Selasa, 16 Juli 2019

Mencermati [Lagi] Tata Ruang Makassar (Catatan Awal untuk Penjabat Wali Kota)

Sekitar pertengahan Mei, tepatnya Senin 13 Mei 2019, Penjabat (Pj) Wali Kota Makassar resmi dilantik oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Adalah Bapak Dr.H.M.Iqbal Samad Suhaeb, SE, MT yang dipercaya untuk mengemban jabatan ini untuk waktu 20 bulan ke depan. Menakhodai kota besar seperti Makassar, dengan penduduk lebih 1,5 juta jiwa, tentu bukanlah perkara mudah. Belum lagi sejumlah persoalan pembangunan dalam kota yang membutuhkan penanganan serius dan segera.

Salah satu persoalan fundamental yang terkesan belum diseriusi oleh pemerintah kota selama ini, adalah problem tata ruang Kota Makassar. Karena itulah, tulisan ini dimaksudkan menjadi catatan awal untuk Penjabat Wali Kota, yang merupakan kontribusi dan masukan saya selaku warga kota. Berikut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk dicermati, antara lain:

Pertama, perlunya Penjabat Wali Kota Makassar menelaah lagi Perda No.4 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar 2015-2034, terutama dalam hal implementasi peran dan fungsinya. Pasal 3 dalam Perda tersebut, menyatakan bahwa RTRW Kota Makassar berperan sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan antar wilayah dan kesinambungan pemanfaatan ruang di Kota Makassar. Sementara pada Pasal 4, dijelaskan bahwa RTRW Kota Makassar berfungsi sebagai: a). Pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan daerah, b). Pedoman pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Kota Makassar, c). Pedoman untuk perwujudan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antarwilayah serta keserasian antarsektor di Kota Makassar, d). Pedoman penetapan lokasi dan fungsi untuk investasi di Kota Makassar, dan e). Pedoman perwujudan keterpaduan rencana pengembangan Kota Makassar dengan kawasan sekitarnya. Peran dan fungsi RTRW ini harus dipastikan oleh Penjabat Wali Kota, betul-betul berjalan dengan semestinya agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih pelik.

Kedua, persoalan disparitas pembangunan antarwilayah dalam Kota Makassar yang begitu nampak serta meluasnya fenomena urban sprawl, mesti mendapatkan perhatian yang lebih serius.

Ketiga, masalah sistem transportasi dengan berbagai turunannya. Di antaranya, tingkat kemacetan yang cenderung meningkat, fasilitas angkutan umum yang tidak memadai, area perparkiran yang minim, serta kurangnya pedestrian dan penggunaan trotoar yang kadang kala tidak sesuai dengan fungsinya. Kesemuanya memerlukan penanganan yang tepat.

Keempat, pemerintah Kota Makassar, perlu lebih tanggap serta kerja cepat dan cermat  dalam menghadapi ancaman banjir pada musim hujan mendatang. Sebab bila tidak, tragedi banjir yang terjadi pada Januari 2019 lalu, bisa terulang kembali dengan tingkat dan skala dampak yang ditimbulkan, jauh lebih besar.

Kelima, penelusuran yang dilakukan oleh KPK beberapa waktu lalu, terkait aset fasum-fasos Pemerintah Kota Makassar, yang dikuasai oleh individu atau perusahaan, mesti ditindaklanjuti segera dalam bentuk yang lebih konkrit, karena fasum-fasos tersebut merupakan hak publik yang diperlukan oleh masyarakat.

Keenam, Pemerintah Kota mungkin perlu memikirkan pengadaan ruang-ruang interaksi warga yang produktif dan nyaman, di tengah sumpeknya ruang kota yang dijejali dengan ruko-ruko dan pusat perbelanjaan. Dalam hal ini, “Taman Literasi Kota” dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengakomodasi kebutuhan warga tersebut, sekaligus pula dengan ini bisa memenuhi minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Makassar. 

Selain hal di atas, karena Kota Makassar memiliki posisi yang sangat strategis di Kawasan Timur Indonesia, maka tentu saja akan banyak kepentingan yang saling bersinggungan untuk menguasai ruang-ruang strategis di dalam Kota Makassar. Henri Lefebvre mendaku, “Sesungguhnya tidak ada ruang yang sepenuhnya ‘ideal’, karena secara spasial dalam masyarakat kapitalis modern, ‘ruang’ merupakan arena pertarungan yang tidak akan pernah selesai diperebutkan.” 

Prof. Eko Budihardjo menulis tentang seorang pakar perencana kota dari Inggris yang pernah berkata, “Kota merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battleground). Siapa yang memiliki kekuatan finansial, dialah yang akan amat menentukan wajah dan nasib kota.” Olehnya itu, tidak mengherankan jika Makassar dalam perkembangannya pun, sudah dipadati dengan bangunan mall, supermall, pusat-pusat perbelanjaan, permukiman mewah, jejeran ruko, sementara di sisi lain, tidak tersedia ruang terbuka hijau yang memadai.

Peter Lang juga pernah mengingatkan dalam bukunya Mortal City, bahwa kota-kota besar di dunia, dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.

Dalam konteks itu, masa transisi yang dijalani oleh Penjabat Wali Kota Makassar saat ini, hingga terpilihnya Wali Kota definitif pada tahun 2020 nanti, adalah masa yang krusial dan sangat rentan. Karena boleh jadi, para pemodal dan kapitalis bersama korporasinya, akan menjadikan momentum dan peluang ini melalui berbagai cara, untuk mewujudkan obsesi mereka dalam menguasai ruang-ruang strategis kota. Oleh sebab itu, Penjabat Wali Kota perlu berkomitmen dengan sungguh-sungguh, untuk konsisten  menegakkan aturan dan regulasi penataan ruang dengan sebenar-benarnya, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dua aspek dari penataan ruang ini, sangat menentukan terciptanya tertib tata ruang.

Terakhir, gagasan Penjabat Wali Kota tentang “Run Makassar” dengan tiga kata kunci, Clean, Comport dan Continuity, tentu tidak bisa dijadikan rujukan secara langsung dalam proses pembangunan, karena bukan merupakan produk lembaran daerah yang telah ditetapkan. Olehnya itu, perlu kiranya gagasan tersebut dihubungkan dengan “Visi Daerah” yang dimiliki oleh Kota Makassar, seperti tertuang dalam Perda No.13 tahun 2006 tentang Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Makassar 2005-2025. Dengan begitu, arah pembangunan Kota Makassar tidak kehilangan orientasi dari visi jangka panjang daerahnya sendiri.

Saya berharap, proses pembangunan dan penataan ruang Kota Makassar, dapat berjalan berdasarkan aturan yang ada, dengan mengedepankan kepentingan seluruh masyarakat, sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang. Dengan demikian, bila RTRW Kota Makassar dapat diterapkan seperti peran dan fungsi yang semestinya, maka tata ruang Kota Makassar yang berkeadilan dan manusiawi, tidak mustahil bisa tercipta dan kita rasakan bersama. Semoga Penjabat Wali Kota Makassar mampu mewujudkan melaui ikhtiar yang dilakukannya!
Makassar, Mei 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...