Suatu saat
di bulan Desember 2017, Badan Eksekutif Himpunan Mahasiswa Pengembangan Wilayah
dan Kota (BE-HMPWK) Fakultas Teknik Unhas, menggelar seminar bertajuk “Nawacita
untuk Pembangunan Indonesia Yang Lebih Baik” sebagai rangkaian kegiatan “Plano Debate Competition”. Dalam acara
tersebut, saya diminta oleh panitia, membahas sub tema seminar, terkait masalah
tertib tata ruang, sebagaimana yang menjadi judul dari tulisan ini.
Sebuah
kemajuan, di era pemerintahan sekarang ini, karena untuk kali pertama bidang
tata ruang dicantumkan dalam nomenklatur sebuah kementerian. Hal tersebut
memberikan harapan dan seolah menggambarkan perhatian pemerintah akan
pentingnya bidang tata ruang.
Namun dalam
implementasinya, tujuan dari penyelenggaraan Penataan Ruang untuk mewujudkan
ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, tidak serta merta dapat
dicapai. Pada kenyataannya, problematika
penataan ruang masih terjadi pada hampir semua tahapan, terutama pada aspek
pengendalian pemanfaatan ruang. Secara sederhana, bisa kita katakan bahwa
tujuan yang diinginkan dalam penyelenggaraan penataan ruang, masih akan sulit
untuk diraih selama tertib tata ruang belum tercipta. Tertib tata ruang
sesungguhnya adalah taat aturan, taat asas, yang membuat sistem berjalan dengan
baik. Berkata Sayyidina Ali Kw, “Kota
(tempat) terbaik bagi kamu adalah tempat di mana kehidupan dirimu diatur secara
sistem.”
Secara
normatif, sistem perundang-undangan penataan ruang beserta penjabarannya, sudah
begitu memadai. Sebagai contoh, PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang. Di dalamnya, meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan serta pengawasan penataan ruang. Pada aspek pelaksanaan penataan
ruang, terbagi atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Nah, ‘Pengendalian Pemanfaatan Ruang’ inilah yang berfungsi
untuk menciptakan tertib tata ruang. Benar kata Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA,
PhD, bahwa “Proses dan produk perencanaan ruang, masih cenderung terjebak
sekadar memenuhi formalitas serta legalitas proses pembangunan.”
Walau
begitu, untuk menuju tertib tata ruang, tentu saja dibutuhkan sejumlah
perangkat/instrumen yang dapat digunakan. Pada UU. 26/2007 tentang Penataan
Ruang, disebutkan beberapa instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang,
yaitu; peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif-disinsentif serta
pengenaan sanksi. Tiga instrumen awal merupakan bentuk-bentuk pencegahan
sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi pelanggaran atau mengurangi
kemungkinan terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang. Sedangkan instrumen yang
terakhir adalah bentuk penindakan yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi (post factum).
Dari keempat
perangkat tersebut, secara operasional, peraturan zonasi menjadi acuan dalam
penerapan instrumen lainya. Pasal 36 poin 1 UU. 26/2007 menyebut Peraturan
Zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Demikian pula, dalam
Peratutan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota,
dijelaskan bahwa Peraturan Zonasi (PZ) berfungsi sebagai acuan dalam pemberian
izin, acuan dalam pemberian insentif-disinsentif, acuan dalam pengenaan sanksi
serta rujukan teknis dalam pengembangan atau pemanfaatan lahan.
Dari
sejumlah aturan dan regulasi yang disebutkan di atas, lantas mengapa tertib
tata ruang begitu rumit dan sulit untuk diwujudkan? Pertanyaan ini menemukan
konteksnya, ketika kita menyaksikan berbagai pelanggaran tata ruang yang
terjadi di sekitar kita. Di Kota Makassar, apalagi pada saat musim hujan
terjadi, dengan mudah masyarakat merasakan akibat dari tertib tata ruang yang
tidak berjalan efektif. Kurangnya ruang terbuka hijau, taman kota serta daerah
resapan yang semakin langka, menjadikan banjir dan genangan dengan mudah
terjadi. Prasarana dan sarana transportasi yang belum tertata secara baik,
pembangunan yang tidak sesuai dengan lahan peruntukannya, dan berbagai
persoalan lainnya.
Karena itu,
agar tidak mengulang terus pelanggaran dan supaya tertib tata ruang dapat kita
wujudkan, maka beberapa hal berikut bisa dijadikan bahan pertimbangan bersama,
antara lain :
Pertama, Memastikan
penegakan hukum dan aturan-aturan yang ada terkait pengendalian pemanfaatan
ruang, agar betul-betul dijalankan dan diimplementasikan, untuk memberikan
kepastian hukum dan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, Pemerintah
yang diberikan kewenangan oleh undang-undang sebagai penyelenggara penataan
ruang harus berkomitmen secara serius menciptakan tertib tata ruang. Pada
konteks ini, mental para penyelenggara penataan ruang akan diuji
konsistensinya. Pengajar Filsafat, Karlina Supelli mengatakan, “Ciri kematangan
seseorang adalah ketika seseorang sanggup menjalankan suatu pekerjaan bukan
karena ia suka tetapi karena dia berkomitmen.”
Ketiga,
Meningkatkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial dalam penyelenggaraan
penataan ruang, khususnya dalam aspek pengendalian pemanfaatan ruang, agar tertib
tata ruang bisa diciptakan secara bersama-sama oleh berbagai komponen dalam
masyarakat. Namun tentu saja, informasi mengenai hak dan kewajiban masyarakat
dalam penataan ruang, sebagaimana diatur dalam regulasi/aturan perundangan,
lebih dahulu mesti disosialisasikan, agar supaya masyarakat tahu apa yang harus
dilakukan.
Pada
akhirnya, pencapaian pembangunan yang lebih baik, akan sangat tergantung pada
keinginan serta kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah sendiri, selaku
penyelenggara pembangunan dan penataan ruang dalam mewujudkan tertib tata
ruang.
FAJAR Makassar, Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar