Suatu saat, George Gerbner, pakar komunikasi dan kritikus budaya massa,
dengan penuh keyakinan berkomentar, media massa benar-benar telah menjadi
“agama resmi” masyarakat industri. Media massa telah turut memberi andil dalam memoles
kenyataan sosial, bahkan ikut memengaruhi perubahan bentuk masyarakat.
Mengingat betapa luasnya lingkungan pengaruh media, hingga kritikus media Goran
Hedebro sampai berujar, “Media adalah
pembentuk kesadaran sosial yang pada akhirnya menentukan persepsi orang
terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup.” Meskipun apa yang
disajikan belum tentu merupakan kenyataan yang sesungguhnya. Demikian
dinukil Yudi Latif dalam tulisannya mengenai Media Massa dan Pemiskinan
Imajinasi Sosial.
Realitas media sebenarnya semacam realitas buatan mereka yang ada di
balik media. Karena itu, dari media mungkin secara tidak sadar kita membangun
persepsi tentang realitas, dunia, atau fakta. Secara singkat, media telah
berperan dalam mengkonstruk atau membentuk bahkan merekayasa wacana (discourse)-nya sendiri. Media juga
berperan dalam melakukan eksploitasi tekstual terhadap krisis (the textual exploitation of crisis).
Kultur atau budaya kemasan media pada akhirnya menjadi kultur yang
sepenuhnya baru. Ia lahir dari polesan ideologis yang membangun struktur makna
peristiwa dunia, untuk kepentingan hegemoni pemilik dan pengendali media, dalam
hal ini tentu saja Barat. Kenyataan ini mengingatkan kita akan kritik yang
dilontarkan oleh para pendukung aliran Pascamodernisme (Postmodernist movement) bahwa media merupakan alat kontrol
ideologis yang ampuh dalam mengendalikan pikiran khalayak mengenai suatu
peristiwa.
Globalisasi yang melanda dunia di era pascamodern, dianggap menjadikan
media sebagai wadah hegemoni opini publik yang menanggung beban manipulatif dan
distortif terhadap realitas. Lihatlah apa yang digambarkan media Barat terhadap
dunia Islam, khususnya sejak peristiwa 11 September di gedung WTC Amerika
Serikat. Edward Said dalam buku “Covering
Islam” menceritakan bagaimana orang Barat secara berencana melukiskan Islam
dengan wajah yang sangat jelek. Yang digambarkan hanyalah seputar; darah,
terorisme atau sesuatu yang aneh-aneh. Gambaran negatif ini semakin menguat
saat bermunculannya kelompok-kelompok radikal di tubuh umat Islam, seperti
al-Qaeda, al-Nusra, Boko Haram, ISIS dan yang lainnya.
Di negeri kita pun, juga tidak luput dengan keberadaan kelompok radikal
semacam itu. Dan dengan memanfaatkan media pula, mereka secara proaktif
menyebarkan ajaran-ajarannya. Dalam konteks ini, Idi Subandy Ibrahim mengutip
Richard M. Restak yang mengatakan, “Media
massa telah ikut menciptakan keretakan yang tajam dalam kehidupan emosi kita.”
Coba kita perhatikan belakangan ini, betapa kekerasan atas nama agama sudah
begitu sering terjadi di sekitar kita.
Keberagamaan kita menjadi terusik, sehingga memunculkan pertanyaan.
Mengapa keberagamaan di negeri ini begitu cepat bergeser? Padahal dahulu
penyebar ajaran Islam datang dengan bersahaja, menyampaikan nilai-nilai
keberagamaan yang luhur, mulia dan damai. Sehingga terjadi persinggungan dengan
kultur serta budaya lokal, menjadikan sistem nilai Islam menyatu secara apik
dan harmoni.
Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, dengan munculnya sebuah entitas
baru yang saya sebut sebagai “NeoKhawarij”,
tiba-tiba saja merubah corak keberagamaan pada sebagian masyarakat kita. Umat
Islam yang tadinya memiliki sifat toleran, damai dan menebarkan rahmat, kini
lewat kelompok intoleran dan radikal ini, Islam terkadang muncul dengan wajah
yang beringas dan menakutkan. Bahkan, tidak jarang pula mereka melakukan
tindakan provokasi serta kekerasan. Provokasi dan kekerasan yang dilakukan bisa
jadi dilakukan secara verbal dengan cara menyebarkan tuduhan dan fitnah,
melalui media massa - khususnya media sosial – dan terkadang bahkan dengan
serangan secara fisik.
Karena itu, mungkin ada betulnya apa yang dikatakan oleh Prof.
Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa, “Dulu tidak pernah ada konflik mazhab di
Indonesia, karena Islam Indonesia adalah Islam yang damai dan toleran. Pasca
reformasi, agama kemudian menjadi bagian dari manipulasi politik oleh
pihak-pihak yang ingin mencari pengikut sebanyak-banyaknya.”
Lantas, bagaimana ciri dan sifat dari gerakan Neo Khawarij? Ciri utama dari kelompok ini adalah merasa diri
paling benar dan sangat mudah menganggap orang atau kelompok lain sebagai
pelaku bid’ah, sesat dan kafir. Hal ini boleh jadi disebabkan karena pemahaman
mereka yang formalistis dan terlalu kaku dalam hubungan sosial, utamanya kepada
sesama kaum Muslimin.
Penulis tafsir Al-Misbah,
Prof.Dr.Quraish Shihab mengatakan, “Banyak
di antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang
memadai, tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, kemudian merasa dirinya
paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain.”
Dr.Jalaluddin Rakhmat mengabarkan lewat tulisannya bahwa pada sekitar
pertengahan tahun 1990 di sebuah media cetak, Muhammad Maududi menuding Khawarijisme sebagai biang kerok
pecahnya ukhuwah Islamiah. Sebagai
golongan, kaum Khawarij memang sudah
lama punah, tetapi sebagai aliran pemikiran, Khawarijisme masih ada. Maududi menulis, “Khawarij tidak pernah masuk ke Indonesia, karena keburu punah. Tetapi
karakteristiknya dijadikan model kefanatikan mazhab yang ada di Indonesia.”
Dengan kondisi begitu, umat Islam akan terperosok dalam kotak-kotak
mazhab yang sempit. Perbedaan paham dianggap tabu, yang pahamnya tidak sama
dianggap sesat. Umat Islam tidak lagi belajar dari seluruh pelosok bumi, bahkan
tidak mau belajar dari saudara mereka sendiri yang bermazhab lain. Yang benar
hanyalah mazhabnya. Semua masuk neraka kecuali mazhabnya saja.
Ajaran dengan corak seperti itu memang terasa asing di negeri ini yang
begitu menghargai ke-Bhinneka-an, sehingga dalam Undang-Undang Dasar (UUD)
dituangkan pasal mengenai kebebasan dalam menjalankan keyakinan dan ajaran
agama masing-masing sebagai hak setiap warga negara. Oleh sebab itu, tidak
boleh ada orang atau kelompok yang bisa melakukan “razia” terhadap keyakinan
seseorang di negeri ini.
Untuk meretas persoalan ini, maka jalan keterbukaan dan saling memahami
menjadi pilihannya. Karena sesungguhnya, Islam adalah agama yang mengajarkan
keterbukaan. Rasulullah SAW kepada sahabat sekaligus muridnya Sayyidina Ali bin
Abi Thalib Kw berkata, “Hikmah itu barang
berharga yang hilang dari seorang mukmin. Karena itu di mana pun orang Mukmin
menemukan hikmah, maka akan memungutnya. Ambillah hikmah itu, walaupun dari
orang munafik!” Atau dalam ungkapan yang lain Nabi yang mulia berkata, “Ambillah hikmah, dan jangan merisaukan kamu
dari mana hikmah itu keluar.”
Anjuran inilah yang menyebabkan umat Islam terdahulu tidak ragu-ragu
menghirup ilmu dari Yunani, Persia dan India. Lalu, bagaimana dengan kita
sekarang ini. Sudikah kita biarkan umat Islam di negeri ini terpuruk oleh
kampanye dari kelompok NeoKhawarij
itu yang menebarkan ajaran yang asing, yang akan memecah belah kita sebagai
sebuah bangsa?
Makassar,
September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar