Dalam era
seperti sekarang ini, di mana kemajuan teknologi informasi begitu pesat, maka
peran kaum intelektual atau cendekiawan Muslim sangatlah penting, khususnya
dalam kaitannya dengan upaya transformasi nilai-nilai di tengah-tengah
masyarakat. Struktur dalam masyarakat bagi Ali Syariati, sosiolog dari Iran,
diibaratkan seperti sebuah kerucut. Pada
bagian paling bawah ada massa rakyat yang banyak, sementara di atas ada
kelompok elit. Kaum ‘intelektual’ menghuni wilayah kerucut paling atas,
bergabung dengan kelompok elit lainnya dari kaum yang berbeda. Mereka tidak
pernah bergabung dengan masa rakyat, akan tetapi selalu berada bersama kelompok
elit, bahu-membahu memelihara stabilitas status
quo. Di luar kelompok tadi, pada setiap zaman ada sekelompok orang yang
tidak dapat dimasukkan pada kelompok massa karena pengetahuannya yang tinggi,
akan tetapi, tidak bisa juga digabungkan kepada kelompok elit karena sikapnya
yang kritis dalam menampilkan gagasan-gagasan. Mereka menyimpang dari mainstream, melenceng dari Zeitgeist dari nada zamannya. Inilah
kaum cendekiawan yang tercerahkan atau intelektual sejati.
Yang menjadi
problem dan mengkhawatirkan adalah munculnya belakangan sejumlah lembaga serta
individu-individu yang disebut atau mengklaim diri sebagai intelektual,
cendekiawan, ulama muda dan sebagainya, akan tetapi tidak berperilaku
sebagaimana layaknya sebutan ‘mulia’ tersebut. Kehadirannya, alih-alih
memberikan pencerahan, justru berpotensi menimbulkan konflik sosial dan
perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Mengapa? Karena dalam berbagai kasus
serta peristiwa, sering kali mereka yang menjadi sumber penyampaian dan
penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Padahal
sebagai cendekiawan atau intelektual Muslim, sudah seharusnya seseorang
melakukan konfirmasi dan pengecekan, dengan mencari kejelasan terhadap sesuatu
hal sebelum menyampaikannya. Dalam Al-Quran kita diingatkan oleh firman Allah
SWT, “Wahai orang-orang yang beriman,
apabila datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka selidikilah berita
itu, supaya kamu tidak menimpakan kecelakaan kepada suatu kaum karena
ketidaktahuan (kebodohan) kamu, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Dalam
bukunya Islam Aktual, Dr.Jalaluddin Rakhmat bercerita tentang sosok Al-Walid
bin Uqbah. Nah, ayat ke-6 dari surah Al-Hujurat di atas, turun berkenaan dengan
Al-Walid tersebut. Waktu itu Rasulullah SAW menyuruhnya menjadi penagih zakat
buat Bani Musthaliq. Setelah sampai, dia melihat orang sudah kumpul untuk
zakat. Tapi kemudian, dia buru-buru kembali dan menyampaikan pada Rasulullah
bahwa Bani Musthaliq murtad, mereka tidak mau bayar zakat dan sedang
mempersiapkan pemberontakan. Sehingga Rasulullah nyaris mengambil keputusan
yang keras terhadap Bani Musthaliq untuk mengerahkan kekuatan. Tetapi kemudian
turunlah ayat tersebut di atas.
Pada
peristiwa lainnya, suatu hari terjadi perdebatan antara Al-Walid dan Sayyidina
Ali bin Abi Thalib. Kata Al-Walid: “Ana
asyja’u minka janana wa athwalu minka lisana, Aku mempunyai hati yang lebih berani dari kamu dan lidah yang lebih
panjang dari kamu.” Sayyidina Ali menukas pendek: “Ana mu’min wa anta fasiq, Saya Mukmin dan engkau fasik!” Peristiwa
ini menjadi asbabun nuzul turunnya
ayat 18 surah As-Sajadah, “Apakah sama
orang Mukmin dan orang fasik? Mereka tidak sama.”
Al-Quran
menyebut kebanggaannya memiliki lidah yang paling panjang itu, sebagai salah
satu ciri orang fasik. Dan bahwa keberanian orang fasik adalah “menyebarkan
informasi paling palsu sekalipun.” Jadi kalau berbohong, panjang sekali
bohongnya. Kalau perlu kebohongan itu dimanage dan disebarkan. Al-Walid
merupakan personifikasi orang yang menyebarkan informasi yang sudah didistorsi
dan bisa menimbulkan kerusakan pada suatu kelompok di kalangan kaum Muslimin.
Sekarang ini
yang merisaukan kita, adalah bermunculannya Al-Walid-Al-Walid baru dalam era
informasi, di mana mereka menggunakan media-media massa. Karena itulah, dalam
konteks ini, intelektual atau cendekiawan Muslim sebagai homes engages, manusia yang terikat dengan kewajiban menerapkan
nilai-nilai, memiliki peran strategis yang sangat penting, di antaranya :
· Mengembangkan sikap untuk selalu tabayyun (meneliti) informasi, mengelola
informasi sebaik-baiknya dan tidak cepat-cepat menjatuhkan vonis berdasarkan
data yang sangat tidak lengkap. Karena kata Al-Quran, “nanti kamu menyesal, kamu rugi kehilangan sesama kaum Muslimin yang
seharusnya kamu jadikan aset, tapi kamu malah jadikan kerugian.”
· Menyebarkan informasi yang benar. Ajaran
Islam mengajarkan kepada kita, bahwa berbicara yang benar, adalah prasyarat
untuk kebenaran serta kebaikan amal dan perbuatan kita. Alfred Korzybski
menyebutkan bahwa penyakit jiwa timbul karena menggunakan bahasa yang tidak
benar. Al-Quran pada surah Al-Ahzab 70-71 menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
bicaralah dengan perkataan yang benar, nanti Allah perbaiki seluruh amal-amal
kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu.” Dalam dimensi lain, pesan dan
informasi yang disampaikan, haruslah berupa ucapan yang jujur dan tidak bohong.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jauhilah
dusta, karena dusta membawa kamu kepada dosa, dan dosa membawa kamu kepada
neraka. Lazimkanlah berkata jujur, karena jujur membawa kamu kepada kebajikan
dan membawa kamu kepada surga.” Jadi, seorang cendekiawan harus menyebarkan
informasi yang tidak salah dan tidak bohong.
· Mengembangkan keterbukaan dan sikap kritis.
Seorang cendekiawan harus bersikap terbuka (yastamiunal
qaul) dan berpikir kritis (fayattabiuna
ahsana). Karena tanpa sikap kritis kita akan menjadi peniru-peniru buta.
Allah SWT berfirman dalam surah Az-Zumar ayat 18, “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya.”
Demikianlah
sekelumit dari peran yang dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh para
cendekiawan dan intelektual Muslim, agar mendatangkan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kaum muslimin.
Makassar, September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar