Rabu, 09 Juni 2021

Reformasi, Mahasiswa, dan Problem Tata Ruang

Peristiwa Reformasi 1998 yang terjadi di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari aksi mahasiswa pada 23 tahun silam. Gerakan ini menjadi monumental karena berhasil melengserkan penguasa ketika itu, setelah menduduki kursi presiden selama 32 tahun. Mahasiswa adalah sebuah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan politik maupun budaya. Unik karena kebebasan berpikir, berpendapat, dan membentuk perbedaan, senantiasa menyertai rangkaian proses pembelajaran dan pendidikan yang dijalaninya. Sehingga, suara moral dan kritis, selalu saja ditunggu oleh masyarakat. Newfield mengistilahkannya sebagai a prophetic minority, yakni kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa yang masih muda, tetapi mereka memainkan peran propetik. Peran mereka bagaikan Nabi dan bukan Kyai atau Pendeta yang terjebak rutinitas. Mereka adalah “Nabi” secara kolektif yang mencela kebobrokan dan membela kebenaran. Begitu Dawam Rahardjo menyebutnya.

Dalam buku “Mahasiswa Menggugat”, Ignas Kleden mengatakan bahwa kebangkitan Mahasiswa Indonesia 1998 bukan saja fenomenal secara politik tetapi memukau secara sosiologis, karena teori rekayasa bagaikan terbanting hancur berkeping-keping. Bagaimana menjelaskan bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa, sekonyong-konyong menggemparkan dunia sebagai Wunderkinder Politik (anak-anak ajaib dalam politik)? Karena itu, Arief Budiman-aktivis mahasiswa era 1966 berkata, tidak berlebihan kalau memang pada tahun 1998 itu, bila mahasiswa terpilih sebagai “bintang lapangan” bagi terjadinya proses reformasi di Indonesia. Sedang diktatur yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun bisa terguling. Dan sejak itu, kemungkinan-kemungkinan baru terbuka bagi negara ini, meskipun kemungkinan ini masih membutuhkan perjuangan lagi untuk bisa dijadikan realitas. 

Lantas, mengapa suara-suara mahasiswa hampir dalam setiap episode sejarah pergolakan tatanan politik masyarakat kita, senantiasa memperoleh tempat ‘istimewa’ di hati masyarakat? Padahal, pelaku sejarah itu banyak, tidak hanya mahasiswa. Idi Subandy Ibrahim mendaku bahwa dalam keadaan sistem politik yang sudah terlalu lama dinilai tertutup dan lembaga-lembaga formal terkooptasi atau bahkan berkoalisi dengan status quo, mahasiswa biasanya tampil untuk menata puing-puing impian masyarakat yang terpinggirkan dalam ruang publik. Di sinilah, kepedulian dan suara kritis mereka dinantikan. Menurut Arbi Sanit dalam “Pergolakan Melawan Kekuasaan”, sebagai kekuatan moral, mahasiswa telah memainkan peran utamanya  yakni membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasnya menyelenggarakan pemerintahan  atas nama rakyat.

Mahasiswa Planologi dan Problem Tata Ruang

Pada bukunya “Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi?” Dr.Jalaluddin Rakhmat menguraikan beberapa teori ilmu sosial tentang sebab-musabab terjadinya perubahan sosial, antara lain: Pertama, ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nlai. Max Weber adalah salah satu penganut pendapat tersebut. Dalam “The Sosiologi of Religion”, ia banyak menekankan betapa berpengaruhnya ide terhadap suatu masyarakat. Kedua, perubahan bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan sosial). Dan Kang Jalal pernah berujar bahwa, “Perubahan sosial itu sendiri dapat terjadi walaupun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menghendakinya, asal mereka memiliki komitmen dan altruisme atau semangat syahadah yang tinggi.”

Berdasarkan teori tersebut, maka dunia kampus melalui mahasiswa dan para akademisinya, sejatinya menjadi garda terdepan dalam upaya menciptakan dan mendorong perubahan-perubahan ke arah perbaikan, dengan memberi respon serta perhatian yang sungguh-sungguh terhadap berbagai persoalan kebangsaan yang dialami Indonesia akhir-akhir ini.

Ironisnya belakangan ini, dunia intelektual dan dunia kampus kita mengalami “krisis”, yang oleh Mohammad Sobary diistilahkan dengan “kemarau”. Baginya, dunia intelektual kita diterjang musim “kemarau” (dan mungkin berkepanjangan), karena demi hidup yang memang susah, para intelektual kita diam-diam terjebak pada hal-hal yang lebih banyak bersifat teknis-praktis. Dan perlahan tapi pasti, hal itu membuat mereka terperangkap dalam “sumur kering” pemikiran.

Situasi tersebut berimplikasi pula pada perkembangan selanjutnya dari gerakan mahasiswa pasca reformasi hingga saat ini. Mahasiswa seakan kehilangan momentum. Hal tersebut boleh jadi diakibatkan sejumlah kebijakan negara serta kunkungan dari birokrasi kampus atau kalangan mahasiswa sendiri yang mengalami disorientasi, sehingga tidak mampu lagi menjalankan peran dan fungsinya secara efektif.

Kondisi yang sama juga dialami Mahasiswa Planologi atau Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota se-Indonesia. Akibatnya, respon aktif serta penyikapan yang dilakukan terhadap berbagai persoalan tata ruang yang berlangsung di negeri ini, jarang sekali didengarkan oleh publik. Spirit aktivisme dan aktualisasi peran Mahasiswa Perencanaan, tampaknya belum terealisasi secara optimal. Keinginan menjadi Pemikir-Pejuang-Pembaharu yang dikrarkan pun, tidak mewujud dan membumi hingga kini. Padahal, jika memerhatikan berbagai sengkarut penataan ruang yang terjadi, maka sejatinya Mahasiswa Perencanaan-lah yang semestinya berperan secara aktif dan progresif dalam menawarkan ide dan gagasan melalui gerakan-gerakan intelektual, sosial dan moralnya untuk mengarahkan pada upaya-upaya perubahan bagi penataan ruang ke arah yang lebih baik dan benar.

Pada konteks ini, Mahasiswa Perencanaan Indonesia sudah sepantasnya menjadi elan vital perubahan untuk perbaikan penataan ruang kita. Suara moral, suara kritis secara proaktif dan progresif, harus terus dikumandangkan. Namun perlu diingat, daya kritis analitis hanya bisa terjaga, bila Mahasiswa Perencanaan Indonesia beserta lembaga-lembaganya, berkomitmen dan secara konsisten terus merawat independensi, integritas serta idealismenya. Dengan cara seperti itu, aktualisasi peran dan fungsinya dapat terakselerasi dengan tepat dalam upaya untuk terus menyuarakan, memperjuangkan serta mengawal terwujudnya penyelenggaraan penataan ruang yang manusiawi, berkeadilan, berkebudayaan dan berkelanjutan.

Bila suara moral dan suara kritis tersebut tak lagi terdengar, maka itu jadi penanda kuat bahwa kaum intelektual – mahasiswa dan akademisi – sebenarnya tidak lagi memainkan perannya dengan tepat, karena tengah mengidap penyakit kronis. Mereka tidak lagi menjadi penjaga suara ruh dalam melantunkan tembang-tembang surgawi untuk memberikan perimbangan bagi hidup keduniaan yang semrawut. Ali Syariati pernah menyindir peran intelektual yang problematik semacam itu dengan menegaskan, “Seorang intelektual tidak harus lahir dari bangku kuliah dan menara gading kelompok ilmuwan, tapi bahkan mereka yang ummi sekalipun bila dia “hadir” di tengah masyarakat sebagai nabi-nabi sosial, yang turut membebaskan beban derita yang memasung umat manusia, maka dialah intelektual sejati.” Wallahu a’lam bisshawab.

Makassar, Mei 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...