Saat kita berbicara tentang Nabi Muhammad, maka yang terbetik
dalam ingatan kita adalah kesempurnaan seorang manusia. Pribadi Muhammad SAW
yang sempurna ini merupakan teladan hidup tidak hanya bagi kaum Muslim tetapi
bagi seluruh umat manusia. Kejujuran, keadilan, kebenaran, kebaikan dan kasih
sayangnya merambah pada semua lapisan manusia. pada seorang yang tidak beragama
Islam pun, Muhammad akan tetap berlaku adil dan bijaksana. Akhlak Muhammad SAW
yang agung ini telah memancar bagi segenap alam. Allah berfirman: “Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak/budi pekerti yang luhur dan
agung.”(QS. Al-Qalam : 4).
Kedudukan Rasulullah SAW dalam
Dimensi Spiritual dan Sosial
Sedemikian tingginya kedudukan
Rasulullah SAW sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia yang
dapat menggambarkannya dengan sempurna. Karena itu, jika memang demikian, maka
tidak ada cara lain kecuali kita kembali kepada Al-Quran untuk melihat
bagaimana Allah SWT memandang Nabi kita Muhammad SAW.
Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf :156). Ketika Allah SWT
menyebut Rasul-Nya maka Dia pun menisbatkan rahmat itu padanya, dimana Allah berfirman
: “Dan Kami tidak mengutusmu (hai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi
alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’: 107). Tentu setiap orang akan merasa heran,
sebab maqam rahmat yang merupakan milik Allah ternyata diberikan-Nya juga pada
Nabi-Nya. Begitu juga sifat ar-ra’uf ar-rahim yang merupakan sifat Allah,
lagi-lagi diberikannya pada Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya : “Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”(QS. At-Taubah :
128).
Sayyid Kamal Haidari menjelaskan
secara mendalam dua poin dalam Al-Quran yang sangat penting dan menunjukkan
bagaimana sesungguhnya posisi Nabi Muhammad SAW. Pertama, “Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”(QS. Al-Baqarah : 31). Kedua,
“Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:”Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang betul orang-orang yang
benar!”(QS. Al-Baqarah : 31). Dua poin dari ayat yang penuh berkah ini
menjelaskan kepada kita bahwa Adam belajar langsung dari Allah SWT karena
pelaku (fa’il) dalam ayat “wa allama” (mengajarkan) adalah Allah SWT. Sebab
poin kedua berbunyi: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu (anbi’hum
biasmaaihim). Jadi antara Allah dan Adam tidak ada perantara (wasithah) tapi
Adam-lah yang menjadi perantara antara Allah dan para malaikat. Dalam ayat
tersebut terdapat dua kekhususan penting. Pertama, bahwa maujud (eksistensi)
ini belajar langsung dari Allah SWT dan tidak diperantarai makhluk lain. Kedua,
bahwa maujud ini menjadi perantara antara Allah dan para malaikat.
Hal penting lainnya kata Sayyid Kamal
Haidari ialah : siapakah yang dimaksud Adam dalam ayat tersebut? Mungkin
sebagian besar kita mengira bahwa Adam yang dimaksud adalah Adam Bapak Manusia
(Abul Basyar). Jawabnya sama sekali tidak! Al-Quran Al-Karim ketika
mengisyaratkan Adam, maka ia mengisyaratkan kepada dua Adam. Ada Adam fil Mulki
atau Adam Abul Basyar, yaitu di alam kita. Namun ada Adam yang disebut Adamul
malakuti. Adam ini adalah makhluk yang pertama, namun bukan di alam ini tapi di
alam malakut, sebelum alam ini. Bagian terpenting dari penjelasan ini, kita
bisa menyingkap hakikat yang fundamental, yaitu bahwa wujud Nabi Terakhir,
yakni wujud malakuti atau hakikat nurnya adalah ciptaan yang pertama kali
diciptakan oleh Allah SWT. Kemudian Allah mengajarinya dan menjadikannya
washithah (perantara) antara Allah dan para makhluknya. Karena itu tidak ada
satu ciptaan pun di alam ini kecuali berasal dari “tetesan” Nabi SAW dan tidak
ada sesuatu pun yang naik menuju Allah kecuali lewat dari sisi eksistensi Nabi
SAW. Jabir bin Abdillah bertanya: “Ya Rasulullah, apa ciptaan yang pertama kali
diciptakan oleh Allah? Rasul menjawab: “Wahai Jabir, sesuatu yang pertama kali
diciptakan oleh Allah adalah Nur Nabimu, kemudian darinya Dia menciptakan semua
kebaikan.” Dalam riwayat juga cukup banyak yang menyatakan bahwa Nabi SAW
bersabda: “Aku yang pertama kali diciptakan di antara kalian dan yang paling
akhir diutus di antara kalian.” Nabi menyatakan bahwa dari sisi penciptaan,
beliau adalah makhluk yang pertama kali diciptakan, namun dari sisi kemunculan
di alam materi ini maka beliau adalah nabi yang terakhir diutus. Inilah maqam
Nabi Muhammad SAW.
Pada dimensi sosial, Ali Syariati
mendakukan bahwa Muhammad SAW telah mendeklarasikan, semua manusia itu satu,
satu jenis, satu keluarga dan satu makhluk dari Tuhan yang satu. Berdasarkan
prinsip kesamaan inilah beliau membangun masyarakat baru yang berlandaskan pada
ideologi yang kuat dan konsep pembangunan ekonomi serta sosial yang kokoh. Oleh
karena itu, bukanlah hal yang aneh jika masyarakat Madinah telah mengembalikan
Bilal – seorang budak – pada posisi dan kedudukannya sebagai manusia yang
mulia. Ini semua merupakan revolusi besar dalam meletakkan arti kemuliaan dan
kepemimpinan di tengah masyarakat.
Sayangnya, di negeri tercinta ini,
berbagai peristiwa masih saja terjadi dalam aktivitas berbangsa dan bernegara,
yang cenderung mencederai suasana kehidupan keberagamaan kita sebagai umat Nabi
SAW. Pertama, masih maraknya berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh jajaran penguasa dan pemerintahan, yang tidak
menunjukkan adanya perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik, padahal
perayaan Maulid sudah dilakukan pada berbagai strata sosial. Seolah Maulid Nabi
tersebut sepertinya tidak dapat mengubah karakter dan moral bangsa ini. Kedua,
masih seringnya terjadi kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran satu-satunya,
yang kesemuanya itu tidak mencerminkan akhlak Nabi SAW.
Akhirnya, pencitraan diri Muhammad
Rasulullah SAW di hati kita, akan mengungkap siapa kita sebenarnya. Karena
Muhammad yang sesungguhnya adalah sosok manusia agung yang melingkupi semua
dimensi kemanusiaan dengan warna-warna Ilahiah. Dan karenanya keberadaannya
sama dekatnya dengan nadi kehidupan manusia. Maka sejatinya, pembumian nilai-nilai
akhlak muhammadi yang menjadi tema sentral gagasan perubahan peradaban, akan
menentukan keselamatan hidup kita nanti. Sebagai pecinta Rasulullah, maka sudah
sepantasnya kita semua bertekad menjadikan diri kita sebagaimana Muhammad SAW.
Wallahu a’lam bisshawab.
Pare Pos, Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar