Beberapa
tahun terakhir ini, kondisi keberagamaan kaum Muslimin di negeri tercinta
Indonesia, sedikit terusik dengan munculnya sejumlah kelompok dari kalangan
umat Islam sendiri, yang dengan massif menyebarkan ajaran intoleran dan
kebencian. Seketika wajah Islam nusantara yang teduh, damai, toleran serta
menghargai keragaman menjadi ternodai.
Padahal,
bila kita melacak sejarah masuknya Islam di tanah air, maka dapat dikatakan
bahwa tidak akan pernah dapat kita temukan adanya jejak Islam yang radikal,
Islam yang menebarkan kebencian. Sebab ajaran seperti itu, tidak diajarkan
dalam Islam, tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, keluarganya maupun
sahabat-sahabatnya serta tidak pula dilakukan oleh pemuka-pemuka agama
terdahulu.
Para
penyebar Islam dahulu, melakukan tugas dakwahnya betul-betul menggunakan prinsip-prinsip nilai Al-Quran,
sehingga mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Karena itu, tulisan
ini bermaksud mengenalkan sosok yang cukup berpengaruh dalam perkembangan
Islam, khususnya pada wilayah Tanah Mandar Sulawesi Barat, yang beberapa waktu
lalu diperingati haulnya yang ke-83 pada 8 April 2017.
Riwayat Singkat
Habib Alwi
bin Abdullah dilahirkan di Lasem, sebuah daerah di Jawa Tengah, tahun 1835.
Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Husein bin Sahl dan ibunya bernama Raden Ayu Habibah al-Munawwar, putri dari
Pati Lasem. Ia lebih dikenal dengan sebutan Puang Towa (orang yang
dituakan/panutan). Datuk dan leluhurnya berasal dari Kota Tarim Hadhramaut.
Seperti diketahui, Kota Tarim merupakan tanah kelahiran Sadah Bani Alawi, keturunan Ahlul Bait atau keluarga besar
Rasulullah SAW.
Awal mula
pendidikan agamanya, berada dalam tempaan sang ayah di daerah kelahirannya.
Lalu kemudian berangkat ke Hadhramaut dan Mekah untuk mendalami ajaran Islam.
Setelah kembali dari Hadhramaut, selanjutnya Habib Alwi bin Sahl memulai
perjalanan dakwahnya ke berbagai daerah, di antaranya daerah Sumbawa (Nusa
Tenggara Barat) dan daerah Mandar (Sulawesi Barat).
Pertama kali
tiba di tanah Mandar sekitar tahun 1859 di daerah Manjopai dan Pambusuang.
Daerah lainnya yang didatangi oleh Sayyid Alwi adalah Campalagian pada sekitar
tahun 1898. Beliau berhasil mencetak penerus dakwahnya seperti Imam Lapeo (KH.
Muhammad Thohir) yang sangat populer sebagai ulama tasawuf dan tarekat di Tanah
Mandar serta juga lewat putranya sendiri; Sayyid Hasan bin Alwi bin Sahl,
Sayyid Husein bin Alwi bin Sahl dan Sayyid Muhsen bin Alwi bin Sahl.
Dakwah dan Sikap Keberagamaan
Saat
menjalankan tugas dakwahnya, Habib Alwi sepertinya lebih banyak melakukan
penyebaran ajaran Islam kepada masyarakat melalui pemahaman tasawuf dan
tarekat, khususnya thoriqoh Ba’alawi.
Karena melalui metode keduanya, Habib Alwi dapat menyampaikan ajaran Islam yang
substantif, sejuk dan damai, yang kesemuanya memanifestasikan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin. Ini sangat berbeda
sikapnya dengan mereka yang memahami ajaran Islam secara skripturalis. Yang
memahami agama lewat teks-teks yang sifatnya lahiriah. Sehingga sulit sampai
pada pemahaman tentang nilai-nilai ajaran Islam yang substantif.
Dengan latar
pemahaman seperti disebutkan, maka dengan sendirinya membentuk dan mempengaruhi kepribadian Habib
Alwi, selanjutnya tercermin pada corak dan sikap keberagamaan yang ditampilkan
saat menjalankan tugas tabligh dan dakwahnya kepada masyarakat.
Yang
dipraktekkan adalah cara beragama yang sifatnya intrinsik, demikian Jalaluddin
Rakhmat menyebut dalam “Islam Alternatif”-nya. Sebuah model beragama yang
dianggap dapat menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian pada masyarakat. Di mana
nilai-nilai ajaran agama terhunjam ke dalam diri penganutnya. Melalui cara
seperti itu, seseorang akan mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih
sayang.
Jadi, agama
dipandang sebagai comprehensive
commitment, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Sebaliknya, keberagamaan
yang ekstrinsik, ialah saat agama
digunakan untuk menunjang motif-motif lain serta melaksanakan bentuk-bentuk
luar dari agama tetapi tidak pada bagian dalamnya. Sehingga, menurut Psikolog
Gordon W.Allport, cara beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan
penyakit mental. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa cara beragama semacam
ini, tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Namun sebaliknya,
yang akan muncul adalah kebencian, dengki dan fitnah yang akan terus
berlangsung.
Jika
memperhatikan perjalanan kehidupan Sang Habib, maka hal semacam itu tidak
terjadi, karena proses pematangan telah berlangsung pada diri beliau, baik dari
sisi keilmuan, ruhani dan akhlak. Di usia yang masih relatif muda ketika itu,
Habib Alwi bin Sahl sudah melakukan tugas dakwah ke berbagai daerah. Beliau
tiba di Tanah Mandar pada usia 24 tahun dan berdakwah selama kurang lebih 75
tahun hingga wafat di usia 99 tahun.
Dalam
menjalankan tugas dakwahnya, ia berpijak
pada prinsip dan metode yang diajarkan oleh Al-Quran, sebagaimana tercantum
dalam Surah An-Nahl ayat 125. Khususnya, pada dua terma yang sangat penting,
yaitu; al-Hikmah dan al-Mau’izhah al-Hasanah. Menurut Az-Zamakhsyari
dalam al-Kasysyaf-nya menyebutkan, “Al-Hikmah adalah perkataan yang pasti
benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan
atau kesamaran.” Sedangkan al-Mau’izhah al-Hasanah adalah sesuatu
yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan
dengan penuh kelembutan. Sebab, kelemahlembutan dalam menasihati seringkali
dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.
Lebih
daripada itu, sesungguhnya lemah lembut dan sikap penuh kasih dan sayang –
dalam konteks dakwah – dapat membuat seseorang merasa dihargai kemanusiaannya
sehingga membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Dengan nilai
itu, beliau membangun hubungan dengan umat menjadi lebih dekat, lewat sistem pengajaran
dalam bentuk halaqah, baik di masjid,
rumah ke rumah, maupun masyarakat yang datang langsung kepada Habib Alwi untuk
bertanya seputar ajaran Islam.
Lalu,
seperti apa teladan dari peran Nabi Muhammad SAW sebagai juru dakwah? Al-Quran
menyebutkan, “Katakan (olehmu Muhammad),
inilah jalan hidupku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
menuju Allah dengan penglihatan yang terang. Maha suci Allah, dan aku tidak
termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS.Yusuf:108). Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Turmudzi, Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai muballigh”, redaksi yang
lain dari Ibnu Majah menyebutkan, “Sesungguhnya,
aku diutus sebagai pendidik.”
Merujuk
nash-nash tersebut, maka sejatinya para pendakwah mesti mengikuti dan
meneladani Rasulullah sebagai pendakwah sejati dan paling paripurna. Beliau berhasil
merealisasikan seluruh idealita ajaran Islam, sehingga disebut sebagai Al-Quran
yang berjalan. Artinya semua nilai-nilai kemuliaan dan akhlak agung sudah menjelma
dalam dirinya. Dan karena itulah, sebagai model untuk orang yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan, Allah menjadikannya sebagai Uswatun Hasanah (QS.Al-Ahzab:21).
Dakwah
merupakan tugas Nabi dan pengikut para Nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah sebuah
usaha besar dalam rangka membentuk peradaban manusia. Dan sepertinya, Habib
Alwi bin Abdullah bin Sahl Jamalullail telah membuktikan kalau ia telah
mengikuti jejak-jejak leluhurnya dan terutama datuknya Rasulullah SAW, dalam
membangun peradaban di Tanah Mandar. Sebagai generasi muda Islam, kita perlu
banyak mengenal sosok sepeti Habib Alwi ini, agar bisa mencontoh serta
mengikuti jejaknya dalam menyampaikan pesan-pesan Islam yang substansial,
dengan cara damai dan menyejukkan.
Makassar, April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar