Peristiwa Reformasi 1998 yang
terjadi di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari aksi mahasiswa pada 23 tahun
silam. Gerakan ini menjadi monumental karena berhasil melengserkan penguasa
ketika itu, setelah menduduki kursi presiden selama 32 tahun. Mahasiswa adalah
sebuah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan politik maupun budaya. Unik
karena kebebasan berpikir, berpendapat, dan membentuk perbedaan, senantiasa
menyertai rangkaian proses pembelajaran dan pendidikan yang dijalaninya.
Sehingga, suara moral dan kritis, selalu saja ditunggu oleh masyarakat. Newfield mengistilahkannya sebagai a
prophetic minority, yakni kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa yang
masih muda, tetapi mereka memainkan peran propetik. Peran mereka bagaikan Nabi
dan bukan Kyai atau Pendeta yang terjebak rutinitas. Mereka adalah “Nabi”
secara kolektif yang mencela kebobrokan dan membela kebenaran. Begitu Dawam
Rahardjo menyebutnya.
Dalam buku “Mahasiswa Menggugat”,
Ignas Kleden mengatakan bahwa kebangkitan Mahasiswa Indonesia 1998 bukan saja
fenomenal secara politik tetapi memukau secara sosiologis, karena teori
rekayasa bagaikan terbanting hancur berkeping-keping. Bagaimana menjelaskan
bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa,
sekonyong-konyong menggemparkan dunia sebagai Wunderkinder Politik (anak-anak ajaib dalam politik)? Karena itu,
Arief Budiman-aktivis mahasiswa era 1966 berkata, tidak berlebihan kalau memang
pada tahun 1998 itu, bila mahasiswa terpilih sebagai “bintang lapangan” bagi
terjadinya proses reformasi di Indonesia. Sedang diktatur yang sudah berkuasa
lebih dari 30 tahun bisa terguling. Dan sejak itu, kemungkinan-kemungkinan baru
terbuka bagi negara ini, meskipun kemungkinan ini masih membutuhkan perjuangan
lagi untuk bisa dijadikan realitas.
Lantas, mengapa suara-suara mahasiswa hampir dalam setiap episode sejarah pergolakan tatanan politik masyarakat kita, senantiasa memperoleh tempat ‘istimewa’ di hati masyarakat? Padahal, pelaku sejarah itu banyak, tidak hanya mahasiswa. Idi Subandy Ibrahim mendaku bahwa dalam keadaan sistem politik yang sudah terlalu lama dinilai tertutup dan lembaga-lembaga formal terkooptasi atau bahkan berkoalisi dengan status quo, mahasiswa biasanya tampil untuk menata puing-puing impian masyarakat yang terpinggirkan dalam ruang publik. Di sinilah, kepedulian dan suara kritis mereka dinantikan. Menurut Arbi Sanit dalam “Pergolakan Melawan Kekuasaan”, sebagai kekuatan moral, mahasiswa telah memainkan peran utamanya yakni membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasnya menyelenggarakan pemerintahan atas nama rakyat.
Mahasiswa
Planologi dan Problem Tata Ruang
Pada bukunya “Rekayasa Sosial:
Reformasi atau Revolusi?” Dr.Jalaluddin Rakhmat menguraikan beberapa teori ilmu
sosial tentang sebab-musabab terjadinya perubahan sosial, antara lain: Pertama,
ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas; pandangan
hidup, pandangan dunia dan nilai-nlai. Max
Weber adalah salah satu penganut pendapat tersebut. Dalam “The
Sosiologi of Religion”, ia banyak menekankan betapa berpengaruhnya ide
terhadap suatu masyarakat. Kedua, perubahan bisa terjadi karena
munculnya social movement (gerakan sosial). Dan Kang Jalal pernah berujar bahwa, “Perubahan
sosial itu sendiri dapat terjadi walaupun hanya sebagian kecil dari masyarakat
yang menghendakinya, asal mereka memiliki komitmen dan altruisme atau semangat
syahadah yang tinggi.”
Berdasarkan teori tersebut, maka
dunia kampus melalui mahasiswa dan para akademisinya, sejatinya menjadi garda
terdepan dalam upaya menciptakan dan mendorong perubahan-perubahan ke arah
perbaikan, dengan memberi respon serta perhatian yang sungguh-sungguh terhadap
berbagai persoalan kebangsaan yang dialami Indonesia akhir-akhir ini.
Ironisnya belakangan ini, dunia
intelektual dan dunia kampus kita mengalami “krisis”, yang oleh Mohammad Sobary
diistilahkan dengan “kemarau”. Baginya, dunia intelektual kita diterjang musim
“kemarau” (dan mungkin berkepanjangan), karena demi hidup yang memang susah,
para intelektual kita diam-diam terjebak pada hal-hal yang lebih banyak
bersifat teknis-praktis. Dan perlahan tapi pasti, hal itu membuat mereka
terperangkap dalam “sumur kering” pemikiran.
Situasi tersebut berimplikasi
pula pada perkembangan selanjutnya dari gerakan mahasiswa pasca reformasi
hingga saat ini. Mahasiswa seakan kehilangan momentum. Hal tersebut boleh jadi
diakibatkan sejumlah kebijakan negara serta kunkungan dari birokrasi kampus atau
kalangan mahasiswa sendiri yang mengalami disorientasi, sehingga tidak mampu
lagi menjalankan peran dan fungsinya secara efektif.
Kondisi yang sama juga dialami
Mahasiswa Planologi atau Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota se-Indonesia.
Akibatnya, respon aktif serta penyikapan yang dilakukan terhadap berbagai
persoalan tata ruang yang berlangsung di negeri ini, jarang sekali didengarkan
oleh publik. Spirit aktivisme dan aktualisasi peran Mahasiswa Perencanaan,
tampaknya belum terealisasi secara optimal. Keinginan menjadi
Pemikir-Pejuang-Pembaharu yang dikrarkan pun, tidak mewujud dan membumi hingga
kini. Padahal, jika memerhatikan berbagai sengkarut penataan ruang yang
terjadi, maka sejatinya Mahasiswa Perencanaan-lah yang semestinya berperan
secara aktif dan progresif dalam menawarkan ide dan gagasan melalui
gerakan-gerakan intelektual, sosial dan moralnya untuk mengarahkan pada
upaya-upaya perubahan bagi penataan ruang ke arah yang lebih baik dan benar.
Pada konteks ini, Mahasiswa
Perencanaan Indonesia sudah sepantasnya menjadi elan vital perubahan untuk
perbaikan penataan ruang kita. Suara moral, suara kritis secara proaktif dan
progresif, harus terus dikumandangkan. Namun perlu diingat, daya kritis
analitis hanya bisa terjaga, bila Mahasiswa Perencanaan Indonesia beserta
lembaga-lembaganya, berkomitmen dan secara konsisten terus merawat
independensi, integritas serta idealismenya. Dengan cara seperti itu,
aktualisasi peran dan fungsinya dapat terakselerasi dengan tepat dalam upaya
untuk terus menyuarakan, memperjuangkan serta mengawal terwujudnya
penyelenggaraan penataan ruang yang manusiawi, berkeadilan, berkebudayaan dan
berkelanjutan.
Bila suara moral dan suara kritis
tersebut tak lagi terdengar, maka itu jadi penanda kuat bahwa kaum intelektual
– mahasiswa dan akademisi – sebenarnya tidak lagi memainkan perannya dengan
tepat, karena tengah mengidap penyakit kronis. Mereka tidak lagi menjadi
penjaga suara ruh dalam melantunkan tembang-tembang surgawi untuk memberikan
perimbangan bagi hidup keduniaan yang semrawut. Ali Syariati pernah menyindir
peran intelektual yang problematik semacam itu dengan menegaskan, “Seorang
intelektual tidak harus lahir dari bangku kuliah dan menara gading kelompok
ilmuwan, tapi bahkan mereka yang ummi
sekalipun bila dia “hadir” di tengah masyarakat sebagai nabi-nabi sosial, yang
turut membebaskan beban derita yang memasung umat manusia, maka dialah
intelektual sejati.” Wallahu a’lam
bisshawab.
Makassar,
Mei 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar