Kamis, 09 Mei 2019

Ramadhan dan Pembentukan Diri

Bulan Ramadhan adalah bulan yang diberkati dan bulan yang penuh dengan keagungan. Jika Anda menginginkan kebaikan dunia dan akhirat maka mintalah pada bulan Ramadhan ini. Pada bulan ini Allah SWT menurunkan rahmat dan memberikan janji untuk mengabulkan dan memperkenankan doa.
Ramadhan adalah bulan kesabaran, yang pahalanya adalah surga. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan kesudahannya keterbebasan dari siksa neraka. Dalam tradisi kaum muslimin, Ramadhan juga dikenal sebagai bulan amal. Karena itu, pada bulan ini kita menyaksikan peningkatan kuantitas dan kualitas amal yang dilakukan setiap pribadi muslim, baik yang sifatnya ritual maupun sosial.
Untuk menggambarkan bulan mulia ini, saya kutipkan di sini, bagian awal dari Khutbah Rasulullah SAW saat menyambut bulan Ramadhan, “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian bulan Allah yang penuh rahmat,  berkah, dan ampunan. Bulan yang paling utama di sisi Allah. Hari-harinya seutama-utamanya hari, malam-malamnya seutama-utamanya malam, dan waktu-waktunya seutama-utamanya waktu. Pada bulan ini kalian diundang menjadi tamu Allah dan dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang dimuliakan Allah. Pada bulan ini tarikan nafas kalian merupakan tasbih, tidur kalian adalah ibadah, amalan kalian diterima, dan doa kalian dikabulkan. Oleh karena itulah, bermohonlah kepada Allah, Tuhan kalian, dengan niat yang tulus dan hati yang suci, agar Ia membimbing kalian untuk berpuasa dan membaca kitab-Nya.”
Dengan demikian, jika kita menginginkan kesempurnaan akhlak dan spiritual, maka kita dapat menempuh jarak perjalanan lima puluh tahun hanya dalam sebulan ini, bahkan mungkin hanya satu hari, satu malam atau bahkan hanya satu jam di bulan ini.
Asupan Ruhaniah untuk Kesempurnaan Manusia
Syaikh Ibrahim Amini dalam ‘Risalah Tasawuf’-nya menyebut bahwa manusia memiliki dua “diri”, diri hewani dan diri insani. Tetapi, nilai manusia ditentukan oleh diri insaninya, bukan oleh diri hewaninya.
Pada setiap dari dua sisi kehidupannya – hewani dan insani – manusia mempunyai berbagai kebutuhan, yang mana dasar-dasarnya telah tersedia pada dirinya. Manusia menginginkan kelangsungan hidupnya, dan untuk itu mau tidak mau dia juga harus terikat dengan keperluan-keperluan kehidupan – hewani – tersebut, yang bersifat material. Akan tetapi, manusia harus ingat, kehidupan hewani hanya merupakan awal bukan yang utama.
Bulan Ramadhan, memberi kita kesempatan yang sangat baik dalam memenuhi kebutuhan insani kita, melalui asupan-asupan ruhani berupa berbagai macam amal ibadah yang ada, antara lain: 
Pertama, Membaca dan Mentadabburi Al-Quran
Karena Ramadhan adalah bulan Al-Quran, maka sebanyak mungkin kita perlu mengambil manfaat serta mendapatkan keutamaan melalui interaksi dengan Al-Quran. Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan Al-Quran atas seluruh kalam (perkataan) seperti keutamaan Allah atas makhluk-Nya.” Dalam ungkapan lain beliau berkata, “Jika salah seorang darimu suka berdialog dengan Tuhannya, maka bacalah Al-Quran.” Sementara berkenaan dengan tadabbur Sayyidina Ali Kw berkata, “Tidaklah terdapat kebaikan dari suatu ilmu yang tidak dipahami dengan benar, tidak ada kebaikan dalam bacaan yang tidak diringi dengan tadabbur, dan tidak ada kebaikan dalam suatu ibadah yang tidak diiringi dengan pemahaman yang benar.”
Kedua, Puasa dan Jenis-Jenisnya
Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah:183)
Puasa dalam wujud kehidupan manusia memiliki berbagai dimensi dan dampak yang begitu banyak, baik dari sisi materi maupun maknawi (spiritual), dan yang lebih penting dari semua dimensi yang ada ialah dimensi akhlak dan pendidikannya. Di antara manfaat penting yang ada dalam puasa adalah melembutkan jiwa, menguatkan kehendak yang ada dalam diri dan menyeimbangkan insting. Seseorang yang melakukan puasa, selain harus merasakan kelaparan dan kehausan, ia juga harus menutup matanya dari kelezatan dan kenikmatan biologis, serta membuktikan dengan amal bahwa ia tidaklah seperti hewan yang terkungkung di dalam kandang dan rerumputan. Karena ia mampu menahan diri dari godaan nafsu serta lebih dominan dari hawa nafsu dan syahwatnya. Karena itu, pada hakikatnya filsafat terpenting puasa terletak pada dimensi ruhani dan maknawinya.
Syaikh Husain Mazhahiri membagi puasa atas tiga jenis, yaitu:
1.   Puasa Syariat
Puasa syariat ialah puasa perut. Yaitu menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa (al-mufthirat), sebagaimana yang dijelaskan di dalam risalah-risalah amaliyah. Barangsiapa yang berpegang teguh kepada yang demikian maka tidak ada qada dan kafarah atasnya, dan tentu dia akan memperoleh manfaat dunia dan pahala akhirat. Akan tetapi, puasa jenis ini tidak akan mewujudkan faidah-faidah lain yang diharapkan. Inilah yang dinamakan dengan puasa syariat atau puasa kebanyakan manusia.
2.   Puasa Akhlak
Yang dimaksud di sini yaitu selain perut berpuasa, juga seluruh anggota tubuh yang lain ikut berpuasa. Seperti mata, telinga, tangan dan kaki. Puasa jenis ini dinamakan juga dengan puasa dari berbagai hal yang diharamkan, dari berbagai hal yang dibenci dan dari berbagai hal yang syubhat.
Rasulullah SAW mendengar seorang wanita tengah mencaci maki tetangganya sementara dia sedang dalam keadaan berpuasa, maka Rasulullah SAW pun menyuruh wanita itu memakan makanan. Rasulullah berkata kepada wanita itu, “Makanlah.” Wanita itu menjawab, “Saya sedang puasa.” Rasulullah SAW berkata, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sementara engkau mencaci maki tetanggamu. Sesungguhnya puasa bukanlah sekadar menahan makan dan minum.”
Jenis puasa yang kedua ini dinamakan dengan puasa akhlak. Karena pada jenis puasa ini, disamping seseorang berpuasa perutnya, dia juga berusaha supaya anggota-anggota tubuhnya yang lain ikut berpuasa. Kita memohon taufik kepada Allah SWT dan bertawassul kepada para wali-wali-Nya, supaya orang-orang yang berpuasa diberikan kemampuan untuk melaksanakan puasa akhlak, di samping puasa syariat. Jika di bulan Ramadhan seseorang tidak menjaga mata, telinga dan lisannya, dan begitu juga anggota-anggota tubuhnya yang lain, mungkin saja dia dapat memenuhi puasa syariatnya, akan tetapi jelas dia tidak berhasil mencapai derajat takwa, derajat doa mustajab dan juga kesempurnaan akhlak dan perilaku.
3.   Puasa Irfan
Adapun puasa jenis ketiga, yang merupakan jenis puasa yang amat sulit, yaitu puasa kaum arifin. Pada puasa jenis ini, selain seseorang harus berpuasa perutnya dan juga seluruh anggota tubuhnya, maka hatinya pun harus berpuasa. Namun, dari apa saja hati harus berpuasa? Yaitu hati harus berpuasa dari lintasan-lintasan pikiran yang buruk dan dari sifat-sifat yang tercela. Artinya, meskipun sifat-sifat tercela ada di dalam hati, namun puasa mencegahnya untuk tidak menyala/memancar. Sehingga dengan begitu penyakit hasud tidak muncul, penyakit kikir tidak muncul, penyakit buruk sangka tidak muncul dan demikian juga penyakit sombong tidak muncul.
Sesungguhnya puasa jenis ini bukanlah puasa untuk kita, akan tetapi seseorang yang berhasil melakukan puasa syariat dan puasa akhlak, maka dia akan bisa sampai pada kedudukan ini di akhir bulan Ramadhan yang mulia.
Puasa di bulan Ramadhan diwajibkan untuk tujuan ini. Puasa bulan Ramadhan diwajibkan dengan tujuan supaya seseorang maju selangkah demi selangkah, pada hari pertama, hari kedua, hari kesepuluh, hari kelima belas, pada malam-malam lailatul qadar, dan setelah malam-malam lailatul qadar, sehingga manakala dia memperhatikan dengan seksama, dia dapat melihat bahwa kehendak perut dan kehendak seluruh anggotan tubuhnya yang lain berada di tangannya, begitu juga lintasan-lintasan pikiran yang buruk telah terkikis dari hatinya. Demikian juga halnya dengan sifat-sifat tercela, meskipun tidak tercabut dari akarnya, namun kini telah berada di bawah kendalinya.
Berhala demi berhala telah hancur dari dalam hatinya, dan sepenuhnya telah menjadi milik Allah, sehingga Allah SWT menerangi hatinya. Karena itu, dia telah sampai kepada derajat kesucian dan kejernihan hati. Ringkasnya, puasa dapat memberikan lompatan yang menakjubkan dari alam hewani menuju ke alam malaikat.
Ketiga, Majelis Ilmu
Menambah makrifat lewat majelis ilmu. Oleh karena dengan ilmu seseorang dapat meningkatkan pemahamannya sehingga pada gilirannya meningkatkan pula kualitas amal dan ibadahnya. Tanpa makrifat, maka mustahil seseorang dapat mencapai derajat insaniah yang tinggi.
Keempat, Doa dan Munajat
Amalan ini merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Lewat doa kita berupaya mendekatkan diri dengan Allah SWT serta menumpahkan semua yang tersimpan di dalam hati kepada-Nya. Oleh karenanya, doa adalah salah satu amalan yang cukup penting bagi hamba beriman yang mencari kebaikan, keselamatan dan keberhasilan. Di saat yang sama, doa memiliki peranan yang penting dalam penyucian jiwa. Selain itu, doa akan mengusir kelalaian dari hati manusia, sehingga kita selalu mengingat Allah SWT dan tidak melupakan-Nya. Karena kelalaian dari-Nya adalah sumber semua kekhlilafan, penyimpangan dan tindakan destruktif manusia. Pada akhirnya, doa akan terus menumbuhkan kerinduan kepada Allah SWT dan perasaan tersebut akan terpatri di dalam hati.
Kelima, Zikir
Seluruh peribadatan yang kita lakukan, sesungguhnya dalam rangka mengingat Allah SWT. Oleh karena dengannya, dapat menenteramkan hati manusia. “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang/tetnteram.” (QS.Ar-Ra’d:28) Ketika seorang hamba ingat Allah, maka sebaliknya Allah juga memperhatikan dan menjaga hamba-Nya itu. Allah SWT berfirman, “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan ingat kalian.” (QS.Al-Baqarah:152)
Pada gilirannya, kehidupan manusia secara umum, terbagi dalam tiga model kehidupan, yaitu :
1.     Model Kehidupan Tumbuh-tumbuhan, dimana yang dipikirkan hanyalah seputar kenikmatan jasadi. Bagaimana mendapatkan makanan yang enak, berpakaian yang bagus dan berketurunan.
2.     Model Kehidupan Hewani, yakni disamping kehidupan tumbuh-tumbuhan, dia juga memiliki gerak iradah. Dengan kelebihan ini, ia dapat memenuhi keinginan-keinginannya yang lebih besar. Tapi dalam aspek nilai, dia tidak dapat memperoleh nilai-nilai mulia yang lebih tinggi dari tabiatnya.
3.     Model Kehidupan Insani, di mana selain yang terdapat pada dua model sebelumnya, dia memiliki akal yang mengarahkannya pada kehidupan berakal dan berbudi, serta penyembahan kepada Sang Khaliq. Oleh sebab itu, jika ada manusia yang tidak dalam kehidupan berakal, berbudi dan menyembah Tuhan, maka kehidupannya tidak lebih dari kehidupan tumbuh-tumbuhan atau hewani, bahkan menurut Al-Quran boleh jadi lebih rendah dari keduanya atau bahkan lebih rendah dari batu.
Akhirnya, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka dan ingin menjadi seperti apa. Karena kita diciptakan sebagai manusia Oleh Tuhan, maka kita mesti berupaya untuk kembali sebagai manusia lagi.
Makassar, Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...