Sekitar
lima puluh delapan tahun sudah, pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota
menancapkan kukunya di bumi Indonesia, diawali lewat pendirian Jurusan Teknik Planologi
di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1959. Pada Kawasan Timur Indonesia,
khususnya di wilayah Sulawesi dan sekitarnya, bidang Planologi (Perencanaan
Wilayah dan Kota) telah berusia lebih dari tiga dekade, yang pada mulanya
ditandai dengan dibukanya jurusan tersebut di Universitas “45” Makassar (sekarang
Universitas Bosowa) pada tahun 1986. Kemudian disusul di Universitas Hasanuddin
(unhas) tahun 2004 serta Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin tahun 2006.
Kini, di kawasan Timur ini, jurusan Planologi/PWK telah menyebar ke Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur dan juga di Tanah
Papua.
Pada
dasarnya, Ilmu Planologi memang belum dikenal secara luas oleh masyarakat umum.
Tetapi belakangan ini, terutama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sejak
keluarnya UU. No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kebutuhan akan tenaga
Perencana atau Planolog (Planner) di
berbagai daerah, kian terasa diperlukan. Pertanyaannya, apa sih ilmu Planologi
atau Perencanaan itu? Bidang Planologi,
merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan profesi di mana memiliki lingkup
yang sifatnya multi disipliner, karena di dalamnya terdapat keterkaitan dengan
berbagai bidang atau profesi lain. Dalam buku Profil Asosiasi Sekolah
Perencanaan Indonesia (ASPI), Conyers & Hills mendefinisikan Perencanaan
sebagai suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan
atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Sementara Robinson menyebut
Perencanaan sebagai seni membuat keputusan sosial secara rasional.
Terjadinya
perkembangan pembangunan yang begitu pesat di berbagai daerah dan wilayah,
membuat tuntutan akan peran serta para Planolog (Planner) menjadi sangat penting, demi terlaksananya proses
pembangunan pada rel yang benar. Seiring dengan hal itu, maka kebutuhan akan
tenaga Perencana/Planolog pun menjadi semakin meningkat. Namun demikian, hingga
saat ini kebutuhan tersebut belum juga dapat terpenuhi. Data dari Bidang
Sertifikasi dan Layanan Perencana - Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP),
menunjukkan bahwa estimasi lulusan dari 52 Program Studi (Prodi) Perencanaan
Wilayah dan Kota (PWK) seluruh Indonesia sebanyak 2547 orang setiap tahunnya.
Dari jumlah itu, diasumsikan hanya 50% yang berprofesi sebagai Perencana.
Artinya hanya 1250 orang tenaga Planolog (Planner)
dalam setahun yang siap mengabdikan dirinya sesuai dengan bidang keilmuannya.
Sementara kebutuhan Planolog/Perencana setiap tahunnya berkisar 1500-2000 orang
untuk sektor publik (public sector),
dan ini belum termasuk private sector.
Planolog dan Tanggung Jawabnya
Seiring
dengan permintaan tenaga Perencana atau Planolog yang cukup pesat, maka kita
pun dihadapkan pada banyaknya permasalahan pembangunan dan perencanaan yang
mesti dicermati oleh para Planolog. Sebagai contoh, seringnya terjadi
inkonsistensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengimplementasikan
produk-produk tata ruang, sinkronisasi antara kebijakan pembangunan dengan kebijakan
spasial yang selalu menghadapi kendala, dilema antara pertumbuhan pembangunan
dan pelestarian lingkungan, alih fungsi ruang yang tak terkendali, konflik
ruang dan kebutuhan infrastruktur, lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang,
serta sejumlah permasalahan lainnya. Hal ini, menjadikan institusi pendidikan
yang membina jurusan perencanaan wilayah dan kota, harus lebih tanggap untuk segera
membenahi diri dalam menghasilkan keluaran yang berkualitas, agar mampu
menjawab berbagai tantangan yang sudah pasti akan dihadapi.
Menarik
mencermati apa yang pernah disampaikan oleh Prof.Dr.Ir.Djoko Sujarto lewat
sebuah tulisannya, dengan mengatakan bahwa produk/keluaran pendidikan
Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) hanya dapat dimanfaatkan secara
optimal, apabila pendidikan itu mengacu pada suatu falsafah yang melandasi tujuan suatu perencanaan. Karena itu, secara
subtantif Pendidikan Planologi harus diarahkan pada :
1. Kemampuan memahami permasalahan (problem oriented), yaitu anggapan bahwa
perencana akan bekerja dalam lingkungan yang koheren dan perlu mempunyai
kemampuan analitik untuk memahami permasalahan wilayah dan kota secara
mendasar.
2. Kemampuan memecahkan permasalahan (solution oriented), yaitu lebih
ditekankan pada pembinaan kemampuan operasional dan penemuan solusi di dalam
situasi yang serba komplek dengan berbagai ragam perilaku masyarakat.
3. Kemampuan menggabungkan kedua
orientasi tersebut, yakni mengasah kemampuan dalam meramu, antara kemampuan
menganalisis dengan kemampuan menerapkan pemahaman permasalahan untuk
memecahkan masalah secara operasional.
Di
samping itu, hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam pengembangan
pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) di Indonesia, bahwa :
Pertama,
Dalam beberapa dekade terakhir ini, ada kecenderungan baru dalam dunia perencanaan yang sedang berkembang,
yang mana menunjukkan adanya suatu tuntutan untuk lebih memperhatikan
‘perencanaan dari bawah’ (bottom up)
ketimbang ‘perencanaan yang ditentukan dari atas’ (top down), sebagaimana yang banyak dilakukan selama ini.
Kecenderungan ini, seperti yang didakukan oleh Michael Fagence melahirkan serta
menyebabkan berkembangnya sistem perencanaan seperti; participatory planning, advocacy
planning, public intervention in
planning process dan lain sebagainya.
Kedua,
Perubahan dan perkembangan yang sedang terjadi di masyarakat, menuntut dan
berharap adanya sebuah pola pendekatan perencanaan yang lebih memperhatikan
pola nilai dan perilaku. Dalam konteks ini, urgensi dan kemampuan dalam
memahami teori nilai serta perilaku manusia akan sangat penting dalam program
pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi).
Lalu,
bagaimana dari segi kualitas individu? Perencana seperti apa yang sesungguhnya
diharapkan? Terkait hal ini, agaknya masih relevan dengan apa yang pernah
diujarkan oleh Prof.Dr. Harijadi P Supangkat, dalam sebuah Forum Nasional
Mahasiswa Perencanaan Indonesia, dengan mengatakan, “Suatu dimensi yang harus dimiliki oleh seorang Planolog/Planner,
selain berwawasan masa depan adalah peka serta dapat menghayati aspirasi dan
keinginan yang hidup dalam masyarakat.” Oleh karena itu, seorang Planolog
atau Planner mesti memiliki paling tidak beberapa hal berikut : Pertama,
Idealisme.
Bahwa dalam menjalankan profesinya, seorang Perencana harus memiliki integritas
dan senantiasa terikat oleh kewajiban dalam menerapkan nilai-nilai serta kode
etik profesi. Kedua, Komitmen dan konsistensi. Bahwa
Perencana atau Planner mesti bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan
nilai-nilai keprofesian serta secara terus menerus menjaga komitmen tersebut. Ketiga,
Kompetensi.
Di samping kedua hal sebelumnya, Perencana juga harus terus mengasah kemampuan
serta kompetensinya dalam mengembangkan ilmu perencanaan wilayah dan kota yang
dimilikinya.
Pada
akhirnya, kita berharap institusi pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota
(Planologi), mampu melahirkan keluaran-keluaran yang mumpuni dan menjadi
seorang Planolog – Planner yang
Ideolog. Bukan Planner yang dengan
mudah melacurkan profesinya. Bukan pula Planner
yang hanya bangga berada pada menara gading keilmuan, namun tidak memiliki
kepedulian terhadap problematika ruang dan profesinya. Yang kita butuhkan
adalah Planner yang dapat menjalankan
tanggung jawab untuk mengembang misi bersama dalam mewujudkan penataan ruang
yang aman, nyaman, produktif, berkelanjutan serta juga manusiawi dan
berkeadilan. Dengan begitu, para Planolog dapat memberikan kontribusi,
pengabdian dan pengkhidmatannya bagi masyarakat secara luas. Wallahu a’lam bisshawab.
RADAR Makassar, Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar