Minggu, 10 Februari 2019

Keadilan Ruang untuk Kebangkitan Nasional


Hal krusial dalam kehidupan bermasyarakat pada ideologi dan dasar negara kita, yang terkait dengan kemakmuran dan kesejahteraan adalah Sila Kelima Pancasila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Di tempat lain, penjelasan UUD 1945 Pasal 33, pun dengan lugas disebutkan; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Relasi keduanya, secara eksplisit bisa dimaknai bahwa proses pembangunan yang dilakukan, harus dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.   Namun begitu, sudah jamak kita dengarkan sejumlah informasi yang terungkap ke publik, bahwa justru yang terjadi adalah mayoritas sumber daya alam kita masih dikuasai oleh segelintir orang di negeri ini. lantas, bagaimana implementasi dari Sila Kelima itu?
Pertanyaan mendasarnya, apa makna dari ‘keadilan’ tersebut? Dan akankah prinsip ‘keadilan’ ini bisa diwujudkan di negeri ini? Masalah keadilan menjadi begitu penting, karena disamping menjadi sesuatu yang tidak mudah diwujudkan, juga banyak bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Secara teologi Islam pun, keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar untuk diterapkan. Tuhan dengan tegas berfirman pada Surah An-Nahl 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan….”  Lalu, apa arti keadilan itu? Salah satu pengertian yang sederhana dari keadilan ialah meletakkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Atau keadaan sesuatu yang seimbang dan proporsional. Jadi, bila suatu masyarakat tertentu ingin tetap bertahan dan berlangsung secara baik, maka masyarakat tersebut harus berada dalam keadaan seimbang, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis  dengan kadar yang semestinya, bukan dengan kadar yang sama. Oleh karena itu, jika sistem pemerintahan yang kita anut ini ditujukan untuk terciptanya keadilan sosial, maka dengan merujuk berbagai aturan yang ada, proses pembangunan yang dijalankan mesti dipastikan memberikan kesempatan yang adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh ada, individu, golongan atau kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan dalam penguasaan serta pemilikan sumber daya alam yang ada. 
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa berbagai sumber daya alam kita, seperti sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, pertanahan dan lainnya, justru dikuasai oleh hanya beberapa korporasi serta pemilik modal besar. Ironisnya, data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 2017, menyebutkan bahwa di antara masalah pertanahan yang dihadapi adalah ketersediaan tanah untuk pembangunan sangat terbatas serta terjadinya ketimpangan kepemilikan tanah. Hal ini menegaskan, ternyata, keadilan terhadap ruang pun, nampaknya juga belum terjadi. Padahal UU.26 tahun 2007 Pasal 7, telah mengamanatkan penyelenggaraan penataan ruang untuk kepentingan kemakmuran rakyat. Yang terjadi, penguasaan dan penggunaan ruang oleh sekelompok korporasi dan pemilik modal justru begitu massif. Ketidakadilan dalam pemanfaatan ruang, akan menyebabkan timbulnya disparitas, yang pada gilirannya dapat melahirkan konflik dan perebutan ruang.
Dalam konteks teori Marxis, perebutan ruang dapat diartikan sebagai perebutan alat-alat produksi, antara kaum borjuis dengan kaum proletar. McKenzie menyebut proses perebutan ruang tersebut sebagai invasi atas ruang. Gesekan yang terjadi untuk mendapatkan dan menggunakan ruang, umumnya melibatkan berbagai unsur yang berkepentingan atas ruang tersebut. Menurut Patrick McAuslan, setidaknya melibatkan kepentingan pemerintah, korporasi dan rakyat. Ramlan Surbakti merinci pengelompokan pola perebutan ruang menjadi beberapa kategori, dalam tulisannya yang dikutip oleh Purnawan Basundoro pada buku “Merebut Ruang Kota”, antara lain: 1. Pemerintah dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan tanah yang tidak transparan, 2. Pemerintah dengan perusahaan swasta, akibat perusahaan menyerobot tanah milik pemerintah, 3. Warga dengan investor, 4. Pemerintah dengan warga karena pembangunan fasilitas umum, 5. Pemerintah dengan legislatif karena pengalihan lahan tanpa persetujuan kedua belah pihak, 6. Warga, investor dan pemerintah, 7. Warga dengan pengembang terkait pembangunan fasilitas umum di pemukiman, 8. Perebutan ruang karena prosedur administrasi yang salah. 
Bila ‘ruang’ sudah menjadi komoditas, maka yang diuntungkan sudah pasti adalah para kapitalis atau pemilik modal. Pertanyaannya, apakah akan kita biarkan hal ini terus berlangsung di depan mata kita? Mungkinkah Kebangkitan Nasional terjadi bila keadilan ruang tidak diwujudkan? Padahal, Tuhan telah menyuruh kita untuk menegakkan keadilan. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Mei 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...