Sabtu, 23 Maret 2019

Peran Cendekiawan Muslim Di Era Informasi

Dalam era seperti sekarang ini, di mana kemajuan teknologi informasi begitu pesat, maka peran kaum intelektual atau cendekiawan Muslim sangatlah penting, khususnya dalam kaitannya dengan upaya transformasi nilai-nilai di tengah-tengah masyarakat. Struktur dalam masyarakat bagi Ali Syariati, sosiolog dari Iran, diibaratkan  seperti sebuah kerucut. Pada bagian paling bawah ada massa rakyat yang banyak, sementara di atas ada kelompok elit. Kaum ‘intelektual’ menghuni wilayah kerucut paling atas, bergabung dengan kelompok elit lainnya dari kaum yang berbeda. Mereka tidak pernah bergabung dengan masa rakyat, akan tetapi selalu berada bersama kelompok elit, bahu-membahu memelihara stabilitas status quo. Di luar kelompok tadi, pada setiap zaman ada sekelompok orang yang tidak dapat dimasukkan pada kelompok massa karena pengetahuannya yang tinggi, akan tetapi, tidak bisa juga digabungkan kepada kelompok elit karena sikapnya yang kritis dalam menampilkan gagasan-gagasan. Mereka menyimpang dari mainstream, melenceng dari Zeitgeist dari nada zamannya. Inilah kaum cendekiawan yang tercerahkan atau intelektual sejati.
Yang menjadi problem dan mengkhawatirkan adalah munculnya belakangan sejumlah lembaga serta individu-individu yang disebut atau mengklaim diri sebagai intelektual, cendekiawan, ulama muda dan sebagainya, akan tetapi tidak berperilaku sebagaimana layaknya sebutan ‘mulia’ tersebut. Kehadirannya, alih-alih memberikan pencerahan, justru berpotensi menimbulkan konflik sosial dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Mengapa? Karena dalam berbagai kasus serta peristiwa, sering kali mereka yang menjadi sumber penyampaian dan penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Padahal sebagai cendekiawan atau intelektual Muslim, sudah seharusnya seseorang melakukan konfirmasi dan pengecekan, dengan mencari kejelasan terhadap sesuatu hal sebelum menyampaikannya. Dalam Al-Quran kita diingatkan oleh firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka selidikilah berita itu, supaya kamu tidak menimpakan kecelakaan kepada suatu kaum karena ketidaktahuan (kebodohan) kamu, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Dalam bukunya Islam Aktual, Dr.Jalaluddin Rakhmat bercerita tentang sosok Al-Walid bin Uqbah. Nah, ayat ke-6 dari surah Al-Hujurat di atas, turun berkenaan dengan Al-Walid tersebut. Waktu itu Rasulullah SAW menyuruhnya menjadi penagih zakat buat Bani Musthaliq. Setelah sampai, dia melihat orang sudah kumpul untuk zakat. Tapi kemudian, dia buru-buru kembali dan menyampaikan pada Rasulullah bahwa Bani Musthaliq murtad, mereka tidak mau bayar zakat dan sedang mempersiapkan pemberontakan. Sehingga Rasulullah nyaris mengambil keputusan yang keras terhadap Bani Musthaliq untuk mengerahkan kekuatan. Tetapi kemudian turunlah ayat tersebut di atas.
Pada peristiwa lainnya, suatu hari terjadi perdebatan antara Al-Walid dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kata Al-Walid: “Ana asyja’u minka janana wa athwalu minka lisana, Aku mempunyai hati yang lebih berani dari kamu dan lidah yang lebih panjang dari kamu.” Sayyidina Ali menukas pendek: “Ana mu’min wa anta fasiq, Saya Mukmin dan engkau fasik!” Peristiwa ini menjadi asbabun nuzul turunnya ayat 18 surah As-Sajadah, “Apakah sama orang Mukmin dan orang fasik? Mereka tidak sama.”
Al-Quran menyebut kebanggaannya memiliki lidah yang paling panjang itu, sebagai salah satu ciri orang fasik. Dan bahwa keberanian orang fasik adalah “menyebarkan informasi paling palsu sekalipun.” Jadi kalau berbohong, panjang sekali bohongnya. Kalau perlu kebohongan itu dimanage dan disebarkan. Al-Walid merupakan personifikasi orang yang menyebarkan informasi yang sudah didistorsi dan bisa menimbulkan kerusakan pada suatu kelompok di kalangan kaum Muslimin.
Sekarang ini yang merisaukan kita, adalah bermunculannya Al-Walid-Al-Walid baru dalam era informasi, di mana mereka menggunakan media-media massa. Karena itulah, dalam konteks ini, intelektual atau cendekiawan Muslim sebagai homes engages, manusia yang terikat dengan kewajiban menerapkan nilai-nilai, memiliki peran strategis yang sangat penting, di antaranya :
·       Mengembangkan sikap untuk selalu tabayyun (meneliti) informasi, mengelola informasi sebaik-baiknya dan tidak cepat-cepat menjatuhkan vonis berdasarkan data yang sangat tidak lengkap. Karena kata Al-Quran, “nanti kamu menyesal, kamu rugi kehilangan sesama kaum Muslimin yang seharusnya kamu jadikan aset, tapi kamu malah jadikan kerugian.”
·       Menyebarkan informasi yang benar. Ajaran Islam mengajarkan kepada kita, bahwa berbicara yang benar, adalah prasyarat untuk kebenaran serta kebaikan amal dan perbuatan kita. Alfred Korzybski menyebutkan bahwa penyakit jiwa timbul karena menggunakan bahasa yang tidak benar. Al-Quran pada surah Al-Ahzab 70-71 menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan bicaralah dengan perkataan yang benar, nanti Allah perbaiki seluruh amal-amal kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu.” Dalam dimensi lain, pesan dan informasi yang disampaikan, haruslah berupa ucapan yang jujur dan tidak bohong. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jauhilah dusta, karena dusta membawa kamu kepada dosa, dan dosa membawa kamu kepada neraka. Lazimkanlah berkata jujur, karena jujur membawa kamu kepada kebajikan dan membawa kamu kepada surga.” Jadi, seorang cendekiawan harus menyebarkan informasi yang tidak salah dan tidak bohong.
·       Mengembangkan keterbukaan dan sikap kritis. Seorang cendekiawan harus bersikap terbuka (yastamiunal qaul) dan berpikir kritis (fayattabiuna ahsana). Karena tanpa sikap kritis kita akan menjadi peniru-peniru buta. Allah SWT berfirman dalam surah Az-Zumar ayat 18, “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.”
Demikianlah sekelumit dari peran yang dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh para cendekiawan dan intelektual Muslim, agar mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kaum muslimin.
Makassar, September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...