Kamis, 24 Juni 2021

Pancasila dan Penataan Ruang Indonesia

Di zaman sekarang, ketika arus globalisasi telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, ideologi Pancasila terus terabaikan dan menjadi semakin terpinggirkan. Masuknya ideologi yang pro kapitalis, bisa terbaca dari berbagai kebijakan, seperti pengelolaaan sumber daya alam, lingkungan, tata ruang, dan lain sebagainya, yang tidak didasarkan lagi pada Pancasila. Pelbagai perundang-undangan yang ada pada sektor strategis, memperlihatkan hal tersebut. Pengelolaan sumber daya alam, ruang dan lingkungan yang selama ini dilakukan, telah menciptakan ketidakadilan dan ketidakjujuran. Ironisnya, masyarakat yang hidup di daerah yang kaya sumber daya alam dan lingkungan, sering kali tidak mendapatkan apa-apa, bahkan termarginalkan. Begitu kata Mansour Fakih dalam “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”.

Pada bukunya, “Pendidikan yang Berkebudayaan” Yudi latif menyatakan, salah satu contoh terbaik dalam pengembangan kebudayaan yang merupakan hasil persilangan antara cerlang budaya lokal dan unsur-unsur positif dari luar adalah usaha bangsa Indonesia untuk merumuskan dasar filosofi negaranya, yakni Pancasila. Dalam usaha merumuskan dasar filosofi negara Indonesia merdeka itu, Soekarno mengatakan bahwa “kita harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.”

Pancasila merupakan rumusan pandangan hidup  yang dapat diterima oleh semua suku, agama, budaya, golongan, dan kelas dalam masyarakat Indonesia sebagai dasar ideal bersama, untuk di atasnya secara bersama-sama membangun satu Negara Republik Indonesia serta mengembangkan bangsa dan masyarakat di dalamnya. Berdasarkan hal itu, maka merongrong Pancasila berarti merongrong konsensus dasar segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu, yang bertekad untuk membangun satu kehidupan kemasyarakatan bersama. Dalam “Kuasa dan Moral”-nya, Romo Franz Magnis Suseno mengungkapkan, kehebatan rumusan Pancasila justru terletak dalam kenyataan bahwa rumusan ‘singkat-padat’, itu ternyata memadai, ternyata dapat mengungkapkan secara singkat segala pokok yang oleh segenap golongan di Indonesia dapat dikenali kembali sebagai miliknya.

Sebagai falsafah dan ideolog negara, Sang Proklamator menegaskan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia, sekaligus dimaknai sebagai nilai-nilai yang menjadi cita-cita normatif dalam penyelenggaraan negara. Maka sejatinya, nilai-nilai pada setiap butir Pancasila, sepatutnya dijadikan pedoman dasar dalam melangsungkan kehidupan bernegara. Karenanya, harus mewarnai setiap rumusan kebijakan dan aturan apapun – termasuk regulasi mengenai penataan ruang - yang akan diterapkan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Lalu, mungkinkah mengaitkan tata ruang dengan nilai-nilai Pancasila? Kenapa tidak! Justru yang jadi pertanyaan mendasar, mengapa nilai-nilai Pancasila yang merupakan modal bangsa, tidak dijadikan spirit penataan ruang kita, tidak dijadikan pondasi bangunan tata ruang kita? Mestinya, pertanyaan semacam itu, mengusik kita sebagai warga bangsa Indonesia yang bergerak di bidang penataan ruang.  Karena itulah, lima prinsip utama atau nilai dasar Pancasila yang oleh Yudi Latif disebut sebagai titik temu, titik tumpu, titik tuju, negara-bangsa Indonesia, sejatinya diinternalisasi dan ditransformasikan menjadi landasan etis-filosofis penataan ruang kita.

Pertanyaannya kemudian, sudahkah kita melaksanakan Pancasila secara benar? Apakah Pancasila telah dijadikan landasan etis di dalam kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk dalam menata ruang kita? Di bukunya “Makna Pemerintahan” Prof. Ryaas Rasyid mengatakan, sebagai suatu sistem kepercayaan dan ideologi, Pancasila hanya bisa bermakna jika nilai-nilainya tercermin di dalam tingkah laku abdi negara dan warga masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila seyogianya bersifat omnipresent. Idealnya, Pancasila hadir di dalam praktek kekuasaan negara, menjiwai setiap kebijakan pemerintah, menjadi landasan dalam berbagai interaksi politik, serta menyemangati hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia. Kalau gerakan memasyarakatkan Pancasila tidak secara konsepsional dan konsisten diarahkan pada perwujudan idealisme ini, niscaya bangsa Indonesia akan gagal mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Sebab itu, perlu selalu dijaga agar Pancasila tidak diturunkan derajatnya menjadi sekadar sebuah kata atau kumpulan kata-kata untuk penghias pidato, pelengkap suatu upacara atau menjadi bingkai untuk pengesahan sejumlah dokumen.

Ringkasnya, upaya memberi makna pada keberadaan Pancasila, berkenaan dengan sejauh mana ia dapat secara langsung dihubungkan dengan hal-hal kongkret  yang dihadapi oleh negara dan masyarakat sehari-hari, dalam konteks ini menyangkut penyelenggaraan penataan ruang kita. Proses internalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya penyelenggaraan penataan ruang, kiranya dapat memberi arah dan orientasi yang lebih jelas dalam rangka menatap masa depan tata ruang Indonesia di waktu mendatang. Sehingga kita tak perlu lagi bertanya, Quo Vadis Tata Ruang Indonesia? Wallahu a’lam bisshawab.

FAJAR Makassar, Juni 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...