Hal krusial
dalam kehidupan bermasyarakat pada ideologi dan dasar negara kita, yang terkait
dengan kemakmuran dan kesejahteraan adalah Sila Kelima Pancasila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.” Di tempat lain, penjelasan UUD 1945 Pasal 33, pun dengan lugas
disebutkan; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Relasi keduanya, secara
eksplisit bisa dimaknai bahwa proses pembangunan yang dilakukan, harus dapat
dirasakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun begitu, sudah jamak kita dengarkan
sejumlah informasi yang terungkap ke publik, bahwa justru yang terjadi adalah
mayoritas sumber daya alam kita masih dikuasai oleh segelintir orang di negeri
ini. lantas, bagaimana implementasi dari Sila Kelima itu?
Pertanyaan
mendasarnya, apa makna dari ‘keadilan’ tersebut? Dan akankah prinsip ‘keadilan’
ini bisa diwujudkan di negeri ini? Masalah keadilan menjadi begitu penting,
karena disamping menjadi sesuatu yang tidak mudah diwujudkan, juga banyak
bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Secara teologi Islam
pun, keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar untuk
diterapkan. Tuhan dengan tegas berfirman pada Surah An-Nahl 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku
adil dan berbuat kebajikan….” Lalu,
apa arti keadilan itu? Salah satu pengertian yang sederhana dari keadilan ialah
meletakkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Atau keadaan sesuatu yang
seimbang dan proporsional. Jadi, bila suatu masyarakat tertentu ingin tetap
bertahan dan berlangsung secara baik, maka masyarakat tersebut harus berada
dalam keadaan seimbang, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus
eksis dengan kadar yang semestinya,
bukan dengan kadar yang sama. Oleh karena itu, jika sistem pemerintahan yang
kita anut ini ditujukan untuk terciptanya keadilan sosial, maka dengan merujuk
berbagai aturan yang ada, proses pembangunan yang dijalankan mesti dipastikan
memberikan kesempatan yang adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh
ada, individu, golongan atau kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan dalam
penguasaan serta pemilikan sumber daya alam yang ada.
Sejumlah
fakta menunjukkan bahwa berbagai sumber daya alam kita, seperti sektor
kehutanan, perkebunan, pertambangan, pertanahan dan lainnya, justru dikuasai
oleh hanya beberapa korporasi serta pemilik modal besar. Ironisnya, data dari Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 2017, menyebutkan bahwa
di antara masalah pertanahan yang dihadapi adalah ketersediaan tanah untuk
pembangunan sangat terbatas serta terjadinya ketimpangan kepemilikan tanah. Hal
ini menegaskan, ternyata, keadilan terhadap ruang pun, nampaknya juga belum
terjadi. Padahal UU.26 tahun 2007 Pasal 7, telah mengamanatkan penyelenggaraan
penataan ruang untuk kepentingan kemakmuran rakyat. Yang terjadi, penguasaan
dan penggunaan ruang oleh sekelompok korporasi dan pemilik modal justru begitu
massif. Ketidakadilan dalam pemanfaatan ruang, akan menyebabkan timbulnya
disparitas, yang pada gilirannya dapat melahirkan konflik dan perebutan ruang.
Dalam
konteks teori Marxis, perebutan ruang dapat diartikan sebagai perebutan
alat-alat produksi, antara kaum borjuis dengan kaum proletar. McKenzie menyebut
proses perebutan ruang tersebut sebagai invasi atas ruang. Gesekan yang terjadi
untuk mendapatkan dan menggunakan ruang, umumnya melibatkan berbagai unsur yang
berkepentingan atas ruang tersebut. Menurut Patrick McAuslan, setidaknya
melibatkan kepentingan pemerintah, korporasi dan rakyat. Ramlan Surbakti
merinci pengelompokan pola perebutan ruang menjadi beberapa kategori, dalam
tulisannya yang dikutip oleh Purnawan Basundoro pada buku “Merebut Ruang Kota”,
antara lain: 1. Pemerintah dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan
tanah yang tidak transparan, 2. Pemerintah dengan perusahaan swasta, akibat
perusahaan menyerobot tanah milik pemerintah, 3. Warga dengan investor, 4.
Pemerintah dengan warga karena pembangunan fasilitas umum, 5. Pemerintah dengan
legislatif karena pengalihan lahan tanpa persetujuan kedua belah pihak, 6.
Warga, investor dan pemerintah, 7. Warga dengan pengembang terkait pembangunan
fasilitas umum di pemukiman, 8. Perebutan ruang karena prosedur administrasi
yang salah.
Bila ‘ruang’
sudah menjadi komoditas, maka yang diuntungkan sudah pasti adalah para
kapitalis atau pemilik modal. Pertanyaannya, apakah akan kita biarkan hal ini terus
berlangsung di depan mata kita? Mungkinkah Kebangkitan Nasional terjadi bila
keadilan ruang tidak diwujudkan? Padahal, Tuhan telah menyuruh kita untuk
menegakkan keadilan. Wallahu a’lam
bisshawab.
FAJAR
Makassar, Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar