Dalam buku “Mewariskan Kota Layak
Huni” yang disusun oleh Nirwono Yoga, disebutkan bahwa, Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs 2030) secara eksplisit telah mengakui pentingnya peran
perkotaan. Karenanya, pada Konferensi Habitat III di Quito, Ekuador tahun 2016,
menegaskan kembali komitmen negara-negara di dunia, dalam pembangunan perkotaan
yang layak huni dan berkelanjutan, melalui kesepakatan Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda/NUA) sampai dengan
2036. Konferensi Habitat adalah Konferensi PBB tentang perumahan dan
pembangunan kota, yang diselenggarakan setiap 20 tahun.
Tata Ruang,
Seriuskah Dilakukan?
Pada 9 November 2018 lalu, saat
Kota Makassar genap berusia 411 tahun, setidaknya 167 penghargaan skala
nasional maupun internasional, telah berhasil ditorehkan oleh Pemerintah Kota
dibawah kepemimpinan Ir. H. Moh. Ramdhan Pomanto dan Dr. H. Syamsu Rizal MI,
S.Sos, M.Si. Keberhasilan ini tentu patut diapresiasi, sebagai hasil dari kerja
keras yang dilakukan selama ini, dalam memajukan Kota Makassar. Namun begitu,
euforia akan capaian tersebut, tidak boleh juga menutup mata kita, dalam
melihat berbagai hal yang masih membutuhkan perbaikan atau pembenahan. Yang
mendasar memunculkan tanya, apakah penghargaan-penghargaan tersebut berkorelasi
langsung terhadap penataan ruang kota Makassar yang lebih baik? Seriuskah
pemerintah kota dalam penyelenggaraan penataan ruang kota ini? Oleh karenanya,
tulisan ini dimaksudkan untuk menyampaikan beberapa catatan terkait masalah
tata ruang Kota Makassar, yang butuh perhatian dari pemerintah kota.
Pertama, Pada
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Makassar 2015-2034, dinyatakan bahwa RTRW Kota Makassar, berperan
sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan antar wilayah dan
kesinambungan pemanfaatan ruang di Kota Makassar. Pertanyaannya, sudahkah peran
tersebut dijalankan oleh pemerintah kota sebagaimana mestinya? Sebab, yang
terjadi justru sebaliknya, di mana kecenderungan pada disparitas pembangunan
antar wilayah dalam kota Makassar, begitu nampak serta kasak mata.
Kedua, Dalam
periode musim hujan seperti sekarang ini, dengan mudah publik akan melihat
dampak dari penataan ruang kota yang problematik. Pada musim hujan tahun lalu,
Kota Makassar paling tidak, dua kali dilanda banjir yang cukup besar.
Penyebabnya, tentu bukan hanya karena curah hujan yang begitu tinggi, tetapi
juga karena faktor lainnya, seperti semakin minimnya daerah resapan dan
kurangnya ruang terbuka hijau, serta sistem jaringan drainase yang tidak
berfungsi secara optimal.
Ketiga, Hal penting
dalam Kota Makassar yang tak kalah menimbulkan persoalan adalah masalah
transportasi. Terjadinya pertumbuhan jumlah kendaraan yang tak terkendali serta
pergerakan penduduk dalam kota yang dari waktu ke waktu semakin meningkat,
menyebabkan kemacetan tidak dapat dihindarkan. Hal ini diperparah lagi, karena
kurangnya area parkir pada pusat-pusat aktivitas, sehingga membuat sebagian
ruas jalan terambil dan berubah wajah menjadi tempat parkir kendaraan. Tidak
jarang, fenomena tersebut bukan hanya menjadi sumber kemacetan, tapi juga telah
merampas hak publik bagi pengguna pedestrian atau trotoar. Di samping itu,
pelayanan publik berupa transportasi umum/massal tampaknya juga belum
diseriusi. Ironisnya, justru muncul proyek ‘aneh’ berupa tol layang dalam kota,
yang saat ini dimulai pengerjaannya. Ajaibnya, proyek besar ini sudah
dilaksanakan, padahal tidak tertera dalam berbagai dokumen perencanaan, seperti
RTRW Kota Makassar. Selain itu, sosialisasinya pun dipandang sangat minim
kepada publik dan masyarakat luas.
Dari sekelumit gambaran persoalan
di atas, maka tampaknya, siapa pun yang akan memimpin Kota Makassar pada
periode-periode mendatang, tentu harus siap dan serius menghadapi berbagai
tantangan dan problem tata ruang yang begitu pelik dan kompleks. Sebab,
persoalan penataan ruang dan pemanfaatan ruang perkotaan sudah menjadi salah
satu isu strategis dalam penyusunan Indonesia
New Urban Action (INUAct) sebagai penjabaran New Urban Agenda (NUA). Tantangan lain yang juga perlu perhatian,
terkait hasil survey tentang Most Livable
City Indeks (MLCI) 2017 yang dirilis oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia
(PN-IAP) beberapa waktu lalu, di mana menunjukkan Kota Makassar masih tergolong
salah satu kota dengan indeks layak huni dibawah standar rata-rata.
Paradoks pembangunan akan selalu
terjadi, manakala pembangunan dilakukan secara sporadis tanpa melalui
perencanaan yang matang. Apalagi, jika hanya didasari untuk mengejar prestise
dan penghargaan, serta semata mengandalkan jargon bombastis yang terkadang
tidak realistis.
Pada waktu mendatang, dibutuhkan
pemimpin Makassar yang mampu mencermati paradigma pembangunan perkotaan, yang
tidak terlepas dari pengembangan kewilayahan. Demikian pula, perlu
memperhatikan serta merespon berbagai kecenderungan yang berkembang dan
berpengaruh (emerging trends) pada
pembangunan di era global. Dan tentu saja, tidak mengabaikan berbagai dokumen
dan produk perencanaan yang ada, baik terkait perencanaan pembangunan maupun
perencanaan spasial atau keruangan. Akhirnya buat warga Makassar, saya kutipkan
ungkapan Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc, “Jangan biarkan kota-kota kita rusak.
Metropolis kita menjadi ‘miseropolis’(kota
yang menyengsarakan), hanya karena kita biarkan The Big Boys (penguasa lalim dan pengusaha hitam) merajalela
membangun kota dengan seenaknya.” Wallahu
a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar