) oleh Walikota/Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota se-Wilayah
Mamminasata, untuk Kerjasama Pembangunan Prasarana dan Sarana Terpadu dalam
Wilayah Metropolitan Mamminasata. Setelah itu, dibentuklah wadah Pengelola
Metropolitan Mamminasata lewat SK Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 860/XII/2003
yang bernama Badan Kerjasama Pembangunan Metropolitan Mamminasata (BKSPMM).
Badan ini berfungsi melaksanakan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang
di wilayah Metropolitan Mamminasata. Dan terakhir, dalam rangka memperkuat
pelaksanaan pembangunan Mamminasata, diterbitkanlah Peraturan Presiden RI
Nomor. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata
(Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar).
Dari
perjalanan panjang konsep perencanaan dan pengembangan Mamminasata ini, yang
sudah melewati kurun waktu tiga puluh tahun lebih, menjadi wajar jika kemudian
memunculkan pertanyaan terkait berbagai hal, di antaranya :
Pertama, Sudah
seberapa jauh kemajuan dari pelaksanaan pengembangan kawasan terpadu
Mamminasata tersebut. Informasi terkait hal ini perlu dipublish ke publik atau
masyarakat luas, karena menyangkut akuntabilitas penggunaan anggaran negara
yang tidak kecil.
Kedua, Masihkah
nota kesepahaman yang ditandatangani pada 2003 itu, berjalan efektif hingga
sekarang. Pasalnya, infrastruktur yang berada di wilayah pinggiran atau perbatasan daerah antara Makassar-Maros
serta antara Makassar-Gowa, masih terlihat kurang memadai.
Ketiga, Apakah
BKSP Metropolitan Mamminasata yang pernah dibentuk itu, masih eksis dan terus
menjalankan peran dan fungsinya sampai saat ini, ataukah lembaga tersebut sudah
tidak ada lagi.
Keempat, Apakah
koordinasi antar kepala daerah dalam wilayah Mamminasata, masih berjalan secara
berkala dan efektif, terutama saat dilakukan sinkronisasi rumusan kebijakan
pembangunan dan kebijakan spasial di daerahnya masing-masing.
Dalam
konteks perencanaan tata ruang, seperti diketahui, kawasan Mamminasata sudah
ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), yang mana wilayah penataan
ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara
nasional terhadap berbagai aspek. Oleh sebab itu, maka secara hirarkis, keempat
daerah dalam wilayah Mamminasata, mesti menyelaraskan perencanaan pembangunan dan
tata ruang daerahnya dengan konsep
pengembangan Mamminasata. Karenanya, sebuah paradoks terjadi, ketika
contoh paling mutakhir tersaji di depan kita. Yakni, pembangunan tol layang
dalam kota, yang sekarang ini lagi dikerjakan. Sesungguhnya megaproyek ini,
memunculkan banyak pertanyaan. Satu di antaranya, adalah mengapa proyek ini
muncul tiba-tiba, sementara pekerjaan Bypass/jalan lingkar luar dan lingkar
tengah dalam Mamminasata tak kunjung diselesaikan/dirampungkan, hingga saat
ini.
Akhirnya,
mau kemana sebetulnya konsep Mamminasata ini? Sejumlah pertanyaan di atas,
perlu mendapatkan respon serta penjelasan dari instansi terkait yang
berkompeten, agar menjadi jelas dan tidak menimbulkan spekulasi di
tengah-tengah masyarakat. Dan lebih penting dari itu, berdasarkan UU.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
bahwa merupakan hak setiap orang untuk
mengetahui informasi yang terkait dengan penataan ruang, termasuk dalam
hal ini mengenai perencanaan dan pengembangan kawasan Mamminasata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar