Minggu, 10 Februari 2019

Menyoal [Kembali] Tata Ruang Kota Makassar


Dalam buku “Mewariskan Kota Layak Huni” yang disusun oleh Nirwono Yoga, disebutkan bahwa, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs 2030) secara eksplisit telah mengakui pentingnya peran perkotaan. Karenanya, pada Konferensi Habitat III di Quito, Ekuador tahun 2016, menegaskan kembali komitmen negara-negara di dunia, dalam pembangunan perkotaan yang layak huni dan berkelanjutan, melalui kesepakatan Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda/NUA) sampai dengan 2036. Konferensi Habitat adalah Konferensi PBB tentang perumahan dan pembangunan kota, yang diselenggarakan setiap 20 tahun.
                             
Tata Ruang, Seriuskah Dilakukan?

Pada 9 November 2018 lalu, saat Kota Makassar genap berusia 411 tahun, setidaknya 167 penghargaan skala nasional maupun internasional, telah berhasil ditorehkan oleh Pemerintah Kota dibawah kepemimpinan Ir. H. Moh. Ramdhan Pomanto dan Dr. H. Syamsu Rizal MI, S.Sos, M.Si. Keberhasilan ini tentu patut diapresiasi, sebagai hasil dari kerja keras yang dilakukan selama ini, dalam memajukan Kota Makassar. Namun begitu, euforia akan capaian tersebut, tidak boleh juga menutup mata kita, dalam melihat berbagai hal yang masih membutuhkan perbaikan atau pembenahan. Yang mendasar memunculkan tanya, apakah penghargaan-penghargaan tersebut berkorelasi langsung terhadap penataan ruang kota Makassar yang lebih baik? Seriuskah pemerintah kota dalam penyelenggaraan penataan ruang kota ini? Oleh karenanya, tulisan ini dimaksudkan untuk menyampaikan beberapa catatan terkait masalah tata ruang Kota Makassar, yang butuh perhatian dari pemerintah kota.

Pertama, Pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar 2015-2034, dinyatakan bahwa RTRW Kota Makassar, berperan sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan antar wilayah dan kesinambungan pemanfaatan ruang di Kota Makassar. Pertanyaannya, sudahkah peran tersebut dijalankan oleh pemerintah kota sebagaimana mestinya? Sebab, yang terjadi justru sebaliknya, di mana kecenderungan pada disparitas pembangunan antar wilayah dalam kota Makassar, begitu nampak serta kasak mata.

Kedua, Dalam periode musim hujan seperti sekarang ini, dengan mudah publik akan melihat dampak dari penataan ruang kota yang problematik. Pada musim hujan tahun lalu, Kota Makassar paling tidak, dua kali dilanda banjir yang cukup besar. Penyebabnya, tentu bukan hanya karena curah hujan yang begitu tinggi, tetapi juga karena faktor lainnya, seperti semakin minimnya daerah resapan dan kurangnya ruang terbuka hijau, serta sistem jaringan drainase yang tidak berfungsi secara optimal.

Ketiga, Hal penting dalam Kota Makassar yang tak kalah menimbulkan persoalan adalah masalah transportasi. Terjadinya pertumbuhan jumlah kendaraan yang tak terkendali serta pergerakan penduduk dalam kota yang dari waktu ke waktu semakin meningkat, menyebabkan kemacetan tidak dapat dihindarkan. Hal ini diperparah lagi, karena kurangnya area parkir pada pusat-pusat aktivitas, sehingga membuat sebagian ruas jalan terambil dan berubah wajah menjadi tempat parkir kendaraan. Tidak jarang, fenomena tersebut bukan hanya menjadi sumber kemacetan, tapi juga telah merampas hak publik bagi pengguna pedestrian atau trotoar. Di samping itu, pelayanan publik berupa transportasi umum/massal tampaknya juga belum diseriusi. Ironisnya, justru muncul proyek ‘aneh’ berupa tol layang dalam kota, yang saat ini dimulai pengerjaannya. Ajaibnya, proyek besar ini sudah dilaksanakan, padahal tidak tertera dalam berbagai dokumen perencanaan, seperti RTRW Kota Makassar. Selain itu, sosialisasinya pun dipandang sangat minim kepada publik dan masyarakat luas.  

Dari sekelumit gambaran persoalan di atas, maka tampaknya, siapa pun yang akan memimpin Kota Makassar pada periode-periode mendatang, tentu harus siap dan serius menghadapi berbagai tantangan dan problem tata ruang yang begitu pelik dan kompleks. Sebab, persoalan penataan ruang dan pemanfaatan ruang perkotaan sudah menjadi salah satu isu strategis dalam penyusunan Indonesia New Urban Action (INUAct) sebagai penjabaran New Urban Agenda (NUA). Tantangan lain yang juga perlu perhatian, terkait hasil survey tentang Most Livable City Indeks (MLCI) 2017 yang dirilis oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (PN-IAP) beberapa waktu lalu, di mana menunjukkan Kota Makassar masih tergolong salah satu kota dengan indeks layak huni dibawah standar rata-rata.

Paradoks pembangunan akan selalu terjadi, manakala pembangunan dilakukan secara sporadis tanpa melalui perencanaan yang matang. Apalagi, jika hanya didasari untuk mengejar prestise dan penghargaan, serta semata mengandalkan jargon bombastis yang terkadang tidak realistis.

Pada waktu mendatang, dibutuhkan pemimpin Makassar yang mampu mencermati paradigma pembangunan perkotaan, yang tidak terlepas dari pengembangan kewilayahan. Demikian pula, perlu memperhatikan serta merespon berbagai kecenderungan yang berkembang dan berpengaruh (emerging trends) pada pembangunan di era global. Dan tentu saja, tidak mengabaikan berbagai dokumen dan produk perencanaan yang ada, baik terkait perencanaan pembangunan maupun perencanaan spasial atau keruangan. Akhirnya buat warga Makassar, saya kutipkan ungkapan Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc, “Jangan biarkan kota-kota kita rusak. Metropolis kita menjadi ‘miseropolis’(kota yang menyengsarakan), hanya karena kita biarkan The Big Boys (penguasa lalim dan pengusaha hitam) merajalela membangun kota dengan seenaknya.” Wallahu a’lam bisshawab.

FAJAR Makassar, April 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...