Rabu, 28 November 2018

Mendaras Kedudukan dan Akhlak Rasulullah SAW (Catatan dalam rangka Maulid Nabi SAW)


sumber: google
Saat kita berbicara tentang Nabi Muhammad, maka yang terbetik dalam ingatan kita adalah kesempurnaan seorang manusia. Pribadi Muhammad SAW yang sempurna ini merupakan teladan hidup tidak hanya bagi kaum Muslim tetapi bagi seluruh umat manusia. Kejujuran, keadilan, kebenaran, kebaikan dan kasih sayangnya merambah pada semua lapisan manusia. pada seorang yang tidak beragama Islam pun, Muhammad akan tetap berlaku adil dan bijaksana. Akhlak Muhammad SAW yang agung ini telah memancar bagi segenap alam. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak/budi pekerti yang luhur dan agung.”(QS. Al-Qalam : 4).

Kedudukan Rasulullah SAW dalam Dimensi Spiritual dan Sosial

Sedemikian tingginya kedudukan Rasulullah SAW sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia yang dapat menggambarkannya dengan sempurna. Karena itu, jika memang demikian, maka tidak ada cara lain kecuali kita kembali kepada Al-Quran untuk melihat bagaimana Allah SWT memandang Nabi kita Muhammad SAW.

Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman : “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf :156). Ketika Allah SWT menyebut Rasul-Nya maka Dia pun menisbatkan rahmat itu padanya, dimana Allah berfirman : “Dan Kami tidak mengutusmu (hai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’: 107). Tentu setiap orang akan merasa heran, sebab maqam rahmat yang merupakan milik Allah ternyata diberikan-Nya juga pada Nabi-Nya. Begitu juga sifat ar-ra’uf ar-rahim yang merupakan sifat Allah, lagi-lagi diberikannya pada Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”(QS. At-Taubah : 128).

Sayyid Kamal Haidari menjelaskan secara mendalam dua poin dalam Al-Quran yang sangat penting dan menunjukkan bagaimana sesungguhnya posisi Nabi Muhammad SAW. Pertama, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”(QS. Al-Baqarah : 31). Kedua, “Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang betul orang-orang yang benar!”(QS. Al-Baqarah : 31). Dua poin dari ayat yang penuh berkah ini menjelaskan kepada kita bahwa Adam belajar langsung dari Allah SWT karena pelaku (fa’il) dalam ayat “wa allama” (mengajarkan) adalah Allah SWT. Sebab poin kedua berbunyi: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu (anbi’hum biasmaaihim). Jadi antara Allah dan Adam tidak ada perantara (wasithah) tapi Adam-lah yang menjadi perantara antara Allah dan para malaikat. Dalam ayat tersebut terdapat dua kekhususan penting. Pertama, bahwa maujud (eksistensi) ini belajar langsung dari Allah SWT dan tidak diperantarai makhluk lain. Kedua, bahwa maujud ini menjadi perantara antara Allah dan para malaikat.

Hal penting lainnya kata Sayyid Kamal Haidari ialah : siapakah yang dimaksud Adam dalam ayat tersebut? Mungkin sebagian besar kita mengira bahwa Adam yang dimaksud adalah Adam Bapak Manusia (Abul Basyar). Jawabnya sama sekali tidak! Al-Quran Al-Karim ketika mengisyaratkan Adam, maka ia mengisyaratkan kepada dua Adam. Ada Adam fil Mulki atau Adam Abul Basyar, yaitu di alam kita. Namun ada Adam yang disebut Adamul malakuti. Adam ini adalah makhluk yang pertama, namun bukan di alam ini tapi di alam malakut, sebelum alam ini. Bagian terpenting dari penjelasan ini, kita bisa menyingkap hakikat yang fundamental, yaitu bahwa wujud Nabi Terakhir, yakni wujud malakuti atau hakikat nurnya adalah ciptaan yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT. Kemudian Allah mengajarinya dan menjadikannya washithah (perantara) antara Allah dan para makhluknya. Karena itu tidak ada satu ciptaan pun di alam ini kecuali berasal dari “tetesan” Nabi SAW dan tidak ada sesuatu pun yang naik menuju Allah kecuali lewat dari sisi eksistensi Nabi SAW. Jabir bin Abdillah bertanya: “Ya Rasulullah, apa ciptaan yang pertama kali diciptakan oleh Allah? Rasul menjawab: “Wahai Jabir, sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Nur Nabimu, kemudian darinya Dia menciptakan semua kebaikan.” Dalam riwayat juga cukup banyak yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku yang pertama kali diciptakan di antara kalian dan yang paling akhir diutus di antara kalian.” Nabi menyatakan bahwa dari sisi penciptaan, beliau adalah makhluk yang pertama kali diciptakan, namun dari sisi kemunculan di alam materi ini maka beliau adalah nabi yang terakhir diutus. Inilah maqam Nabi Muhammad SAW.

Pada dimensi sosial, Ali Syariati mendakukan bahwa Muhammad SAW telah mendeklarasikan, semua manusia itu satu, satu jenis, satu keluarga dan satu makhluk dari Tuhan yang satu. Berdasarkan prinsip kesamaan inilah beliau membangun masyarakat baru yang berlandaskan pada ideologi yang kuat dan konsep pembangunan ekonomi serta sosial yang kokoh. Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh jika masyarakat Madinah telah mengembalikan Bilal – seorang budak – pada posisi dan kedudukannya sebagai manusia yang mulia. Ini semua merupakan revolusi besar dalam meletakkan arti kemuliaan dan kepemimpinan di tengah masyarakat.

Sayangnya, di negeri tercinta ini, berbagai peristiwa masih saja terjadi dalam aktivitas berbangsa dan bernegara, yang cenderung mencederai suasana kehidupan keberagamaan kita sebagai umat Nabi SAW. Pertama, masih maraknya berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh jajaran penguasa dan pemerintahan, yang tidak menunjukkan adanya perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik, padahal perayaan Maulid sudah dilakukan pada berbagai strata sosial. Seolah Maulid Nabi tersebut sepertinya tidak dapat mengubah karakter dan moral bangsa ini. Kedua, masih seringnya terjadi kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran satu-satunya, yang kesemuanya itu tidak mencerminkan akhlak Nabi SAW.

Akhirnya, pencitraan diri Muhammad Rasulullah SAW di hati kita, akan mengungkap siapa kita sebenarnya. Karena Muhammad yang sesungguhnya adalah sosok manusia agung yang melingkupi semua dimensi kemanusiaan dengan warna-warna Ilahiah. Dan karenanya keberadaannya sama dekatnya dengan nadi kehidupan manusia. Maka sejatinya, pembumian nilai-nilai akhlak muhammadi yang menjadi tema sentral gagasan perubahan peradaban, akan menentukan keselamatan hidup kita nanti. Sebagai pecinta Rasulullah, maka sudah sepantasnya kita semua bertekad menjadikan diri kita sebagaimana Muhammad SAW. Wallahu a’lam bisshawab.


Pare Pos, Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...