Sekitar
pertengahan Mei, tepatnya Senin 13 Mei 2019, Penjabat (Pj) Wali Kota Makassar
resmi dilantik oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Adalah Bapak
Dr.H.M.Iqbal Samad Suhaeb, SE, MT yang dipercaya untuk mengemban jabatan ini
untuk waktu 20 bulan ke depan. Menakhodai kota besar seperti Makassar, dengan
penduduk lebih 1,5 juta jiwa, tentu bukanlah perkara mudah. Belum lagi sejumlah
persoalan pembangunan dalam kota yang membutuhkan penanganan serius dan segera.
Salah satu
persoalan fundamental yang terkesan belum diseriusi oleh pemerintah kota selama
ini, adalah problem tata ruang Kota Makassar. Karena itulah, tulisan ini
dimaksudkan menjadi catatan awal untuk Penjabat Wali Kota, yang merupakan
kontribusi dan masukan saya selaku warga kota. Berikut beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian untuk dicermati, antara lain:
Pertama, perlunya Penjabat
Wali Kota Makassar menelaah lagi Perda No.4 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Makassar 2015-2034, terutama dalam hal implementasi peran
dan fungsinya. Pasal 3 dalam Perda tersebut, menyatakan bahwa RTRW Kota
Makassar berperan sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan antar
wilayah dan kesinambungan pemanfaatan ruang di Kota Makassar. Sementara pada
Pasal 4, dijelaskan bahwa RTRW Kota Makassar berfungsi sebagai: a). Pedoman
untuk penyusunan rencana pembangunan daerah, b). Pedoman pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Kota Makassar, c). Pedoman untuk
perwujudan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antarwilayah
serta keserasian antarsektor di Kota Makassar, d). Pedoman penetapan lokasi dan
fungsi untuk investasi di Kota Makassar, dan e). Pedoman perwujudan keterpaduan
rencana pengembangan Kota Makassar dengan kawasan sekitarnya. Peran dan fungsi
RTRW ini harus dipastikan oleh Penjabat Wali Kota, betul-betul berjalan dengan
semestinya agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih pelik.
Kedua, persoalan
disparitas pembangunan antarwilayah dalam Kota Makassar yang begitu nampak
serta meluasnya fenomena urban sprawl,
mesti mendapatkan perhatian yang lebih serius.
Ketiga, masalah
sistem transportasi dengan berbagai turunannya. Di antaranya, tingkat kemacetan
yang cenderung meningkat, fasilitas angkutan umum yang tidak memadai, area
perparkiran yang minim, serta kurangnya pedestrian dan penggunaan trotoar yang
kadang kala tidak sesuai dengan fungsinya. Kesemuanya memerlukan penanganan
yang tepat.
Keempat, pemerintah
Kota Makassar, perlu lebih tanggap serta kerja cepat dan cermat dalam menghadapi ancaman banjir pada musim
hujan mendatang. Sebab bila tidak, tragedi banjir yang terjadi pada Januari
2019 lalu, bisa terulang kembali dengan tingkat dan skala dampak yang ditimbulkan,
jauh lebih besar.
Kelima,
penelusuran yang dilakukan oleh KPK beberapa waktu lalu, terkait aset
fasum-fasos Pemerintah Kota Makassar, yang dikuasai oleh individu atau
perusahaan, mesti ditindaklanjuti segera dalam bentuk yang lebih konkrit,
karena fasum-fasos tersebut merupakan hak publik yang diperlukan oleh
masyarakat.
Keenam, Pemerintah
Kota mungkin perlu memikirkan pengadaan ruang-ruang interaksi warga yang produktif
dan nyaman, di tengah sumpeknya ruang kota yang dijejali dengan ruko-ruko dan
pusat perbelanjaan. Dalam hal ini, “Taman Literasi Kota” dapat menjadi salah
satu alternatif untuk mengakomodasi kebutuhan warga tersebut, sekaligus pula
dengan ini bisa memenuhi minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Makassar.
Selain hal
di atas, karena Kota Makassar memiliki posisi yang sangat strategis di Kawasan
Timur Indonesia, maka tentu saja akan banyak kepentingan yang saling
bersinggungan untuk menguasai ruang-ruang strategis di dalam Kota Makassar. Henri
Lefebvre mendaku, “Sesungguhnya tidak ada ruang yang sepenuhnya ‘ideal’, karena
secara spasial dalam masyarakat kapitalis modern, ‘ruang’ merupakan arena
pertarungan yang tidak akan pernah selesai diperebutkan.”
Prof. Eko
Budihardjo menulis tentang seorang pakar perencana kota dari Inggris yang
pernah berkata, “Kota merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battleground). Siapa yang
memiliki kekuatan finansial, dialah yang akan amat menentukan wajah dan nasib
kota.” Olehnya itu, tidak mengherankan jika Makassar dalam perkembangannya pun,
sudah dipadati dengan bangunan mall, supermall, pusat-pusat perbelanjaan,
permukiman mewah, jejeran ruko, sementara di sisi lain, tidak tersedia ruang
terbuka hijau yang memadai.
Peter Lang juga pernah mengingatkan dalam bukunya Mortal City, bahwa kota-kota besar di dunia, dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.
Dalam
konteks itu, masa transisi yang dijalani oleh Penjabat Wali Kota Makassar saat
ini, hingga terpilihnya Wali Kota definitif pada tahun 2020 nanti, adalah masa
yang krusial dan sangat rentan. Karena boleh jadi, para pemodal dan kapitalis
bersama korporasinya, akan menjadikan momentum dan peluang ini melalui berbagai
cara, untuk mewujudkan obsesi mereka dalam menguasai ruang-ruang strategis
kota. Oleh sebab itu, Penjabat Wali Kota perlu berkomitmen dengan
sungguh-sungguh, untuk konsisten
menegakkan aturan dan regulasi penataan ruang dengan sebenar-benarnya,
khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Dua aspek dari penataan ruang ini, sangat menentukan terciptanya tertib
tata ruang.
Terakhir,
gagasan Penjabat Wali Kota tentang “Run Makassar” dengan tiga kata kunci, Clean, Comport dan Continuity,
tentu tidak bisa dijadikan rujukan secara langsung dalam proses pembangunan,
karena bukan merupakan produk lembaran daerah yang telah ditetapkan. Olehnya
itu, perlu kiranya gagasan tersebut dihubungkan dengan “Visi Daerah” yang
dimiliki oleh Kota Makassar, seperti tertuang dalam Perda No.13 tahun 2006
tentang Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Makassar 2005-2025. Dengan
begitu, arah pembangunan Kota Makassar tidak kehilangan orientasi dari visi
jangka panjang daerahnya sendiri.
Saya berharap, proses pembangunan dan penataan ruang Kota Makassar, dapat berjalan berdasarkan aturan yang ada, dengan mengedepankan kepentingan seluruh masyarakat, sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang. Dengan demikian, bila RTRW Kota Makassar dapat diterapkan seperti peran dan fungsi yang semestinya, maka tata ruang Kota Makassar yang berkeadilan dan manusiawi, tidak mustahil bisa tercipta dan kita rasakan bersama. Semoga Penjabat Wali Kota Makassar mampu mewujudkan melaui ikhtiar yang dilakukannya!
Makassar,
Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar