Sabtu, 23 Maret 2019

Belajar Sikap Keberagamaan Dari Shohibul Mandar


Beberapa tahun terakhir ini, kondisi keberagamaan kaum Muslimin di negeri tercinta Indonesia, sedikit terusik dengan munculnya sejumlah kelompok dari kalangan umat Islam sendiri, yang dengan massif menyebarkan ajaran intoleran dan kebencian. Seketika wajah Islam nusantara yang teduh, damai, toleran serta menghargai keragaman menjadi ternodai.
Padahal, bila kita melacak sejarah masuknya Islam di tanah air, maka dapat dikatakan bahwa tidak akan pernah dapat kita temukan adanya jejak Islam yang radikal, Islam yang menebarkan kebencian. Sebab ajaran seperti itu, tidak diajarkan dalam Islam, tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, keluarganya maupun sahabat-sahabatnya serta tidak pula dilakukan oleh pemuka-pemuka agama terdahulu. 
Para penyebar Islam dahulu, melakukan tugas dakwahnya betul-betul  menggunakan prinsip-prinsip nilai Al-Quran, sehingga mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Karena itu, tulisan ini bermaksud mengenalkan sosok yang cukup berpengaruh dalam perkembangan Islam, khususnya pada wilayah Tanah Mandar Sulawesi Barat, yang beberapa waktu lalu diperingati haulnya yang ke-83 pada 8 April 2017.
Riwayat Singkat
Habib Alwi bin Abdullah dilahirkan di Lasem, sebuah daerah di Jawa Tengah, tahun 1835. Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Husein bin Sahl dan ibunya bernama  Raden Ayu Habibah al-Munawwar, putri dari Pati Lasem. Ia lebih dikenal dengan sebutan Puang Towa (orang yang dituakan/panutan). Datuk dan leluhurnya berasal dari Kota Tarim Hadhramaut. Seperti diketahui, Kota Tarim merupakan tanah kelahiran Sadah Bani Alawi, keturunan Ahlul Bait atau keluarga besar Rasulullah SAW.
Awal mula pendidikan agamanya, berada dalam tempaan sang ayah di daerah kelahirannya. Lalu kemudian berangkat ke Hadhramaut dan Mekah untuk mendalami ajaran Islam. Setelah kembali dari Hadhramaut, selanjutnya Habib Alwi bin Sahl memulai perjalanan dakwahnya ke berbagai daerah, di antaranya daerah Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan daerah Mandar (Sulawesi Barat).
Pertama kali tiba di tanah Mandar sekitar tahun 1859 di daerah Manjopai dan Pambusuang. Daerah lainnya yang didatangi oleh Sayyid Alwi adalah Campalagian pada sekitar tahun 1898. Beliau berhasil mencetak penerus dakwahnya seperti Imam Lapeo (KH. Muhammad Thohir) yang sangat populer sebagai ulama tasawuf dan tarekat di Tanah Mandar serta juga lewat putranya sendiri; Sayyid Hasan bin Alwi bin Sahl, Sayyid Husein bin Alwi bin Sahl dan Sayyid Muhsen bin Alwi bin Sahl.   
Dakwah dan Sikap Keberagamaan
Saat menjalankan tugas dakwahnya, Habib Alwi sepertinya lebih banyak melakukan penyebaran ajaran Islam kepada masyarakat melalui pemahaman tasawuf dan tarekat, khususnya thoriqoh Ba’alawi. Karena melalui metode keduanya, Habib Alwi dapat menyampaikan ajaran Islam yang substantif, sejuk dan damai, yang kesemuanya memanifestasikan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin. Ini sangat berbeda sikapnya dengan mereka yang memahami ajaran Islam secara skripturalis. Yang memahami agama lewat teks-teks yang sifatnya lahiriah. Sehingga sulit sampai pada pemahaman tentang nilai-nilai ajaran Islam yang substantif.
Dengan latar pemahaman seperti disebutkan, maka dengan sendirinya  membentuk dan mempengaruhi kepribadian Habib Alwi, selanjutnya tercermin pada corak dan sikap keberagamaan yang ditampilkan saat menjalankan tugas tabligh dan dakwahnya kepada masyarakat.
Yang dipraktekkan adalah cara beragama yang sifatnya intrinsik, demikian Jalaluddin Rakhmat menyebut dalam “Islam Alternatif”-nya. Sebuah model beragama yang dianggap dapat menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian pada masyarakat. Di mana nilai-nilai ajaran agama terhunjam ke dalam diri penganutnya. Melalui cara seperti itu, seseorang akan mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang.
Jadi, agama dipandang sebagai comprehensive commitment, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Sebaliknya, keberagamaan yang ekstrinsik,   ialah saat agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain serta melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama tetapi tidak pada bagian dalamnya. Sehingga, menurut Psikolog Gordon W.Allport, cara beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan penyakit mental. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa cara beragama semacam ini, tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Namun sebaliknya, yang akan muncul adalah kebencian, dengki dan fitnah yang akan terus berlangsung.
Jika memperhatikan perjalanan kehidupan Sang Habib, maka hal semacam itu tidak terjadi, karena proses pematangan telah berlangsung pada diri beliau, baik dari sisi keilmuan, ruhani dan akhlak. Di usia yang masih relatif muda ketika itu, Habib Alwi bin Sahl sudah melakukan tugas dakwah ke berbagai daerah. Beliau tiba di Tanah Mandar pada usia 24 tahun dan berdakwah selama kurang lebih 75 tahun hingga wafat di usia 99 tahun.
Dalam menjalankan tugas dakwahnya, ia  berpijak pada prinsip dan metode yang diajarkan oleh Al-Quran, sebagaimana tercantum dalam Surah An-Nahl ayat 125. Khususnya, pada dua terma yang sangat penting, yaitu; al-Hikmah dan al-Mau’izhah al-Hasanah. Menurut Az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf-nya menyebutkan, “Al-Hikmah adalah perkataan yang pasti benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.”  Sedangkan al-Mau’izhah al-Hasanah adalah sesuatu yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan. Sebab, kelemahlembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.
Lebih daripada itu, sesungguhnya lemah lembut dan sikap penuh kasih dan sayang – dalam konteks dakwah – dapat membuat seseorang merasa dihargai kemanusiaannya sehingga membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Dengan nilai itu, beliau membangun hubungan dengan umat menjadi lebih dekat, lewat sistem pengajaran dalam bentuk halaqah, baik di masjid, rumah ke rumah, maupun masyarakat yang datang langsung kepada Habib Alwi untuk bertanya seputar ajaran Islam.
Lalu, seperti apa teladan dari peran Nabi Muhammad SAW sebagai juru dakwah? Al-Quran menyebutkan, “Katakan (olehmu Muhammad), inilah jalan hidupku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) menuju Allah dengan penglihatan yang terang. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS.Yusuf:108). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi, Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai muballigh”, redaksi yang lain dari Ibnu Majah menyebutkan, “Sesungguhnya, aku diutus sebagai pendidik.”
Merujuk nash-nash tersebut, maka sejatinya para pendakwah mesti mengikuti dan meneladani Rasulullah sebagai pendakwah sejati dan paling paripurna. Beliau berhasil merealisasikan seluruh idealita ajaran Islam, sehingga disebut sebagai Al-Quran yang berjalan. Artinya semua nilai-nilai kemuliaan dan akhlak agung sudah menjelma dalam dirinya. Dan karena itulah, sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Allah menjadikannya sebagai Uswatun Hasanah (QS.Al-Ahzab:21).
Dakwah merupakan tugas Nabi dan pengikut para Nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah sebuah usaha besar dalam rangka membentuk peradaban manusia. Dan sepertinya, Habib Alwi bin Abdullah bin Sahl Jamalullail telah membuktikan kalau ia telah mengikuti jejak-jejak leluhurnya dan terutama datuknya Rasulullah SAW, dalam membangun peradaban di Tanah Mandar. Sebagai generasi muda Islam, kita perlu banyak mengenal sosok sepeti Habib Alwi ini, agar bisa mencontoh serta mengikuti jejaknya dalam menyampaikan pesan-pesan Islam yang substansial, dengan cara damai dan menyejukkan.
Makassar, April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...