Bulan
Ramadhan adalah bulan yang diberkati dan bulan yang penuh dengan keagungan. Jika
Anda menginginkan kebaikan dunia dan akhirat maka mintalah pada bulan Ramadhan
ini. Pada bulan ini Allah SWT menurunkan rahmat dan memberikan janji untuk
mengabulkan dan memperkenankan doa.
Ramadhan
adalah bulan kesabaran, yang pahalanya adalah surga. Ramadhan adalah bulan yang
permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan kesudahannya keterbebasan dari
siksa neraka. Dalam tradisi kaum muslimin, Ramadhan juga dikenal sebagai bulan
amal. Karena itu, pada bulan ini kita menyaksikan peningkatan kuantitas dan
kualitas amal yang dilakukan setiap pribadi muslim, baik yang sifatnya ritual
maupun sosial.
Untuk
menggambarkan bulan mulia ini, saya kutipkan di sini, bagian awal dari Khutbah
Rasulullah SAW saat menyambut bulan Ramadhan, “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian bulan Allah
yang penuh rahmat, berkah, dan ampunan.
Bulan yang paling utama di sisi Allah. Hari-harinya seutama-utamanya hari,
malam-malamnya seutama-utamanya malam, dan waktu-waktunya seutama-utamanya
waktu. Pada bulan ini kalian diundang menjadi tamu Allah dan dimasukkan ke
dalam kelompok orang-orang yang dimuliakan Allah. Pada bulan ini tarikan nafas
kalian merupakan tasbih, tidur kalian adalah ibadah, amalan kalian diterima,
dan doa kalian dikabulkan. Oleh karena itulah, bermohonlah kepada Allah, Tuhan
kalian, dengan niat yang tulus dan hati yang suci, agar Ia membimbing kalian
untuk berpuasa dan membaca kitab-Nya.”
Dengan
demikian, jika kita menginginkan kesempurnaan akhlak dan spiritual, maka kita
dapat menempuh jarak perjalanan lima puluh tahun hanya dalam sebulan ini,
bahkan mungkin hanya satu hari, satu malam atau bahkan hanya satu jam di bulan
ini.
Asupan Ruhaniah untuk Kesempurnaan Manusia
Syaikh
Ibrahim Amini dalam ‘Risalah Tasawuf’-nya menyebut bahwa manusia memiliki dua
“diri”, diri hewani dan diri insani. Tetapi, nilai manusia ditentukan oleh diri
insaninya, bukan oleh diri hewaninya.
Pada setiap
dari dua sisi kehidupannya – hewani dan insani – manusia mempunyai berbagai
kebutuhan, yang mana dasar-dasarnya telah tersedia pada dirinya. Manusia
menginginkan kelangsungan hidupnya, dan untuk itu mau tidak mau dia juga harus
terikat dengan keperluan-keperluan kehidupan – hewani – tersebut, yang bersifat
material. Akan tetapi, manusia harus ingat, kehidupan hewani hanya merupakan
awal bukan yang utama.
Bulan
Ramadhan, memberi kita kesempatan yang sangat baik dalam memenuhi kebutuhan
insani kita, melalui asupan-asupan ruhani berupa berbagai macam amal ibadah
yang ada, antara lain:
Pertama, Membaca dan Mentadabburi Al-Quran
Karena
Ramadhan adalah bulan Al-Quran, maka sebanyak mungkin kita perlu mengambil
manfaat serta mendapatkan keutamaan melalui interaksi dengan Al-Quran.
Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan
Al-Quran atas seluruh kalam (perkataan) seperti keutamaan Allah atas
makhluk-Nya.” Dalam ungkapan lain beliau berkata, “Jika salah seorang darimu suka berdialog dengan Tuhannya, maka bacalah
Al-Quran.” Sementara berkenaan dengan tadabbur Sayyidina Ali Kw berkata, “Tidaklah terdapat kebaikan dari suatu ilmu
yang tidak dipahami dengan benar, tidak ada kebaikan dalam bacaan yang tidak
diringi dengan tadabbur, dan tidak ada kebaikan dalam suatu ibadah yang tidak
diiringi dengan pemahaman yang benar.”
Kedua, Puasa dan Jenis-Jenisnya
Allah SWT
berfirman, “Wahai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah:183)
Puasa dalam
wujud kehidupan manusia memiliki berbagai dimensi dan dampak yang begitu
banyak, baik dari sisi materi maupun maknawi (spiritual), dan yang lebih
penting dari semua dimensi yang ada ialah dimensi akhlak dan pendidikannya. Di
antara manfaat penting yang ada dalam puasa adalah melembutkan jiwa, menguatkan
kehendak yang ada dalam diri dan menyeimbangkan insting. Seseorang yang
melakukan puasa, selain harus merasakan kelaparan dan kehausan, ia juga harus
menutup matanya dari kelezatan dan kenikmatan biologis, serta membuktikan
dengan amal bahwa ia tidaklah seperti hewan yang terkungkung di dalam kandang
dan rerumputan. Karena ia mampu menahan diri dari godaan nafsu serta lebih
dominan dari hawa nafsu dan syahwatnya. Karena itu, pada hakikatnya filsafat
terpenting puasa terletak pada dimensi ruhani dan maknawinya.
Syaikh
Husain Mazhahiri membagi puasa atas tiga jenis, yaitu:
1. Puasa Syariat
Puasa syariat ialah puasa perut.
Yaitu menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa (al-mufthirat), sebagaimana yang dijelaskan di dalam risalah-risalah
amaliyah. Barangsiapa yang berpegang teguh kepada yang demikian maka tidak ada qada dan kafarah atasnya, dan tentu dia akan memperoleh manfaat dunia dan
pahala akhirat. Akan tetapi, puasa jenis ini tidak akan mewujudkan
faidah-faidah lain yang diharapkan. Inilah yang dinamakan dengan puasa syariat
atau puasa kebanyakan manusia.
2. Puasa Akhlak
Yang dimaksud di sini yaitu
selain perut berpuasa, juga seluruh anggota tubuh yang lain ikut berpuasa.
Seperti mata, telinga, tangan dan kaki. Puasa jenis ini dinamakan juga dengan
puasa dari berbagai hal yang diharamkan, dari berbagai hal yang dibenci dan
dari berbagai hal yang syubhat.
Rasulullah SAW mendengar seorang
wanita tengah mencaci maki tetangganya sementara dia sedang dalam keadaan
berpuasa, maka Rasulullah SAW pun menyuruh wanita itu memakan makanan.
Rasulullah berkata kepada wanita itu, “Makanlah.”
Wanita itu menjawab, “Saya sedang puasa.”
Rasulullah SAW berkata, “Bagaimana
mungkin engkau berpuasa sementara engkau mencaci maki tetanggamu. Sesungguhnya
puasa bukanlah sekadar menahan makan dan minum.”
Jenis puasa yang kedua ini
dinamakan dengan puasa akhlak. Karena pada jenis puasa ini, disamping seseorang
berpuasa perutnya, dia juga berusaha supaya anggota-anggota tubuhnya yang lain
ikut berpuasa. Kita memohon taufik kepada Allah SWT dan bertawassul kepada para
wali-wali-Nya, supaya orang-orang yang berpuasa diberikan kemampuan untuk
melaksanakan puasa akhlak, di samping puasa syariat. Jika di bulan Ramadhan
seseorang tidak menjaga mata, telinga dan lisannya, dan begitu juga
anggota-anggota tubuhnya yang lain, mungkin saja dia dapat memenuhi puasa
syariatnya, akan tetapi jelas dia tidak berhasil mencapai derajat takwa,
derajat doa mustajab dan juga kesempurnaan akhlak dan perilaku.
3. Puasa Irfan
Adapun puasa jenis ketiga, yang
merupakan jenis puasa yang amat sulit, yaitu puasa kaum arifin. Pada puasa jenis ini, selain seseorang harus berpuasa
perutnya dan juga seluruh anggota tubuhnya, maka hatinya pun harus berpuasa.
Namun, dari apa saja hati harus berpuasa? Yaitu hati harus berpuasa dari
lintasan-lintasan pikiran yang buruk dan dari sifat-sifat yang tercela.
Artinya, meskipun sifat-sifat tercela ada di dalam hati, namun puasa
mencegahnya untuk tidak menyala/memancar. Sehingga dengan begitu penyakit hasud
tidak muncul, penyakit kikir tidak muncul, penyakit buruk sangka tidak muncul
dan demikian juga penyakit sombong tidak muncul.
Sesungguhnya puasa jenis ini
bukanlah puasa untuk kita, akan tetapi seseorang yang berhasil melakukan puasa
syariat dan puasa akhlak, maka dia akan bisa sampai pada kedudukan ini di akhir
bulan Ramadhan yang mulia.
Puasa di bulan Ramadhan
diwajibkan untuk tujuan ini. Puasa bulan Ramadhan diwajibkan dengan tujuan
supaya seseorang maju selangkah demi selangkah, pada hari pertama, hari kedua,
hari kesepuluh, hari kelima belas, pada malam-malam lailatul qadar, dan setelah
malam-malam lailatul qadar, sehingga manakala dia memperhatikan dengan seksama,
dia dapat melihat bahwa kehendak perut dan kehendak seluruh anggotan tubuhnya
yang lain berada di tangannya, begitu juga lintasan-lintasan pikiran yang buruk
telah terkikis dari hatinya. Demikian juga halnya dengan sifat-sifat tercela,
meskipun tidak tercabut dari akarnya, namun kini telah berada di bawah
kendalinya.
Berhala demi berhala telah hancur
dari dalam hatinya, dan sepenuhnya telah menjadi milik Allah, sehingga Allah
SWT menerangi hatinya. Karena itu, dia telah sampai kepada derajat kesucian dan
kejernihan hati. Ringkasnya, puasa dapat memberikan lompatan yang menakjubkan
dari alam hewani menuju ke alam malaikat.
Ketiga, Majelis Ilmu
Menambah
makrifat lewat majelis ilmu. Oleh karena dengan ilmu seseorang dapat
meningkatkan pemahamannya sehingga pada gilirannya meningkatkan pula kualitas
amal dan ibadahnya. Tanpa makrifat, maka mustahil seseorang dapat mencapai
derajat insaniah yang tinggi.
Keempat, Doa dan Munajat
Amalan ini
merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Lewat doa kita berupaya
mendekatkan diri dengan Allah SWT serta menumpahkan semua yang tersimpan di
dalam hati kepada-Nya. Oleh karenanya, doa adalah salah satu amalan yang cukup
penting bagi hamba beriman yang mencari kebaikan, keselamatan dan keberhasilan.
Di saat yang sama, doa memiliki peranan yang penting dalam penyucian jiwa.
Selain itu, doa akan mengusir kelalaian dari hati manusia, sehingga kita selalu
mengingat Allah SWT dan tidak melupakan-Nya. Karena kelalaian dari-Nya adalah
sumber semua kekhlilafan, penyimpangan dan tindakan destruktif manusia. Pada
akhirnya, doa akan terus menumbuhkan kerinduan kepada Allah SWT dan perasaan
tersebut akan terpatri di dalam hati.
Kelima, Zikir
Seluruh
peribadatan yang kita lakukan, sesungguhnya dalam rangka mengingat Allah SWT.
Oleh karena dengannya, dapat menenteramkan hati manusia. “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenang/tetnteram.” (QS.Ar-Ra’d:28) Ketika seorang hamba ingat Allah, maka
sebaliknya Allah juga memperhatikan dan menjaga hamba-Nya itu. Allah SWT
berfirman, “Ingatlah kalian kepada-Ku
niscaya Aku pun akan ingat kalian.” (QS.Al-Baqarah:152)
Pada
gilirannya, kehidupan manusia secara umum, terbagi dalam tiga model kehidupan,
yaitu :
1. Model
Kehidupan Tumbuh-tumbuhan, dimana yang dipikirkan hanyalah seputar kenikmatan
jasadi. Bagaimana mendapatkan makanan yang enak, berpakaian yang bagus dan
berketurunan.
2. Model
Kehidupan Hewani, yakni disamping kehidupan tumbuh-tumbuhan, dia juga memiliki
gerak iradah. Dengan kelebihan ini, ia dapat memenuhi keinginan-keinginannya
yang lebih besar. Tapi dalam aspek nilai, dia tidak dapat memperoleh nilai-nilai
mulia yang lebih tinggi dari tabiatnya.
3. Model
Kehidupan Insani, di mana selain yang terdapat pada dua model sebelumnya, dia
memiliki akal yang mengarahkannya pada kehidupan berakal dan berbudi, serta
penyembahan kepada Sang Khaliq. Oleh sebab itu, jika ada manusia yang tidak
dalam kehidupan berakal, berbudi dan menyembah Tuhan, maka kehidupannya tidak
lebih dari kehidupan tumbuh-tumbuhan atau hewani, bahkan menurut Al-Quran boleh
jadi lebih rendah dari keduanya atau bahkan lebih rendah dari batu.
Akhirnya,
makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib
akhir mereka dan ingin menjadi seperti apa. Karena kita diciptakan sebagai
manusia Oleh Tuhan, maka kita mesti berupaya untuk kembali sebagai manusia lagi.
Makassar, Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar