Minggu, 10 Februari 2019

Tertib Tata Ruang Ciptakan Pembangunan yang Lebih Baik


Suatu saat di bulan Desember 2017, Badan Eksekutif Himpunan Mahasiswa Pengembangan Wilayah dan Kota (BE-HMPWK) Fakultas Teknik Unhas, menggelar seminar bertajuk “Nawacita untuk Pembangunan Indonesia Yang Lebih Baik” sebagai rangkaian kegiatan “Plano Debate Competition”. Dalam acara tersebut, saya diminta oleh panitia, membahas sub tema seminar, terkait masalah tertib tata ruang, sebagaimana yang menjadi judul dari tulisan ini.
Sebuah kemajuan, di era pemerintahan sekarang ini, karena untuk kali pertama bidang tata ruang dicantumkan dalam nomenklatur sebuah kementerian. Hal tersebut memberikan harapan dan seolah menggambarkan perhatian pemerintah akan pentingnya bidang tata ruang. 
Namun dalam implementasinya, tujuan dari penyelenggaraan Penataan Ruang untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, tidak serta merta dapat dicapai.  Pada kenyataannya, problematika penataan ruang masih terjadi pada hampir semua tahapan, terutama pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Secara sederhana, bisa kita katakan bahwa tujuan yang diinginkan dalam penyelenggaraan penataan ruang, masih akan sulit untuk diraih selama tertib tata ruang belum tercipta. Tertib tata ruang sesungguhnya adalah taat aturan, taat asas, yang membuat sistem berjalan dengan baik. Berkata Sayyidina Ali Kw, “Kota (tempat) terbaik bagi kamu adalah tempat di mana kehidupan dirimu diatur secara sistem.”
Secara normatif, sistem perundang-undangan penataan ruang beserta penjabarannya, sudah begitu memadai. Sebagai contoh, PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Di dalamnya, meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan serta pengawasan penataan ruang. Pada aspek pelaksanaan penataan ruang, terbagi atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Nah, ‘Pengendalian Pemanfaatan Ruang’ inilah yang berfungsi untuk menciptakan tertib tata ruang. Benar kata Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA, PhD, bahwa “Proses dan produk perencanaan ruang, masih cenderung terjebak sekadar memenuhi formalitas serta legalitas proses pembangunan.”
Walau begitu, untuk menuju tertib tata ruang, tentu saja dibutuhkan sejumlah perangkat/instrumen yang dapat digunakan. Pada UU. 26/2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan beberapa instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang, yaitu; peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif-disinsentif serta pengenaan sanksi. Tiga instrumen awal merupakan bentuk-bentuk pencegahan sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi pelanggaran atau mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang. Sedangkan instrumen yang terakhir adalah bentuk penindakan yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi (post factum).
Dari keempat perangkat tersebut, secara operasional, peraturan zonasi menjadi acuan dalam penerapan instrumen lainya. Pasal 36 poin 1 UU. 26/2007 menyebut Peraturan Zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Demikian pula, dalam Peratutan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, dijelaskan bahwa Peraturan Zonasi (PZ) berfungsi sebagai acuan dalam pemberian izin, acuan dalam pemberian insentif-disinsentif, acuan dalam pengenaan sanksi serta rujukan teknis dalam pengembangan atau pemanfaatan lahan.
Dari sejumlah aturan dan regulasi yang disebutkan di atas, lantas mengapa tertib tata ruang begitu rumit dan sulit untuk diwujudkan? Pertanyaan ini menemukan konteksnya, ketika kita menyaksikan berbagai pelanggaran tata ruang yang terjadi di sekitar kita. Di Kota Makassar, apalagi pada saat musim hujan terjadi, dengan mudah masyarakat merasakan akibat dari tertib tata ruang yang tidak berjalan efektif. Kurangnya ruang terbuka hijau, taman kota serta daerah resapan yang semakin langka, menjadikan banjir dan genangan dengan mudah terjadi. Prasarana dan sarana transportasi yang belum tertata secara baik, pembangunan yang tidak sesuai dengan lahan peruntukannya, dan berbagai persoalan lainnya.
Karena itu, agar tidak mengulang terus pelanggaran dan supaya tertib tata ruang dapat kita wujudkan, maka beberapa hal berikut bisa dijadikan bahan pertimbangan bersama, antara lain :
Pertama, Memastikan penegakan hukum dan aturan-aturan yang ada terkait pengendalian pemanfaatan ruang, agar betul-betul dijalankan dan diimplementasikan, untuk memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh undang-undang sebagai penyelenggara penataan ruang harus berkomitmen secara serius menciptakan tertib tata ruang. Pada konteks ini, mental para penyelenggara penataan ruang akan diuji konsistensinya. Pengajar Filsafat, Karlina Supelli mengatakan, “Ciri kematangan seseorang adalah ketika seseorang sanggup menjalankan suatu pekerjaan bukan karena ia suka tetapi karena dia berkomitmen.”
Ketiga, Meningkatkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial dalam penyelenggaraan penataan ruang, khususnya dalam aspek pengendalian pemanfaatan ruang, agar tertib tata ruang bisa diciptakan secara bersama-sama oleh berbagai komponen dalam masyarakat. Namun tentu saja, informasi mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, sebagaimana diatur dalam regulasi/aturan perundangan, lebih dahulu mesti disosialisasikan, agar supaya masyarakat tahu apa yang harus dilakukan.
Pada akhirnya, pencapaian pembangunan yang lebih baik, akan sangat tergantung pada keinginan serta kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah sendiri, selaku penyelenggara pembangunan dan penataan ruang dalam mewujudkan tertib tata ruang.
FAJAR Makassar, Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...