Jumat, 19 April 2024

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972. Hari pembukaan konferensi tanggal 5 Juni ketika itu, akhirnya disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Sesungguhnya, permasalahan lingkungan bukanlah hal yang baru, terlebih bila kita meninjaunya secara luas. Lagi pula bumi kita tidaklah statis, melainkan dinamis dan terus menerus mengalami perubahan. Kini pun perubahan itu masih terus berlangsung. Dan perubahan yang besar dalam lingkungan hidup akan mempengaruhi kehidupan makhluk hidup. Yang baru dalam permasalahan lingkungan hidup ialah cara manusia berperilaku dan memberi pemaknaan pada lingkungan serta begitu cepatnya informasi tersebar tentang permasalahan lingkungan.

Saat ini, dunia dihadapkan pada ancaman bencana sebagai dampak dari perubahan iklim. Fenomena Perubahan Iklim (Climate Change) telah dipandang sebagai masalah global lingkungan hidup yang telah banyak menyita perhatian dunia, termasuk pada skala nasional dalam negeri kita. Berbagai perundingan dunia telah dilakukan dalam rangka menangani dan mengantisipasi dampak yang timbul di mana berpotensi mengganggu keberadaan Sumber Daya Alam (SDA) serta pendukung kehidupan umat manusia secara keseluruhan (commons). Karena, telah menjadi problem global lingkungan, maka diperlukan kebijakan atau rezim yang bersifat global pula. Diawali dari Konvensi Kerangka Kerja PBB 1991 sampai Perjanjian Paris pada Desember 2015, lalu diikuti dengan pertemuan-pertemuan lanjutan hingga kini. 

Dalam perjalanan berbagai rezim atau kebijakan yang telah dirumuskan dan dilahirkan pada tingkat global, tampaknya kedudukan dan posisi negara-negara maju, masih sangat terlihat dominan. Sehingga, tidak jarang kesepakatan dari sebuah kebijakan yang dibicarakan, mesti tertunda serta ditangguhkan implementasinya, disebabkan adanya tarik ulur kepentingan negara-negara maju tersebut. Hal ini sekaligus menjadi penjelas dari salah satu karakteristik politik lingkungan global yang menyatakan bahwa kekuatan ekonomi suatu negara dapat memengaruhi posisinya, demikian halnya dengan hasil dari politik tarik-ulur dalam persetujuan internasional tentang lingkungan. Di samping itu, sikap dari negara-negara maju tersebut, terkadang seperti setengah hati dalam memikirkan kelangsungan bumi dan lingkungan global yang lestari. Sebab, seringkali masih lebih mementingkan kondisi ekonomi dan politik dalam negeri mereka. Padahal, bila kita cermati, berbagai persoalan dan ancaman kerusakan lingkungan secara global, mulanya bersumber dari negara-negara maju yang pengembangan industrinya sangat pesat. Fenomena ini juga merupakan sebuah indikator nyata bahwa lemahnya bargaining position pemerintahan negara berkembang terhadap kapitalisme global, turut andil memperparah krisis lingkungan.

Perubahan iklim telah menjadi fenomena global. Kajian mengenai ancaman akibat dampak perubahan iklim pun terus berkembang dengan cepat di tingkat internasional. Namun demikian, dalam kerangka regulasi kebencanaan Indonesia, UU. Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan dan PP. Nomor 21 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, rasanya masih minim berbicara mengenai aspek perubahan iklim secara spesifik. Padahal, faktor ini sudah merupakan bahaya besar, yang setiap waktu bisa mengancam kehidupan masyarakat. Cuaca ekstrem yang kita rasakan belakangan ini, menjadi tanda dari perubahan iklim, yang telah menjadi fakta nyata dengan frekuensi yang kian meningkat. Dampak yang paling dekat, adalah semakin seringnya terjadi banjir dan kekeringan di berbagai daerah di Tanah Air. 

BNPB pernah menyebutkan, selama 20 tahun terakhir, 98% kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis. Bencana hidrometeorologis khususnya banjir, longsor dan banjir bandang, kini silih berganti terjadi di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir di tanah air. Ironisnya, kejadian serupa seakan sudah menjadi rutinitas tahunan. Lantas, apakah rentetan kejadian tersebut mengejutkan kita? Rasanya tidak lagi. Yang justru mengejutkan, jika masih ada yang kaget dengan bencana tahunan tersebut. Soalnya, sudah menjadi ‘kelaziman’ di negeri kita selama ini, sebagai konsekuensi logis dari rusak parahnya ekologi dan lingkungan kita dalam waktu yang sudah begitu lama.

Negeri ini, memang memiliki wilayah yang sangat rentan dengan bencana. Global Climate Risk Index 2023 menempatkan Indonesia dalam rangking dua dunia untuk risiko bencana. Naik dari posisi ketiga disbanding tahun 2021. Olehnya itu, pemerintah daerah mesti lebih serius dan waspada untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, khususnya banjir, longsor dan banjir bandang. Bencana tersebut, umumnya terjadi karena degradasi ekologis dan lingkungan, di mana kerusakan diakibatkan oleh aktivitas eksploitasi yang tak terkendali, seperti alih fungsi lahan, deforestasi dan lain-lainnya, Apakah ini contoh ecological suicide yang yang diujarkan JO Simmonds? Prof. Eko Budihardjo mendaku, karena tokoh-tokoh yang notabene dipercaya rakyat untuk mengelola daerah dan wilayahnya justru yang “melukai” dan “membunuh”nya dengan berbagai kebijakan yang merusak keseimbangan, antara alam, manusia dan lingkungan binaan. Para pemimpin yang seharusnya bertugas menjaga kelestarian alam dan lingkungan, malahan mereka yang merusaknya.

Keberlanjutan Sebatas Retorika

Pada sisi lain, belum diterapkannya pembangunan berkelanjutan yang pro-lingkungan dalam negeri Indonesia, berdampak pada rusaknya lingkungan sebagai sebuah ekosistem. Hal ini terutama terjadi pada beberapa sektor strategis, seperti; kehutanan, pertanian, perikanan, kelautan serta pertambangan. Padahal, pembangunan Indonesia masa depan, sangat ditentukan oleh bagaimana bangsa ini mengelola sumber daya alam dan lingkungannya. Sementara, rezim lingkungan yang ambigu makin terasa. Kasus terbongkarnya tambang timah ilegal di Pulau Bangka baru-baru ini, dengan kerugian kerusakan lingkungan mencapai Rp. 271 Triliun, hanya salah satu fakta saja yang menegaskan hal ini. 

Prof. Oekan S. Abdoellah, Ph.D dalam buku Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Di Persimpangan Jalan, menguraikan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan yang dijadikan alternatif sebagai solusi problem lingkungan, justru oleh sebagian pengamat dan pemikir melihat kecenderungannya, belum nyata-nyata menjadi pilar sesungguhnya dari pembangunan global, lebih khusus lagi di Dunia Ketiga. “Pembangunan Berkelanjutan” masih berada pada taraf retorika semata yang kadangkala menjadi alat yang dimanfaatkan untuk membenarkan kebijakan-kebijakan sepihak yang “dipaksakan” negara-negara Dunia Pertama kepada Pemerintahan negara-negara Dunia Ketiga dalam konteks penguasaan akses ekonomi dan pembagian kerja kapitalis global (lihat Robin Attfield - The Ethics of the Global Environment dan Otto Soemarwoto – Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realita). Oleh karena itu, paradigma pembangunan yang mesti digagas ke depannya, adalah paradigma yang bukan hanya semata memikirkan keberlanjutan, namun juga yang sangat penting ditekankan adalah aspek kesetaraan dan keadilan, baik di tingkat global maupun nasional. Dengan kata lain, yang urgen digaungkan sebagai alternatif pemikiran dan pandangan ialah “Paradigma Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berkeadilan.” 

Karena itu, Dr. Mansour Fakih dalam Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, berpendapat bahwa developmentalisme sejak diciptakan juga telah menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup. Jalan keluar yang ditawarkan berupa pembangunan berkelanjutan, tidak begitu memuaskan karena bertentangan dengan ide pertumbuhan dan keuntungan yang melekat pada dasar ideologinya. Akibatnya, developmentalisme akan menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup dari pada sebagai jalan keluar. 

Dengan demikian, ungkapan Fritjof Capra pada Titik Balik Peradaban, boleh jadi ada benarnya, bahwa kesadaran ekologis akan tumbuh hanya jika kita memadukan pengetahuan rasional kita dengan intuisi, untuk hakikat lingkungan kita yang nonlinear. Kearifan intuitif semacam itu, merupakan ciri dari kebudayaan-kebudayaan tradisional, di mana kehidupan ditata berdasarkan kesadaran lingkungan yang sedemikian halus. Sebaliknya, dalam alur kebudayaan modern, penggalian kearifan intuitif telah lama diabaikan atau bahkan dihapuskan sama sekali. 

Political will pemerintah dalam mengarusutamakan lingkungan hidup sepertinya masih sangat rendah. Akibatnya, bencana terus saja melanda seolah tanpa henti. Dari berbagai kondisi di atas, maka komitmen dan keseriusan dalam mengimplementasikan berbagai rezim lingkungan, masih perlu untuk ditingkatkan. Kesadaran kolektif pada perlindungan dan pelestarian lingkungan, mesti terus ditumbuhkan oleh setiap elemen masyarakat, agar bumi kita bisa terus terjaga dan dapat dihuni oleh seluruh makhluk ciptaan Tuhan secara nyaman. Semoga saja ada perbaikan di waktu mendatang!

“Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.”

(QS. Al-A’raf: 10)

Harian FAJAR, April 2024

Selasa, 12 Desember 2023

Bisakah Penataan Ruang Diprioritaskan? (Catatan untuk Pj. Gubernur Sulawesi Selatan)

 Setiap tanggal 8 November, diperingati sebagai Hari Tata Ruang Nasional, yang telah dilakukan sejak 15 tahun lalu, tepatnya tahun 2008. Namun di tahun 2023 ini, sebagaimana juga pada tahun–tahun sebelumnya, masih serasa sepi dari aktivitas kegiatan serta pemberitaan. Apakah fenomena ini adalah isyarat makin terpinggirnya dan terabaikannya persoalan tata ruang? Atau jangan-jangan tata ruang memang belum dianggap sesuatu yang penting bagi publik. Tata ruang seakan hanya menjadi perbincangan kalangan elit; para penentu kebijakan, kaum profesional serta akademisi saja. Padahal sejatinya, wacana tata ruang mestinya sudah lebih terbuka serta menjadi konsumsi publik, karena berhubungan dengan aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Tata ruang juga merupakan elemen penting dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung, seiring dinamika dan problematikanya.

Karenanya, masih dalam momentum tersebut, saya bermaksud menyampaikan beberapa catatan untuk Pj.Gubernur Sulawesi Selatan Bapak Dr. Bahtiar Baharuddin, M.Si mengenai beberapa hal terkait bidang tata ruang. Ini mesti menjadi perhatian serius.

Pertama, UU.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebutkan bahwa penataan ruang merupakan salah satu urusan pemerintahan bersifat wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dengan begitu, Pemprov Sulsel harus konsisten mengarusutamakan tata ruang sebagai “panglima pembangunan” atau “pedoman pembangunan”, agar tidak ada lagi proyek dan program pembangunan, dilaksanakan tanpa berbasis perencanaan. Sebagaimana proyek-proyek dadakan yang kerap kali muncul dan tak jelas tujuannya. Implikasinya, dokumen tata ruang seakan hanya jadi tumpukan kertas di instansi-instansi terkait, yang seringkali diabaikan dan dilanggar. Termasuk yang konsisten harus dijaga adalah soal penganggaran untuk bidang penataan ruang. Agar supaya, tidak dipangkas untuk program yang kurang relevan dengan sasaran pembangunan, sesuai dengan dokumen perencanaan yang menjadi pedoman. Apalagi, ada arahan untuk senantiasa memprioritaskan urusan wajib pelayanan dasar.  

Kedua, Pemprov perlu melakukan langkah-langkah progresif dan strategis, terutama dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan pengawasan penataan ruang. Sebab, aspek inilah yang sangat lemah dijalankan dari keseluruhan proses penyelenggaraan penataan ruang, sehingga pelanggaran tata ruang terus berlangsung. Dalam Permendagri No.115 tahun 2017 mengenai Mekanisme Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah, dinyatakan bahwa Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian pemanfaatan ruang di daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya. Dengan demikian, Pj. Gubernur harus memastikan tidak terjadi pelanggaran tata ruang, agar tertib tata ruang dapat terwujud.

Ketiga, sekadar mengingatkan saja, RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025 yang saat ini berada pada tahapan akhir, dengan jelas menyebutkan kalau masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW. Hal senada juga tertuang dalam Perda No.1 Tahun 2019 RPJMD Sulsel 2018-2023, yang menyatakan bahwa ketaatan pada RTRW masih rendah. Ini dikarenakan beberapa hal, yaitu; Rencana Tata Ruang (RTR) belum dijadikan sebagai acuan pelaksanaan pembangunan, belum terintegrasinya program prioritas RTR dalam dokumen perencanaan daerah serta belum optimalnya pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. Kondisi ini, mengkorfimasi adanya kecenderungan pengabaian tata ruang yang sudah puluhan tahun. Dengan demikian, maka pengawasan penataan ruang mesti dimaksimalkan, demi menjamin terlaksananya penegakan hukum bidang penataan ruang serta juga untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang.

Keempat, dalam regulasi tata ruang, ditegaskan bahwa pengaturan penataan ruang dilakukan untuk mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang serta mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan. Namun faktanya, pelanggaran tata ruang dan ketidakadilan dalam pemanfaatan ruang, masih saja terus terjadi. Pemilik modal dengan kekuatan kapitalnya, sangat mudah menguasai ruang-ruang strategis bahkan tak jarang menggunakannya tidak sesuai peruntukan. Sementara kaum marginal semakin terpinggirkan karena tidak punya kuasa dalam penguasaan ruang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mampu menunjukkan upaya konkret dalam meretas persoalan ini.

Kelima, negeri kita, memiliki wilayah yang sangat rentan dengan bencana. Global Climate Risk Index 2021 menempatkan Indonesia dalam rangking 3 dunia untuk risiko bencana. Olehnya itu, pemerintah daerah mesti segera bersiap untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, khususnya banjir, longsor dan banjir bandang. Dalam konteks pencegahan dan mitigasi terhadap risiko bencana tersebut, maka tata ruang menjadi sangat penting mendapatkan perhatian serius. Ini sejalan pula yang telah ditegaskan dalam UU.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa tata ruang merupakan sebuah bentuk mitigasi nonstruktural. Maka sejatinya, Pj.Gubernur mesti  lebih cermat memerhatikan hal itu dan tak melulu mengurusi budidaya pisang, cabai dan sejenisnya. Karena, jika abai dengan kondisi tersebut, maka ancaman bencana banjir tahunan yang terus mengintai Sulawesi Selatan, bisa terjadi lebih parah serta lebih luas lagi ketimbang tahun-tahun sebelumnya.   

Pada akhirnya, komitmen dan konsistensi penyelengaraan penataan ruang yang benar, serta upaya mengarusutamakan tata ruang, sangat penting untuk diprioritaskan oleh Pj. Gubernur melalui perhatian, pengawalan dan pengawasan yang berfungsi efektif. Sehingga, risiko “bencana pembangunan” dapat dihindari, serta kesinambungan pembangunan di Sulawesi Selatan, memungkinkan untuk kita raih. Semoga!

Harian FAJAR, November 2023

Selasa, 27 Juni 2023

PROSES POLITIK dan PENG-ARUSUTAMA-AN TATA RUANG (Catatan untuk Komisioner KPU SulSel & Pemerintah Daerah)

 Pada sekitar awal Mei, tepatnya 7 Mei 2023, Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation) menggelar kegiatan Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING) dengan membincangkan sebuah tema aktual, yakni: “Proses Politik dan Peng-arusutama-an Tata Ruang - Sebuah Ikhtiar Untuk Perbaikan Bangsa”. Hadir sebagai pemantik, Misna M. Attas yang ketika itu masih selaku Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan dan saya sendiri sebagai Peneliti dan Pemerhati Tata Ruang Ma’REFAT INSTITUTE.

Seperti diketahui, proses politik menuju pemilu 2024, telah ditentukan jadwal dan tahapannya, yang sebagiannya tengah berlangsung sekarang ini. sayangnya, diskursus yang terbangun, lebih banyak berkisar hal-hal yang bersifat teknis-praktis penyelenggaraan, ketimbang menelisik pada persoalan yang lebih substansial. Padahal, proses politik yang berlangsung secara periodik ini, sangat berkait erat dengan keberlangsungan serta kesinambungan pembangunan di sebuah wilayah atau daerah. Itulah sebabnya, mengapa tema di atas, kami anggap penting untuk terus dipercakapkan.

Karenanya, sekaitan dengan diskusi tentang dua tema besar tersebut, yakni Proses Politik dan Peng-arusutama-an Tata Ruang, maka saya bermaksud menyampaikan beberapa catatan untuk dijadikan perhatian serius, bagi Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan yang baru saja dilantik, serta juga Pemerintah Daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak di daerahnya. Adapun catatannya antara lain:

Pertama, harus diakui bahwa tingkat literasi terhadap pentingnya dokumen perencanaan, masih tergolong rendah. Terlebih lagi bila dokumen perencanaan tersebut dikaitkan dengan proses politik. Hal ini terjadi, baik di kalangan masyarakat secara umum maupun para pemangku kebijakan seperti eksekutif dan juga penyelenggara pemilu/pilkada.

Kedua, dalam proses politik, salah satu output utama yang diinginkan adalah melahirkan pemimpin untuk menjalankan roda pembangunan. Dan sejatinya, setiap pembangunan meniscayakan adanya pedoman atau panduan dalam pelaksanaannya. Pada konteks ini, perumusan visi, misi dan program calon kontestan pilkada sangat penting dicermati, dan tidak sebatas menjadi syarat administrasi saja. Karena, dengan rumusan itulah, publik dapat memahami apa yang akan dilakukan oleh para calon pemimpinnya.

Ketiga, rumusan visi-misi-program dari kontestan pilkada, mesti dipastikan berpedoman dan berlandaskan pada rencana pembangunan serta rencana tata ruang yang ada, sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, jika hal ini diabaikan, akan merupakan titik krusial yang menjadi awal “malapetaka” dalam proses pembangunan.   

Keempat, UU.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah menyebutkan bahwa penataan ruang merupakan salah satu urusan pemerintahan bersifat wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dengan begitu, seluruh pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Penyelenggara Pemilu/Pilkada, sudah semestinya terlibat aktif serta konsisten meng-arusutama-kan tata ruang sebagai “panglima pembangunan” atau “pedoman pembangunan”, agar tidak ada lagi proyek pembangunan yang dilaksanakan tanpa berbasis perencanaan. Selama ini, dokumen tata ruang seakan hanya jadi tumpukan kertas di instansi-instansi terkait, yang seringkali diabaikan dan dilanggar. Sebab, tidak jarang rencana tata ruang harus diubah atau direvisi hanya untuk mengakomodasi dan mewujudkan visi, misi dan janji-janji kampanye kepala daerah saat berkontestasi dalam pilkada. Hal semacam itu merupakan preseden yang sangat buruk dalam dunia perencanaan, di mana tata ruang sebagai pedoman pembangunan mesti menyerah pada kepentingan kekuasaan.

Kelima, membuktikan implementasi pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, benar-benar terwujud. Tidak hanya sebatas norma yang tertera dalam berbagai regulasi penataan ruang. Konsultasi publik pada produk rencana tata ruang selama ini yang sifatnya formalitas dan seremonial harus diubah. Perlu dibuat lebih terbuka, agar dapat mengakomodasi berbagai pandangan dan masukan dari berbagai lapisan masyarakat. Sehingga produk tata ruang yang dihasilkan tidak menjadi produk elit, melainkan sebagai produk kesepakatan bersama dari berbagai kalangan dan stakeholder, demi terciptanya tata ruang yang manusiawi dan berkeadilan.

Keenam, memastikan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) tentang tata ruang dan penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat, sungguh-sungguh terlaksana serta terkawal secara baik. Karena sampai hari ini, proses tersebut belum pernah berjalan secara optimal. Akibatnya, masyarakat seringkali jadi korban dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, karena ketidaktahuannya akan informasi tata ruang.  

Pada akhirnya, jika komitmen dan konsistensi penyelengaraan tata ruang yang benar, serta upaya mengarusutamakan tata ruang, dengan mengawali dari proses politik yang lebih substansial dan berkualitas terus terjaga, maka risiko “bencana pembangunan” dapat dihindari, serta kesinambungan pembangunan memungkinkan untuk kita raih. Semoga!


                                                                                                Harian FAJAR, Juni 2023

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...