Sabtu, 23 Maret 2019

MEDIA MASSA dan NEOKHAWARIJ


Suatu saat, George Gerbner, pakar komunikasi dan kritikus budaya massa, dengan penuh keyakinan berkomentar, media massa benar-benar telah menjadi “agama resmi” masyarakat industri. Media massa telah turut memberi andil dalam memoles kenyataan sosial, bahkan ikut memengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Mengingat betapa luasnya lingkungan pengaruh media, hingga kritikus media Goran Hedebro sampai berujar, “Media adalah pembentuk kesadaran sosial yang pada akhirnya menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup.” Meskipun apa yang disajikan belum tentu merupakan kenyataan yang sesungguhnya.     Demikian dinukil Yudi Latif dalam tulisannya mengenai Media Massa dan Pemiskinan Imajinasi Sosial.
Realitas media sebenarnya semacam realitas buatan mereka yang ada di balik media. Karena itu, dari media mungkin secara tidak sadar kita membangun persepsi tentang realitas, dunia, atau fakta. Secara singkat, media telah berperan dalam mengkonstruk atau membentuk bahkan merekayasa wacana (discourse)-nya sendiri. Media juga berperan dalam melakukan eksploitasi tekstual terhadap krisis (the textual exploitation of crisis).
Kultur atau budaya kemasan media pada akhirnya menjadi kultur yang sepenuhnya baru. Ia lahir dari polesan ideologis yang membangun struktur makna peristiwa dunia, untuk kepentingan hegemoni pemilik dan pengendali media, dalam hal ini tentu saja Barat. Kenyataan ini mengingatkan kita akan kritik yang dilontarkan oleh para pendukung aliran Pascamodernisme (Postmodernist movement) bahwa media merupakan alat kontrol ideologis yang ampuh dalam mengendalikan pikiran khalayak mengenai suatu peristiwa.
Globalisasi yang melanda dunia di era pascamodern, dianggap menjadikan media sebagai wadah hegemoni opini publik yang menanggung beban manipulatif dan distortif terhadap realitas. Lihatlah apa yang digambarkan media Barat terhadap dunia Islam, khususnya sejak peristiwa 11 September di gedung WTC Amerika Serikat. Edward Said dalam buku “Covering Islam” menceritakan bagaimana orang Barat secara berencana melukiskan Islam dengan wajah yang sangat jelek. Yang digambarkan hanyalah seputar; darah, terorisme atau sesuatu yang aneh-aneh. Gambaran negatif ini semakin menguat saat bermunculannya kelompok-kelompok radikal di tubuh umat Islam, seperti al-Qaeda, al-Nusra, Boko Haram, ISIS dan yang lainnya.
Di negeri kita pun, juga tidak luput dengan keberadaan kelompok radikal semacam itu. Dan dengan memanfaatkan media pula, mereka secara proaktif menyebarkan ajaran-ajarannya. Dalam konteks ini, Idi Subandy Ibrahim mengutip Richard M. Restak yang mengatakan, “Media massa telah ikut menciptakan keretakan yang tajam dalam kehidupan emosi kita.” Coba kita perhatikan belakangan ini, betapa kekerasan atas nama agama sudah begitu sering terjadi di sekitar kita.
Keberagamaan kita menjadi terusik, sehingga memunculkan pertanyaan. Mengapa keberagamaan di negeri ini begitu cepat bergeser? Padahal dahulu penyebar ajaran Islam datang dengan bersahaja, menyampaikan nilai-nilai keberagamaan yang luhur, mulia dan damai. Sehingga terjadi persinggungan dengan kultur serta budaya lokal, menjadikan sistem nilai Islam menyatu secara apik dan harmoni.
Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, dengan munculnya sebuah entitas baru yang saya sebut sebagai “NeoKhawarij”, tiba-tiba saja merubah corak keberagamaan pada sebagian masyarakat kita. Umat Islam yang tadinya memiliki sifat toleran, damai dan menebarkan rahmat, kini lewat kelompok intoleran dan radikal ini, Islam terkadang muncul dengan wajah yang beringas dan menakutkan. Bahkan, tidak jarang pula mereka melakukan tindakan provokasi serta kekerasan. Provokasi dan kekerasan yang dilakukan bisa jadi dilakukan secara verbal dengan cara menyebarkan tuduhan dan fitnah, melalui media massa - khususnya media sosial – dan terkadang bahkan dengan serangan secara fisik.
Karena itu, mungkin ada betulnya apa yang dikatakan oleh Prof. Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa, “Dulu tidak pernah ada konflik mazhab di Indonesia, karena Islam Indonesia adalah Islam yang damai dan toleran. Pasca reformasi, agama kemudian menjadi bagian dari manipulasi politik oleh pihak-pihak yang ingin mencari pengikut sebanyak-banyaknya.”
Lantas, bagaimana ciri dan sifat dari gerakan Neo Khawarij? Ciri utama dari kelompok ini adalah merasa diri paling benar dan sangat mudah menganggap orang atau kelompok lain sebagai pelaku bid’ah, sesat dan kafir. Hal ini boleh jadi disebabkan karena pemahaman mereka yang formalistis dan terlalu kaku dalam hubungan sosial, utamanya kepada sesama kaum Muslimin.
Penulis tafsir Al-Misbah, Prof.Dr.Quraish Shihab mengatakan, “Banyak di antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang memadai, tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, kemudian merasa dirinya paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain.”
Dr.Jalaluddin Rakhmat mengabarkan lewat tulisannya bahwa pada sekitar pertengahan tahun 1990 di sebuah media cetak, Muhammad Maududi menuding Khawarijisme sebagai biang kerok pecahnya ukhuwah Islamiah. Sebagai golongan, kaum Khawarij memang sudah lama punah, tetapi sebagai aliran pemikiran, Khawarijisme masih ada. Maududi menulis, “Khawarij tidak pernah masuk ke Indonesia, karena keburu punah. Tetapi karakteristiknya dijadikan model kefanatikan mazhab yang ada di Indonesia.”
Dengan kondisi begitu, umat Islam akan terperosok dalam kotak-kotak mazhab yang sempit. Perbedaan paham dianggap tabu, yang pahamnya tidak sama dianggap sesat. Umat Islam tidak lagi belajar dari seluruh pelosok bumi, bahkan tidak mau belajar dari saudara mereka sendiri yang bermazhab lain. Yang benar hanyalah mazhabnya. Semua masuk neraka kecuali mazhabnya saja.
Ajaran dengan corak seperti itu memang terasa asing di negeri ini yang begitu menghargai ke-Bhinneka-an, sehingga dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dituangkan pasal mengenai kebebasan dalam menjalankan keyakinan dan ajaran agama masing-masing sebagai hak setiap warga negara. Oleh sebab itu, tidak boleh ada orang atau kelompok yang bisa melakukan “razia” terhadap keyakinan seseorang di negeri ini.
Untuk meretas persoalan ini, maka jalan keterbukaan dan saling memahami menjadi pilihannya. Karena sesungguhnya, Islam adalah agama yang mengajarkan keterbukaan. Rasulullah SAW kepada sahabat sekaligus muridnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw berkata, “Hikmah itu barang berharga yang hilang dari seorang mukmin. Karena itu di mana pun orang Mukmin menemukan hikmah, maka akan memungutnya. Ambillah hikmah itu, walaupun dari orang munafik!” Atau dalam ungkapan yang lain Nabi yang mulia berkata, “Ambillah hikmah, dan jangan merisaukan kamu dari mana hikmah itu keluar.”
Anjuran inilah yang menyebabkan umat Islam terdahulu tidak ragu-ragu menghirup ilmu dari Yunani, Persia dan India. Lalu, bagaimana dengan kita sekarang ini. Sudikah kita biarkan umat Islam di negeri ini terpuruk oleh kampanye dari kelompok NeoKhawarij itu yang menebarkan ajaran yang asing, yang akan memecah belah kita sebagai sebuah bangsa?
Makassar, September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...